Selain ”ngayomi” dan ”ngayemi”, sebagai pejabat negara yang menjalankan fungsi sosial sebagai pelayan masyarakat seyogianya menerapkan filosofi pemimpin.
Oleh
SUMBO TINARBUKO
·4 menit baca
Berjalan miring merupakan ciri karakter ”menteri”. Hal itu digariskan dalam tata laksana permainan catur. Ia harus taat berjalan miring mengikuti kotak lintasan papan catur sesuai dengan warna badannya. Posisi berjalan miring tetap dipertahankan ketika menyerang ataupun bertahan atas serbuan musuh.
Karakter ”benteng” berbeda dengan menteri. Ia rela berjalan lurus, baik saat maju menyerang maupun mundur untuk bertahan. Sementara ”ster” diberi kewenangan gabungan dari karakter benteng, menteri, dan pion. Sementara raja hanya berhak berjalan satu langkah ke kanan, kiri, maju, atau mundur.
Paling unik karakter ”kuda”. Ia diperbolehkan melompati musuh atau temannya sendiri. Saat berjalan atau menyerang musuh, gerakannya membentuk huruf L. Makna konotasi gerakan kuda diinterpretasikan sebagai perilaku menyepak siapa pun yang diposisikan sebagai musuh.
Pada pengujung 2020 ini, ternyata filosofi gerakan menteri dalam permainan catur dicontoh secara harfiah oleh Menteri Kelautan dan Perikanan serta Menteri Sosial. Kedua menteri itu menjalankan aktivitas berjalan miring dalam konteks negatif. Secara sadar, mereka memaknai berjalan miring sebagai aktivitas kejahatan korupsi untuk memperkaya diri pribadi berikut kelompoknya.
Dalam perspektif semiotika, mereka secara konotatif sengaja memiringkan posisi benur dan bantuan sosial Covid-19. Hal itu mereka lakukan secara rapi dan terencana guna melipatgandakan harta benda milik diri pribadi beserta kelompoknya.
Hadirnya Menteri Kelautan dan Perikanan serta Menteri Sosial di dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo sejatinya diberi tugas negara untuk mengatasi kehidupan rakyat yang menderita akibat diterjang tsunami Covid-19. Sayangnya, yang mereka kerjakan justru mencari kesempatan dalam kesempitan pandemi Covid-19 dengan mengedepankan sifat tamak.
Salah satu sifat purba manusia yang cenderung serakah. Hal itu dilakukannya guna memperbesar egoisme pribadi dalam konteks pengumpulan kekayaan duniawi secara ilegal. Untungnya, ketamakan mereka segera diamputasi pihak KPK.
Watak tamak
Watak, menurut kbbi.web.id, merupakan sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku serta budi pekerti manusia tersebut. Watak dikonotasikan sebagai tabiat negatif. Tidak bisa diubah alias tidak dapat disembuhkan. Mengapa? Karena keberadaan watak menjadi satu paket jiwa raga sejak sang jabang bayi bersemayam di dalam rahim ibunda.
Celakanya, watak tamak Menteri Kelautan dan Perikanan serta Menteri Sosial yang ditangkap KPK termasuk orang berpendidikan. Jika ditilik dari capaian gelar akademis yang diraihnya, mereka adalah alumnus lembaga pendidikan tinggi ternama. Mereka berhasil meraih gelar sarjana strata satu dan magister. Bahkan, salah satunya memiliki ijazah S-3. Dengan demikian, ia berhak menyandang gelar doktor.
Ironisnya, pencapaian gelar akademik tertinggi dalam bidang pendidikan formal tidak mampu mengeliminasi sikap watak tamak yang bercokol dalam hati dan pikirannya. Contoh perilaku buruk yang dipertontonkan dua menteri berwatak tamak ini ternyata memberikan dampak signifikan terhadap jagat pendidikan di Indonesia. Hal itu menguatkan sinyalemen: harkat dan martabat kemanusiaan kaum terpelajar hilang tanpa menyisakan jejak keterpelajaran sedikit pun.
Watak tamak yang berkembang biak di dalam jiwa manusia yang tidak beradab ditengarai akibat mereka mengabai filosofi ajar. Dalam konteks pendidikan, filosofi ajar diyakini merupakan tuntunan untuk menyelaraskan akal dan nalar perasaan kaum terpelajar. Ketika hal itu tidak dijalankan dengan kesadaran penuh, maka tuturan peribahasa ”bagai bunga kembang tak jadi’’ mendapatkan permakluman dalam nuansa kesedihan mendalam.
Bagi pendukung ideologi kuasa uang, watak tamak senantiasa mereka pelihara dalam setiap tarikan napas hidup dan kehidupannya, bahkan boleh jadi dijalani dengan rasa bahagia. Umumnya mereka juga mendewakan gaya hidup hedonisme dan menghamba pada budaya materialisme.
Pelayan masyarakat
Pejabat negara yang memelihara watak tamak, seperti dua menteri yang tersangkut kasus korupsi, biasanya melengkapi diri dengan sifat negatif sebagai pemimpin tan kena luput cinatur. Hal itu dapat dicermati dari perilaku dan kebijakannya. Mereka tidak bersedia diajak berkomunikasi. Mereka tidak suka berdialog. Mereka gemar berkolaborasi negatif dengan kelompok yang mengedepankan permufakatan jahat.
Kebijakannya seakan untuk kemakmuran rakyat. Padahal, realitas sosialnya justru kebalikannya. Kebijakan yang dibuatnya terbukti tidak bijaksana bagi rakyat yang dipimpinnya. Faktanya, kebijakan yang disusun lebih menguntungkan diri pribadi, kelompok, dan partainya.
Ketika pejabat negara rela menyedekahkan dirinya menjadi pelayan masyarakat, tentu akan mendapatkan tabungan karma baik. Karena itulah, sebagai pelayan masyarakat mereka wajib meneladani dan melaksanakan konsep ngayomi (melindungi) dan ngayemi (membuat tenang dan nyaman). Pada titik inilah, semesta raya secara otomatis mendukung kerja sosial pelayanan kemasyarakatan yang dilakukan pejabat negara.
Selain ngayomi dan ngayemi, sebagai pejabat negara yang menjalankan fungsi sosial sebagai pelayan masyarakat, seyogianya menerapkan filosofi pemimpin. Ia dilarang untuk urun (bermodalkan) tangan. Namun, ia wajib turun tangan dalam mewujudkan derajat kemuliaan rakyat yang dilayani dan dilindunginya. Semuanya itu didedikasikan untuk melayani serta menyejahterakan warganya secara bermartabat dan berkeadilan sosial.
(Sumbo Tinarbuko. Pemerhati Budaya dan Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta)