Beberapa dinasti yang telah lebih dulu eksis juga semakin mengukuhkan dominasi politik mereka. Keluarga Ratu Atut Choisiyah, misalnya, mampu mempertahankan dominasi politik di tanah Banten melalui keunggulan Ratu Tatu Chasanah di Kabupaten Serang, Tanto Warsono Arban di Kabupaten Pandeglang, dan Pilar Saga Ichsan di Tangerang Selatan.
Namun, tidak semua elite politik berhasil membentuk dan mempertahankan dominasi kekuasaannya melalui jalur politik dinasti.
Namun, tidak semua elite politik berhasil membentuk dan mempertahankan dominasi kekuasaannya melalui jalur politik dinasti. Ketertinggalan perolehan suara sementara Ratu Ati Marliati di Kota Cilegon, Daniel Mutaqien Syafiuddin di Kabupaten Indramayu, dan Windi Fitrika di Kabupaten Asahan, mengancam keberlanjutan dominasi keluarga Tb Aat Syafaat, MS Syaifuddin, dan Taufan Gama Simatupang di daerah-daerah tersebut.
Lebih lanjut, berdasarkan hasil hitung cepat dan data yang masuk pada Sistem Informasi Rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (Sirekap KPU), penulis mencatat setidaknya ada 72 kandidat dinasti yang unggul dalam Pilkada 2020. Sebanyak 81 kandidat dinasti lain kalah dalam perolehan suara sementara, sementara 6 lainnya masih terlalu dini untuk disimpulkan karena marginnya kurang dari 2%.
Keberhasilan dan kegagalan elite politik dalam membangun dinasti politik harus dicermati dengan saksama. Jalur pasokan elite memang makin menyempit, tetapi pilkada langsung masih menyisakan ruang perlawanan bagi politisi non-dinasti untuk menang atas politisi dinasti.

Oleh karena itu, analisis menyeluruh atas keberhasilan dan kegagalan elite dalam membangun dinasti politik sangat diperlukan. Fokus tunggal pada kemenangan politisi dinasti akan berdampak pada perumusan kebijakan yang keliru untuk perbaikan sistem demokrasi Indonesia pada masa mendatang.
Menyempitnya jalur pasokan pemimpin
Riset yang dilakukan penulis mencatat ada 159 kandidat dalam Pilkada 2020 yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite politik yang pernah atau sedang memegang jabatan publik, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif, di berbagai tingkatan pemerintahan di Indonesia. Sebanyak 159 kandidat tersebut berlaga dalam pilkada di 9 provinsi, 21 kota, dan 80 kabupaten.
Meskipun secara keseluruhan persentasi jumlah kandidat dinasti masih berada pada kisaran 10 persen dari total kandidat peserta pilkada 2020, fakta ini sungguh mengkhawatirkan. Angka ini meningkat sekitar tiga kali lipat dibandingkan pilkada tahun 2015 yang diikuti oleh 52 kandidat dinasti politik (Kenawas 2020).
Kenaikan drastis jumlah kandidat dinasti yang berlaga dalam pilkada kali ini menunjukkan bahwa jalur pasokan kepemimpinan di daerah semakin menyempit. Mereka yang berasal dari keluarga elite politik memiliki kemungkinan lebih besar untuk dicalonkan dalam pilkada.
Mereka yang berasal dari keluarga elite politik memiliki kemungkinan lebih besar untuk dicalonkan dalam pilkada.
Tren ini tentu mengkhawatirkan bagi masa depan demokrasi Indonesia mengingat demokrasi membutuhkan adanya kesempatan yang terbuka dan adil bagi seluruh warga negara, terlepas latar belakang keluarganya, untuk memasuki gelanggang kompetisi elektoral.
Buruknya institusionalisasi partai politik (parpol) adalah salah satu penyebab utama makin banyaknya anggota dinasti politik yang dicalonkan melalui jalur partai (Harjanto 2011, Chibber 2011). Parpol di tingkat pusat cenderung mengambil jalan pintas dengan memajukan bakal calon yang memiliki tingkat kedikenalan dan keterpilihan yang cukup tinggi.
Dalam konteks ini, anggota keluarga elite politik tentu berada dalam posisi yang lebih unggul dari kompetitor mereka. Penguasaan jabatan strategis berbagai organisasi sosial masyarakat pada tingkat lokal, atau pelibatan mereka dalam berbagai acara dan program pemerintah daerah, memungkinkan para kerabat elite politik mencuri start guna meningkatkan tingkat popularitas dan keterpilihan mereka.

Belum lagi jika keluarga elite politik bisa menguasai struktur parpol di daerah. Mereka dapat dengan mudah menjadi satu-satunya calon yang kedikenalan direkomendasikan” struktur partai tingkat lokal.
Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan semakin sulit bagi calon non-dinasti maju melalui jalur parpol. Apalagi mengingat praktik mahar partai yang masih marak untuk mendapatkan ”perahu” dukungan parpol. Maju melalui jalur independen pun makin menjadi alternatif pilihan yang semakin kurang menarik mengingat tingginya persyaratan pencalonan melalui jalur ini (Kompas 17/12).
Pilkada asimetris bukan jawaban
Namun, apakah mengganti sistem pilkada langsung menjadi pilkada asimetris atau pilkada melalui DPRD adalah pilihan yang tepat untuk mengakhiri praktik politik dinasti di Indonesia? Jawabannya tentu tidak. Akar masalah utama dinasti politik terletak pada sisi jalur pasokan calon kepala daerah yang akan berlaga di pilkada.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, syarat pencalonan, baik dari jalur parpol maupun jalur independen, terlalu berat bagi calon non-dinasti ikut berkompetisi dalam pilkada.
Oleh karena itu, perbaikan harus dimulai dari tahap pencalonan. Pencalonan melalui jalur ini tidak boleh lagi diserahkan sepenuhnya kepada diskresi ketua umum atau sekretaris jenderal partai saja, tapi harus melalui serangkaian proses kompetisi internal partai jauh hari sebelum proses pilkada dimulai.
Lebih lanjut, perlu ada batas minimum lamanya keanggotaan bakal calonsebagai anggota parpol—misalnya 5 tahun—sebelum ia dapat dinominasikan dalam pilkada oleh parpol tersebut. Selain itu ambang batas minimal pencalonan, baik melalui jalur partai politik maupun perseorangan harus diturunkan.
Fakta ini menunjukkan bahwa dinasti politik bukanlah sebuah kekuatan yang tak terkalahkan.
Riset penulis menunjukkan bahwa dalam gelaran pilkada serentak tahun 2015, 2017, dan 2018, 86 upaya pembentukan dinasti berakhir dengan kegagalan. Pada pilkada tahun ini, berdasarkan hasil hitung cepat dan Sirekap KPU, setidaknya ada 75 politisi dinasti yang nampaknya akan gagal memenangi pilkada.
Fakta ini menunjukkan bahwa dinasti politik bukanlah sebuah kekuatan yang tak terkalahkan. Demokrasi elektoral masih menyisakan ruang bagi pemilih memilih calon alternatif yang mereka percaya bisa menghadirkan kemaslahatan di daerahnya masing-masing. Ruang tersebut memang makin menyempit karena persyaratan pencalonan yang berat bagi calon non-dinasti, baik melalui jalur partai maupun independen.
Justru, jika pilkada langsung diganti dengan pilkada asimetris, biaya yang dikeluarkan elite politik untuk membentuk dinasti akan semakin murah. Akibatnya praktik politik dinasti akan semakin menjamur di berbagai daerah.
Munculnya dinasti dalam pilkada hanya merupakan ujung dari sebuah rangkaian panjang proses politik yang sudah rusak sejak awal. Oleh karena itu, perbaikan yang mendesak harus dilakukan di hulu proses pilkada, yakni pada tahap pencalonan, sembari terus mengatasi berbagai masalah klasik pemilu Indonesia, seperti maraknya politik uang dan pendidikan politik pemilih yang masih dirasa kurang.
Mengebiri demokrasi elektoral pada tingkat lokal bukan jawaban. Sebaliknya, sistem ini harus terus diperbaiki untuk membuka ruang bagi calon berkualitas memasuki gelanggang kompetisi pilkada yang bisa membawa kemaslahatan bagi rakyat di daerah masing-masing.
(Yoes C Kenawas, Kandidat Doktor Ilmu Politik Northwestern University, AS)