Kejahatan Seksual dan Kontroversi Hukuman Kebiri Kimia
Sejalan dengan pelaksanaan peraturan kebiri kimia, pengawasan dan monitor ketat terhadap perkembangan situasi terkait kejahatan seksual terhadap anak harus tetap selalu dilakukan.
Presiden Joko Widodo pada 7 Desember lalu telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang tata cara pelaksanaan tindak kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Meski telah diatur sejak tahun 2016 dalam Perppu Nomor 1, adanya hukuman kebiri kimia masih menimbulkan pro dan kontra.
Baru-baru ini, kritik keras terhadap peraturan kebiri kimia datang dari Komnas Perempuan. Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menyebut bahwa kebiri kimia melanggar HAM, tidak dapat menyelesaikan permasalahan kejahatan seksual terhadap anak, serta dinilai terlalu mahal dan merenggut perhatian negara dari pemenuhan hak korban.
Benarkah hukuman kebiri kimia tidak layak untuk diberlakukan? Lalu, bagaimana kita harus menyikapi peraturan yang ada di Indonesia?
Bukan hanya di Indonesia
Indonesia bukan satu-satunya negara yang melegalkan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual. Denmark, Jerman, dan Swedia termasuk negara-negara pertama yang memperbolehkan hukuman kebiri kimia. Beberapa negara Eropa lain, seperti Perancis, Britania Raya, dan Polandia, serta beberapa negara bagian Amerika Serikat juga memiliki peraturan serupa.
Baru-baru ini, kritik keras terhadap peraturan kebiri kimia datang dari Komnas Perempuan.
Akan tetapi, di sebagian besar negara tersebut, hukuman kebiri bersifat sukarela. Artinya, kebiri kimia hanya dilaksanakan atas persetujuan terpidana dan biasanya sebagai ganti pengurangan masa hukuman. Sementara itu, di beberapa negara (misal, Polandia dan beberapa negara bagian Amerika Serikat), hukuman kebiri kimia dapat bersifat wajib dan ditetapkan oleh pengadilan.
Pada 2011, Korea Selatan menjadi negara Asia pertama yang mengizinkan kebiri kimia. Di Negeri Ginseng ini, hukuman kebiri kimia diperuntukkan bagi terpidana kejahatan seksual dengan korban berusia kurang dari 16 tahun. Beberapa negara Asia lain juga mengikuti jejak Korea Selatan, termasuk Afghanistan, Iran, dan Arab Saudi.
Meski sudah cukup banyak negara yang mengimplementasikan hukuman ini, kebiri kimia tetap menjadi kontroversi global. Misalnya, tingginya tingkat kasus perkosaan di India mendorong lahirnya rumusan aturan hukuman kebiri kimia. Namun, sebagian pihak memandang bahwa hukuman tersebut mengabaikan akar permasalahan tindak perkosaan dan tidak sesuai dengan ketentuan HAM, sebuah seruan yang mirip dengan kritik Komnas Perempuan di Indonesia.
Hak asasi manusia
Pelanggaran terhadap HAM adalah salah satu poin utama yang selalu digaungkan oleh pihak-pihak yang kontra terhadap kebiri kimia. Kebiri dianggap sebagai tindakan yang kejam, tidak manusiawi, dan melecehkan. Di sisi lain, tidak seperti kebiri fisik, efek kebiri secara kimia dapat dikembalikan sehingga fungsi reproduksi individu dapat berjalan normal kembali. Oleh karena itu, pihak yang setuju menganggap bahwa kebiri kimia adalah alternatif yang lebih etis dan tidak melanggar hak asasi.
Awal tahun lalu, seorang peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Louisa E Heathcote, pada 2020 menerbitkan kajiannya mengenai peraturan kebiri kimia di Indonesia dan menyebut bahwa peraturan ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap HAM. Utamanya, kebiri kimia di Indonesia dinilai tidak etis karena terpidana tidak memiliki hak untuk menolak hukuman ini.
Seperti yang tertuang pada PP No 70/2020, kebiri kimia di Indonesia memang bersifat mandat, bukan sukarela. Hukuman ini dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan dan setelah terpidana diperiksa secara klinis dan dinyatakan layak untuk dikenai tindakan kebiri kimia.
Menerapkan asas kesukarelaan juga tidak serta-merta menyelesaikan permasalahan etis atas kebiri kimia. Di beberapa negara, terpidana dapat memilih untuk menerima kebiri kimia dengan imbalan pengurangan masa tahanan. Peraturan ini juga diperdebatkan karena, dengan adanya ancaman hukuman, individu tidak benar-benar dapat bebas memilih atau menolak tindakan kebiri kimia.
Menerapkan asas kesukarelaan juga tidak serta-merta menyelesaikan permasalahan etis atas kebiri kimia.
Dengan demikian, justifikasi etis atas hukuman kebiri kimia sebaiknya tidak hanya berfokus pada kesukarelaan terpidana, tetapi juga mempertimbangkan faktor-faktor lain, seperti potensi manfaat yang ditawarkan.
Kejahatan pedofilia dan gangguan pedofilia
Semakin tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak menjadi salah satu pemicu terbitnya Perppu No 1/2016 yang menjadi dasar hukum kebiri kimia. Vedije Ratkoceri (2017), peneliti dari South East European University, menyebut bahwa kejahatan seksual adalah jenis kekerasan terburuk yang dapat terjadi pada anak dan bisa menimbulkan efek jangka panjang pada pertumbuhan dan kesejahteraan anak.
Belum lagi, beberapa penelitian juga telah menunjukkan bahwa kejahatan seksual terhadap anak memiliki tingkat residivisme yang tinggi. Hal-hal ini menegaskan urgensi hukuman berat yang dapat menimbulkan efek jera kepada pelaku tindak kejahatan ini.
Masyarakat awam sering menyebut kekerasan seksual terhadap anak sebagai kejahatan pedofilia. Namun, penting untuk membedakan kejahatan pedofilia dengan gangguan pedofilia.
Gangguan pedofilia adalah gangguan mental yang ditandai dengan ketertarikan dan hasrat seksual terhadap anak usia prapubertas. Individu dengan gangguan ini kesulitan dalam mengendalikan hasrat seksualnya sehingga kebiri kimia dianggap sebagai langkah yang tepat untuk menurunkan dorongan seksual dan mencegah terulangnya kejahatan seksual.
Meskipun banyak pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak mengalami gangguan ini, tidak semua pelaku kejahatan pedofilia adalah individu dengan gangguan pedofilia. Oleh karena itu, kebiri kimia tidak bisa dilaksanakan terhadap semua pelaku kekerasan seksual kepada anak.
Perppu No 1/2016 dan PP No 70/2020 sebenarnya sudah cukup baik dalam mengatur hal ini. Kebiri kimia hanya diindikasikan untuk terpidana residivisme dan terpidana dengan korban lebih dari satu atau yang kejahatannya menimbulkan konsekuensi luar biasa.
Sebelum dilaksanakan, terpidana juga harus melalui pemeriksaan klinis oleh tenaga medis atau psikiatri untuk menentukan kelayakan tindak kebiri kimia. Dengan demikian, penilaian risiko residivisme menjadi hal yang sangat penting.
Namun, tidak seperti di Australia dan beberapa negara Eropa, pemeriksaan seperti ini belum terlalu berkembang di Indonesia. Untungnya, pengkajian penggunaan instrumen asesmen risiko kejahatan seksual sudah mulai diinisiasi oleh tim peneliti dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga yang dipimpin oleh Margaretha.
Komnas Perempuan mengklaim bahwa akar permasalahan kekerasan seksual adalah isu pengaruh relasi kekuasaan antara korban dan pelaku, bukan libido.
Efektif
Komnas Perempuan mengklaim bahwa akar permasalahan kekerasan seksual adalah isu pengaruh relasi kekuasaan antara korban dan pelaku, bukan libido. Dalam ilmu perilaku, pernyataan ini adalah khas teori feminisme dalam menjelaskan kejahatan kekerasan. Akan tetapi, pandangan ini kurang berimbang dan mengabaikan bukti ilmiah bahwa faktor biologis berperan besar dalam perilaku seksual manusia.
Studi oleh tim peneliti dari Korea Selatan yang dikepalai Kyo Chul Koo (2013) menunjukkan bahwa kebiri kimia efektif mengurangi dorongan dan fantasi seksual terpidana kejahatan seksual. Hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian lain yang juga menyebut bahwa kebiri kimia mampu menekan tingkat residivisme hingga sekitar 85 persen. Angka ini tentu saja cukup menjanjikan.
Namun, pernyataan Komnas Perempuan juga cukup tepat dengan menyebut bahwa faktor sosial dan psikologis berperan penting dalam tindak kekerasan seksual. Beberapa ahli menyarankan bahwa kebiri kimia sebaiknya disertai dengan penanganan psikososial, sebuah rekomendasi yang sejalan dengan PP No 70/2020. Penanganan psikososial juga menjadi sangat penting bagi pelaku kejahatan seksual yang tidak memiliki gangguan pedofilia.
Selain itu, kebiri kimia juga dapat menimbulkan efek samping, termasuk kenaikan berat badan, osteoporosis, dan gejala depresi. Penghentian tindakan kebiri kimia juga dilaporkan dapat menimbulkan lonjakan dorongan seksual pada 1-2 bulan pertama sehingga meningkatkan risiko residivisme.
Kedua hal ini menunjukkan pentingnya pendampingan medis selama dan setelah dilaksanakan kebiri kimia. Namun, pendampingan medis ini tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit—salah satu kritik utama Komnas Perempuan terhadap kebijakan ini.
Lalu harus bagaimana?
Mempertimbangkan kompleksitas dan pro-kontra hukuman kebiri kimia bagi pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak, apa yang kemudian harus kita lakukan? Kebiri kimia jelas menawarkan manfaat yang mungkin saat ini Indonesia sangat butuhkan, yakni penurunan kasus kejahatan seksual terhadap anak. Di sisi lain, prosedur ini juga memiliki kelemahan secara etis, praktis, dan ekonomi.
Bagaimanapun, sekarang peraturan sudah ditetapkan. Maka, yang bisa kita lakukan adalah ”terbang sembari membangun pesawatnya”. Sejalan dengan dilaksanakan peraturan kebiri kimia ini, pengawasan dan monitor ketat terhadap perkembangan situasi terkait kejahatan seksual terhadap anak harus selalu dilakukan.
Pemerintah perlu senantiasa melakukan evaluasi dan membuat perubahan ketika diperlukan. Serta, tentu saja tanpa mengabaikan hak-hak korban yang juga memerlukan perhatian khusus.
(Nido D Wardana, Pengajar dan peneliti di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya)