Apabila Amerika Serikat selama ini sangat keras menghukum pemimpin negara lain karena dianggap tidak demokratis, maka Amerika Serikat juga harus sangat keras menghukum pemimpin dan warganya yang merontokkan demokrasi.
Oleh
HAMID AWALUDIN
·4 menit baca
Amerika Serikat seakan-akan telah kehilangan asa kepemimpinannya. Demokrasi dan hak asasi manusia yang selalu dipasarkannya ke dunia kini menghadapi tantangan. Penyerbuan dan pendudukan gedung parlemen (Congress) yang menyebabkan hilangnya empat nyawa manusia memperburuk citra praktik demokrasi Amerika Serikat.
Amerika Serikat sekarang adalah gambaran buram praktik demokrasi yang selalu dibanggakannya. Fair play, chivalry, accountability, fairness,and sportifity yang menjadi elemen dasar praktik demokrasi kini terkubur di tanah Amerika Serikat. Negeri ini kini menjadi tempat tersemainya anti-thesa demokrasi.
Dua puluh tahun lebih yang lalu, gedung parlemen kita diduduki oleh massa dan mahasiswa, untuk mendongkel Soeharto yang dianggap sangat tidak demokratis. Lalu, muncul era reformasi yang membuat negeri kita sekarang ini disebut negara demokratis.
Amerika Serikat kini justru terbalik. Rakyatnya menduduki parlemen untuk menghambat naiknya Joe Biden/Harris sebagai presiden dan wakil presiden yang dipilih oleh rakyat secara demokratis.
Presiden terpilih Joe Biden menyebut peristiwa tersebut sebagai ’masa kelam’ dalam sejarah Amerika Serikat.
Rakyat Indonesia menduduki parlemen demi tegaknya demokrasi. Sebaliknya, rakyat Amerika Serikat menduduki parlemen untuk menghambat jalannya demokrasi. Presiden terpilih Joe Biden menyebut peristiwa tersebut sebagai ”masa kelam” dalam sejarah Amerika Serikat.
Semua ini terjadi lantaran Donald Trump tidak mengakui kekalahannya dalam pemilihan presiden lalu. Ia pun menghasut orang untuk menduduki gedung Kongres, menolak hasil pengesahan kemenangan Joe Biden/Harris. Akibat kejadian ini, ada sejumlah Senator dan anggota Kongres Amerika Serikat yang bersuara untuk menggunakan Amendemen ke- 25 Konstitusi negeri tersebut, yaitu pengaturan mengenai pemberhentian presiden.
Apa yang tersisa?
Kejadian yang amat memalukan dalam praktik demokrasi tersebut membuat kita semua bertanya: apa lagi yang tersisa, yang harus dibanggakan Amerika Serikat sekarang? Berdekade-dekade lamanya, Amerika Serikat mendikte dunia dengan alasan moralitas: demokrasi. Amerika Serikat telah mengeluarkan biaya 3 triliun dollar AS untuk mendongkel Saddam Hussein dari kekuasaan di Irak, dengan alasan: penegakan demokrasi.
Ghaddafi diusir dari kekuasaannya di Libya, juga dengan alasan demokrasi. Lagi-lagi, Amerika Serikat ikut di dalamnya. Masih banyak lagi negara di berbagai belahan dunia dicampuri urusan dalam negeri mereka oleh Amerika Serikat, juga dengan alasan demokrasi. Sekarang, Amerika Serikat mati di tengah demokrasinya sendiri. Tidak ada lagi wibawa. Amerika Serikat tidak bisa lagi memberikan arahan dan pelajaran tentang demokrasi ke mana pun.
Beberapa tahun belakangan ini, praktik hak asasi manusia di Amerika Serikat, khususnya di bidang status equality, persamaan, juga porak-poranda. Kasus teranyar yang mengentak dunia tahun lalu adalah tewasnya George Floyd, warga keturunan Afrika, di tangan polisi yang berkulit putih.
Protes besar-besaran terjadi ketika itu, melanda seluruh Amerika Serikat. Kematian Floyd dianggap kematian hanya karena dia berkulit hitam. Bukan kematian karena polisi menegakkan hukum, sementara Floyd melanggar hukum. Masih banyak lagi kisah sejenis ini yang menghiasi lembaran buram sejarah Amerika Serikat.
Deretan kejadian seperti itu membuat Amerika Serikat perlu mempertanyakan kembali mimpinya memimpin dunia dengan legitimasi, yang oleh Joseph Nye menyebutnya soft power. Amerika Serikat dipersepsikan memiliki legitimasi memimpin dunia karena soft power berupa demokrasi dan hak asasi manusia yang dimilikinya.
Elemen demokrasi dan hak asasi manusia dianggap sebagai nilai fundamental sehingga bangsa-bangsa lain mengikuti Amerika Serikat. Karena itu, Amerika Serikat, yang oleh Joseph Nye lagi, meyakini bahwa dengan soft power, Amerika Serikat bound to lead.
Legitimasi Amerika Serikat sebagai kampiun demokrasi dan hak asasi manusia melemah. Hal serupa juga akan berpengaruh pada kepemimpinan Amerika Serikat di pentas kehidupan internasional.
Memang ironis, asa kepemimpinan Amerika Serikat yang tergerus karena soft power yang menjadi andalannya tengah redup. Di saat berbarengan, kondisi ekonominya hingga kini belum pulih benar, bahkan masih berat untuk segera bangkit. Maka, kian lengkaplah ketakberdayaannya untuk kembali meraih mahkota supremasinya sebagai hegemonic power dalam pentas internasional.
Lantas, apa yang selayaknya dilakukan Biden/Harris bila kelak sudah dilantik? Demi tegaknya wibawa Amerika Serikat dan kepemimpinan Biden/Harris, mereka harus segera mengusut tuntas pelaku dan otak penyerbuan gedung Kongres tersebut. Biden tidak punya pilihan lain, harus dengan tegas menegakkan hukum. Hanya dengan cara ini, Biden bisa segera memulihkan wibawa Amerika Serikat.
Apabila Amerika Serikat selama ini sangat keras menghukum pemimpin negara lain karena dianggap tidak demokratis, maka Amerika Serikat juga harus sangat keras menghukum pemimpin dan warganya yang dianggap merontokkan demokrasi.
(Hamid Awaludin,Mantan Menteri Hukum dan HAM serta Pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)