Kawasan Hutan Diberikan untuk Pangan, Bencana Dinilai Bakal Berulang
Rencana pembukaan kawasan hutan untuk program pangan dinilai tidak tepat. Pemerintah daerah tidak belajar dari pembukaan lahan gambut sejuta hektar yang bisa berakhir bencana.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Program Food Estate bakal mengambil kawasan hutan setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan menyediakan kawasan hutan untuk program pangan. Banyak pihak menilai hal tersebut merupakan kegagalan yang diulang.
Program Food Estate sudah mulai dijalankan sejak Oktober 2020 oleh Presiden Joko Widodo atas alasan antisipasi krisis pangan. Totalnya terdapat 168.000 hektar lahan sawah yang bakan digunakan dalam program tersebut.
Total luasan itu belum cukup. Dari catatan Kompas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama kementerian dan instansi terkait lainnya membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang di dalamnya mengungkap data kawasan yang bakal dimanfaatkan untuk program pangan nasional tersebut.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Salah satu traktor yang digunakan anggota TNI dalam membajak sawah sempat tersendat lumpur dan harus ditarik traktor lainnya di Desa Gadabung, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Sabtu (10/10/2020). TNI Korem 102 Panju Panjung membantu persiapan sawah di lokasi Food Estate.
Semua kawasan program pangan itu menggunakan wilayah bekas proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) tahun 1995. Luas lahan tahap awal mencapai 168.000 hektar, yang merupakan kawasan intensifikasi atau sawah yang sudah ada dan digarap petani selama ini serta sudah memiliki irigasi. Namun, terdapat kawasan non-irigasi yang sebagian besar merupakan kawasan hutan dengan luas mencapai 622.332,60 hektar. Dengan demikian, total luas lahan sesuai komoditas pertanian mencapai 700.000 hektar lebih, atau lebih dari 10 kali luas Provinsi DKI Jakarta.
Untuk mendukung program tersebut, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar kemudian menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Kebijakan itu ditetapkan di Jakarta pada 26 Oktober 2020 dan diundangkan Kemenkumham pada Senin 2 November 2020.
Melihat hal itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) kemudian menyatakan sikap menolak dan meminta pemerintah membatalkan kebijakan itu karena banyak faktor. Kebijakan tersebut dinilai merupakan jalan pembuka untuk investasi pangan yang merusak lingkungan dan mengurangi kawasan hutan lindung. Ujungnya akan berpotensi menimbulkan banyaknya bencana baru juga konflik sosial.
Dalam jumpa media secara daring yang dilaksanakan pada Minggu (15/11/2020), Direktur Eksekutif Walhi Nasional Nur Hidayati mengungkapkan, kebijakan ini merupakan kegagalan pemerintah melihat fungsi hutan karena menganggap sebagai sumber pangan. Logika tersebut pun digunakan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
”Ini kebijakan yang kontradiktif dan bertentangan dengan kebijakan lainnya. Kebijakan ini memberikan jalan bagi aktor perusak lingkungan lainnya untuk masuk. Bukannya menjadi sumber pangan, malah menghilangkan sumber pangan,” ungkap Nur Hidayati.
BIRO PERS ISTANA
Presiden melihat itik di area Food Estate, Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, Kamis (8/10/2020). Selain menanam padi, di kawasan itu juga dibudidayakan berbagai komoditas lainnya.
Program Food Estate, lanjut Nur, menggunakan APBN sebagai sumber dana. Anggaran yang berasal dari masyarakat, padahal dampak buruk yang dirasakan justru diderita oleh masyarakat.
Kebijakan ini memberikan jalan bagi aktor perusak lingkungan lainnya untuk masuk. Bukannya menjadi sumber pangan malah menghilangkan sumber pangan.
”Rakyat tidak lagi diihat sebagai unsur yang penting, masyarakat lokal yang selama ini menjaga pangan justru tidak diindahkan karena program ini, kan, sistemnya korporatisasi,” kata Nur.
Di Kalimantan Tengah, Direktur Walhi Provinsi Kalteng Dimas Novian Hartono menyebutkan, program pangan tidak hanya berada di kawasan gambut, tetapi juga di luar kawasan itu. Totalnya bakal mencapai 3,2 juta hektar mulai dari komoditas padi dan singkong.
”Ini adalah kesalahan masa lalu yang diulang, puluhan tahun lalu program seperti ini dibuat lalu gagal dan berujung bencana kebakaran hutan dan lahan,” kata Dimas.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Salah satu kanal primer di lahan bekas PLG tahun 1995 di wilayah Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Kanal itu menurut rencana bakal direhabilitasi untuk keperluan program lumbung pangan.
Dimas menambahkan, dalam kebijakan itu juga tidak memasukkan hal pengendalian dan perlindungan ekosistem gambut. Padahal, jenis tanah yang digunakan dalam program itu adalah gambut yang tidak bisa dikelola sembarangan.
Pengamat Lingkungan Hidup Kalteng, Fatkhurohman, menjelaskan, dalam kebijakan itu salah satu alasan yang diberikan adalah karena Food Estate merupakan program pangan dengan skala luas termasuk untuk perkebunan. Pembuat kebijakan, menurut dia, lupa bahwa sejarah kawasan hutan di Kalteng pernah mengeluarkan kebijakan serupa pada 1981 untuk tujuan serupa.
”Saat itu, kawasan hutan yang harusnya dilindungi justru dilepas begitu saja untuk pertanian dan perkebunan skala luas yang berakhir produktivitas hancur dan tidak optimal. Belum lagi konflik sosial yang timbul saat itu,” ungkap Fatkhurohman.
Fatkhurohman menambahkan, di luar kawasan gambut, fungsi lindung hutan akan sangat tergantung pada tutupannya dan hal ini sudah diatur dalam kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2014 tentang Tata cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Sayangnya, Blok E yang memiliki tutupan hutan paling bagus dalam proyek PLG lalu itu saat ini terancam dibuka.
”Blok E itu bukan hanya kubah gambut, melainkan puncaknya gambut. Gambut paling dalam ada di situ, bahkan sdah jadi habitat orangutan,” ungkap Fatkhurohman.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Para menteri sedang duduk dan berbincang di pondok dekat demplot pertanian di Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (10/7/2020).
Wakil Menteri KLHK Alue Dohong saat dihubungi dari Palangkaraya belum mau berkomentar terkait hal tersebut. Beberapa pejabat daerah pun demikian, salah satunya Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng Esau A Tambang. ”Kami masih pelajari kebijakan tersebut,” ujarnya singkat.
Pada konsultasi publik mengenai studi analisis dampak lingkungan pada Sabtu (14/11/2020), Asisten I Sekretaris Daerah Kalteng Hamka mengungkapkan, program strategis nasional tersebut meliputi dua proses, yakni intensifikasi dan ekstensifikasi. Dalam program ekstensifikasi, yang belum dimulai, pihaknya memang akan memperluas wilayahnya ke kawasan yang selama ini terdegradasi atau terbengkalai.
”Makanya, perlu dilakukan konsultasi publik agar kebijakan yang diambli nanti juga tindakannya akan berdasarkan fakta dan obyektivitas,” kata Hamka.