Waktu dalam sobekan-sobekan. Puisi gubahan Zawawi Imron dan Gunoto Saparie mengisahkan adegan ”mengerikan” menghasilkan sobekan. Di situ, waktu berubah.
Oleh
BANDUNG MAWARDI
·4 menit baca
Pikat kalender berbahan kertas mungkin tak semeriah tahun-tahun lalu. Lembaran-lembaran kertas memiliki pemandangan angka dan nama-nama bulan memang masih dipersembahkan sekolah, perusahaan, atau toko. Kalender untuk ditaruh di atas meja. Kalender terpajang di dinding selama setahun. Lembaran-lembaran itu memuat gambar atau foto.
Sejak lama, orang meresmikan kalender adalah persekutuan angka, huruf, gambar, dan warna. Keinginan agar melihat kalender terhindar dari jemu. Sekian orang kadang memilih kalender tanpa gambar, cukup angka berukuran besar. Kita mengingat jenis kalender disobek setiap hari. Kertas tipis dengan angka menandakan waktu. Disobek untuk berpisah dari lembaran-lembaran masih terpajang di dinding.
Jenis kalender sobekan harian itu dipuisikan Zawawi Imron (1999). Kalender pun menguak manusia dan kerumitan waktu. Pujangga asal Madura itu menulis: Orang-orang, katanya, harus percaya pada kalender; memasangnya,/ menjenguknya, dan menyobeknya tanpa rasa nyeri. Padahal/ menyobek itu ngeri. Baik mendokumentasi anggapan-anggapan orang melihat kalender adalah mengingat waktu.
Setiap hari, kalender ditatap dan tangan bergerak menghasilkan sobekan. Kertas telah terlepas dari kalender terpajang di dinding. Kertas tak kekal. Ia berpisah, menetapi janji waktu terus bergerak. Kertas-kertas kalender disobek setiap hari, memberi pengesahan pengertian sampai minggu dan bulan. Penghabisan adalah setahun.
Di keseharian, orang-orang melakukan peristiwa mungkin selalu dimaknai bergantung waktu. Kalender turut memberi tuntunan mengalami dan mengerti waktu, selain jam. Zawawi Imron melanjutkan: Kita kembali saja pada kalender, tempat sayang dibentang, janji/ ditagih, rugi ditendang, kalbu diasah, hingga detik bisa/ direntang menjadi tahun, menjadi kasih, menjadi nur.
Lembaran-lembaran kalender mengandung ”janji” bagi orang-orang mengalami hidup, dari hari ke hari. Hidup dengan segala peristiwa, mendapat atau kehilangan arti. Nasib di sobekan kalender, berulang setiap hari. Lembaran-lembarang di dinding masih rapi, menipis. Sobekan bernasib beda, terpisah dari ”induk” dalam pengisahan setahun.
Selama hidup, orang tak meramal atau menghitung jumlah kalender diperlukan dalam menempuhi hari-hari. Kalender datang untuk dipasang. Kalender pun ”selesai” untuk dibuang dan ”menghilang” setelah sobekan-sobekan setiap hari. Pada kalender, manusia memikirkan pekerjaan, rezeki, kebahagiaan, kelahiran, pelesiran, ibadah, dan lain-lain. Kalender-kalender tak pula sepi dari pengertian-pengertian politis. Di hadapan kalender, orang berhak bersiasat atau penerimaan dengan terpaksa sebagai kewajaran.
Zawawi Imron mengingatkan: Tapi jangan lupa, dalam kalender ada ingin melahirkan siasat./ Ada siasat melawan trik, ada trik melawan akrobat, ada akrobat/ melawan culas, culas didukung kertas, modem, internet, henpon,/ senjata dan segalanya, sampai kenyataan jadi semrawut porak/ poranda, jadi puing, jadi serpih-serpih tembikar dan sejuta cabik/ yang tak berharga.
Bentuk, perbuatan, nasib, arti, atau situasi selalu berubah. Kalender tanpa memberi kepastian bahwa orang-orang mencukupkan pengertian waktu adalah melulu hari. Di situ, kalender justru memungkinkan orang dalam permainan siasat sampai ke capaian-capaian atau kejatuhan dan ketiadaan.
Pada masa berbeda, kalender berbahan kertas mendapat guncangan dan pemanjaan dari alat-alat terbaru membentuk ”struktur” kehidupan mutakhir. Waktu bisa saja semakin sulit dimengerti atau ”dimiliki” dalam keseharian, sebelum dihitung setahun.
Kita membaca puisi gubahan Zawawi Imron menemukan ada rumit-rumit mengenai waktu dan manusia. Puisi terbaca religius. Kalender itu bendak mengandung dan mengingatkan waktu. Manusia mengartikan dan menandai meski mengalami ”repetisi” harian.
Sobekan demi sobekan seperti perhitungan hari-hari menjadi setahun. Rumit ternikmati bagi pembaca jika dibandingkan dengan puisi lain terasa klise. Puisi berjudul ”Kalender” gubahan Gunoto Saparie (1993) terbaca datar, hampir tanpa kesan. Kita membaca: pada akhirnya,/ kalender itu pun/ harus kau sobek/ kenapa menangis?// pada akhirnya/ kalender itu pun/ hanya kenangan berdebu/ dikoyak-koyak sunyi. Puisi ditulis dan terbaca: sepintas.
Keseruan masalah kalender terbaca dalam prosa gubahan Sapardi Djoko Damono (2000) berjudul ”Kalender dan Jam”. Lelucon untuk mengentengkan kerumitan filsafat waktu tak rampung-rampung dijelaskan para pemikir selama ribuan tahun.
Bermula peristiwa sederhana, pembaca diminta menikmati percakapan atau cekcok antara kalender dan jam. Dua benda berada di kamar sedang ditinggal si penghuni.
Sapardi Djoko Damono sedang berlagak menerangkan waktu melalui dua benda telanjur dimengerti sebagai tanda-waktu. Kita menikmati percapakan: ”Kalender memang terkenal keras kepala, tetapi jam selalu berusaha meyakinkannya tentang hakikat waktu. Waktu itu fana, kata kalender. Disobek dan berkelebat begitu saja, tidak akan pernah bisa ditangkap lagi. Orang menyobekku dan memanfaatkanku sebagai bungkus kacang atau apa saja, katanya, hanya untuk menghilangkan jejak yang pernah dilaluinya dengan sangat tergesa. Telunjuk orang, katanya, selalu bergeser dari tanggal ke tanggal yang sangat rapat jaraknya. Kalau sudah menunjuk ke suatu tanggal, sama sekali lalu tidak berniat memperhatikan yang sebelumnya.” Keapesan tanggal di lembaran disobek manusia berlagak paham waktu.
Waktu dalam sobekan-sobekan. Puisi gubahan Zawawi Imron dan Gunoto Saparie mengisahkan adegan ”mengerikan” menghasilkan sobekan. Di situ, waktu berubah. Sikap manusia membedakan sobekan dan lembaran-lembaran masih terpasang di kalender.
Sobekan bisa jejak, tapi lekas digantikan arti oleh manusia saat menjadikan itu pembungkus atau terbuang ke tempat sampah. Waktu dalam sobekan tanpa kewajiban selalu diingat ketimbang lembaran-lembaran masih harus disobek: besok, besok, dan besok. Sobekan itu memastikan fana. Begitu.
(Bandung Mawardi. Penulis dan Kuncen Bilik Literasi)