”Food Estate” Perdesaan
Salah satu usaha untuk mengembangkan korporasi usaha petani/nelayan adalah memberdayakan dan melibatkan rakyat dalam berbagai program peningkatan produksi pangan, secara langsung meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Istilah food estate menjadi populer belakangan ini. Food estate didesain sebagai upaya cepat (baca: instan) pemerintah dalam menanggulangi penyakit menahun, ketergantungan impor bahan pangan.
Kita maklum dengan jutaan ton impor gandum, kedelai, dan garam setiap tahun. Namun mengejutkan, ratusan ribu ton gula pasir, jagung, bahkan buah dan sayuran impor terus meningkat. Tahun 2017, tercatat 663.800 ton jeruk, apel, dan anggur impor membanjiri pasar domestik sampai ke pelosok perdesaan.
Baca juga : Pertanian dan Pangan 2020
Impor kentang, bawang putih, dan bawang bombay mencapai 820.000 ton atau 90,3 persen dari total impor sayuran. Selain 520.000 ekor sapi hidup, daging sapi serta susu dan keju impor tercatat 160.224 ton dan 60.500 ton. Singkong dan kacang tanah pun diimpor, masing-masing 388.800 ton dan 292.200 ton.
Kondisi ketahanan pangan saat ini sangat serius mengancam ketahanan nasional. Langkah luar biasa meningkatkan produksi kini ditangani langsung Kementerian Pertahanan.
Pengelolaan lahan gambut perlu penanganan khusus berbiaya mahal.
Sayangnya, food estate yang telah ditetapkan di daerah-daerah kurang direspons kalangan akademisi ataupun pelaku usaha dan masyarakat, khususnya petani. Food estate di Pulang Pisau dan Kapuas di Kalimantan Tengah, untuk menanam padi dan singkong, beternak bebek dan budidaya ikan di keramba dianggap berpotensi mengulangi kegagalan program sawah sejuta hektar di era Orde Baru.
Baca juga : ”Food Estate”, Pertanian Kecil dan Ketahanan Nasional
Pengelolaan lahan gambut perlu penanganan khusus berbiaya mahal. Food estate di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, untuk mengatasi kekurangan kentang, bawang putih, bawang merah kurang tersosialisasikan. Program singkong nasional belum terdengar kabar baiknya.
Rencana food estate di Papua dikhawatirkan mengancam masyarakat adat karena berkurangnya perlindungan atas keragaman hayati dan sumber daya pangan lokal. RUU masyarakat adat juga belum diselesaikan.
Umumnya, keberatan masyarakat berkaitan dengan kesiapan dan kematangan program, penanaman monokultur, peluang percaloan lahan, dan isu kepemilikan. Dominannya korporasi, kurang libatkan masyarakat dan manfaat langsung program bagi penduduk sekitar proyek jadi isu tersendiri.
Terlalu ”top down”
Berulang kali pemerintah menggelindingkan program peningkatan produksi pangan. Namun, sulit menunjuk satu contoh yang terbilang sukses. Kegagalan program disinyalir akibat terlalu top down, minim sosialisasi dan koordinasi di antara kementerian/lembaga terkait dan kurang melibatkan rakyat.
Implementasi UUD 45 Pasal 33 Ayat 3, ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, hanya kental pada aspek penguasaan sumber daya, bukan pada upaya maksimal melibatkan rakyat di pemanfaatannya.
Baca juga : Kawasan Hutan Diberikan untuk Pangan, Bencana Dinilai Bakal Berulang
Pemiskinan dan marjinalisasi petani akibat kesalahan kebijakan pangan masa lalu belum disadari pemerintah. Puluhan tahun petani hanya jadi obyek, bukan pelaku dan pemilik pembangunan. Petani terbiasa menonton karena dipersepsikan lemah hanya pantas diberi bantuan. Tak heran, berbagai program bantuan di tiap kementerian terus mengalir meski disadari kurang efektif, tak produktif dan rawan kebocoran.
Pemiskinan dan marjinalisasi petani akibat kesalahan kebijakan pangan masa lalu belum disadari pemerintah.
Food estate baiknya jadi satu paket dengan program pemberdayaan petani dan penghapusan kemiskinan. Ratusan petani kecil sejenis di tingkat kecamatan dikonsolidasi jadi usaha bersama dalam wadah korporasi usaha petani. Terintegrasi hulu-hilir, berskala besar dan dikelola profesional muda, membuat akses informasi, teknologi, pembiayaan, dan pasar terbuka.
Spesifikasi produk off-farm korporasi yang memenuhi standar bahan baku industri buka peluang tumbuhnya industri hilir di tingkat kabupaten. Food estate pro-rakyat ini tak perlu banyak buka lahan atau membangun infrastruktur baru.
Pemerintah cukup libatkan dan berdayakan petani, membuat regulasi agar lahan telantar milik perseorangan, swasta, PTPN, atau Perhutani bisa dikelola rakyat. Pembangunan dan perbaikan infrastruktur pendukung di perdesaan akan dirasakan langsung manfaatnya oleh rakyat.
Baca juga : ”Food Estate” Ancam Kawasan Kubah Gambut di Kalteng
Istilah korporasi usaha petani pernah digaungkan Presiden beberapa tahun lalu. Namun, korporasi petani baru sebatas nama, belum ada roh dalam implementasinya. Konsep korporasi belum dipahami secara utuh karena diambil sepotong-sepotong.
Setidaknya, ada lima paradigma korporasi usaha petani/nelayan. Pertama, pembangunan pertanian yang selama ini lebih memosisikan petani/nelayan sebagai stakeholder (pemangku kepentingan), harus berubah dengan menempatkan mereka menjadi shareholder, pemilik sekaligus pelaku pembangunan.
Kedua, apabila selama ini pemerintah lebih mengedepankan public-private partnership (kemitraan pemerintah dengan swasta), sekarang harus mengedepankan public-private-people partnership (kemitraan pemerintah-swasta dan masyarakat).
Ketiga, apabila strategi bisnis partial/tak terintegrasi lebih dominan selama ini, kini strategi bisnis terintegrasi hulu-hilir (vertical integration/backward-forward linkage strategy) harus didahulukan.
Keempat, apabila selama ini strategi bisnis sektoral masih dominan, kini bisnis terintegrasi horizontal (horizontal integration strategy) dengan sektor penunjang pertanian/perikanan harus diutamakan. Kelima, apabila biasanya ketua/SDM kelompok atau pengelola koperasi ditunjuk berdasar hubungan kekerabatan; tak profesional, kurang independen, tak berbasis merit-system, maka pengelolaan korporasi harus mengutamakan profesionalisme berbasis merit-system, generasi muda milenial motor penggeraknya.
Guna membangun dan mengembangkan korporasi usaha petani/nelayan, setidaknya ada enam isu strategis yang harus ditindaklanjuti dengan inovasi kebijakan.
Guna membangun dan mengembangkan korporasi usaha petani/nelayan, setidaknya ada enam isu strategis yang harus ditindaklanjuti dengan inovasi kebijakan. Pertama, kelembagaan pangan. Inovasi kebijakan, penguatan dan pengembangan kelembagaan korporasi usaha tani/nelayan di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten.
Kedua, kepemimpinan, SDM, dan kewirausahaan pangan. Inovasi kebijakannya, penguatan, dan pengembangan kelembagaan pendidikan dan pelatihan kepemimpinan, SDM dan kewirausahaan, guna mendukung penguatan dan pengembangan korporasi usaha petani/nelayan.
Ketiga, teknologi dan smart farming pangan. Inovasi kebijakannya, penguatan, dan pengembangan kelembagaan riset dasar guna menghasilkan teknologi dan peralatan smart farming/fishing, untuk mendukung penguatan dan pengembangan korporasi usaha petani/nelayan.
Keempat, produk, pasar, dan ekspor pangan. Inovasi kebijakannya, pengembangan daya saing, dan peningkatan nilai tambah produk, pembiayaan, pajak, dan insentif ekspor. Kelima, infrastruktur pertanian dan perikanan. Inovasi kebijakannya, peningkatan infrastruktur pengairan lahan kering, logistik, pasar, konektivitas, pembiayaan, dan asuransi korporasi usaha petani/nelayan.
Suksesnya program diukur dari banyaknya korporasi yang berjalan baik, berdaya saing nasional dan global. Beberapa komoditas prime mover seperti padi, jagung, kelapa dan udang ditetapkan sesuai spesifik lokasi karena secara bisnis sangat feasible, dibutuhkan sepanjang masa, permintaan terus meningkat, domestik dan global.
Memberdayakan dan melibatkan rakyat dalam berbagai program peningkatan produksi pangan, secara langsung menambah lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, menumbuhkan industri hilir sekaligus membuka peluang UMKM berinovasi meningkatkan daya saing. Impor bahan pangan berkurang, ekspor meningkat diharapkan mampu mendongkrak PDB pertanian, perikanan, dan agroindustri.
AGUS SOMAMIHARDJA
Penasihat Menteri Perikanan dan Kelautan