Mereka membuat langkah kecil yang bermanfaat besar: sampah plastik yang tidak bernilai didaur ulang menjadi bijih plastik, salah satu materi dalam pembuatan batu bata dan ”paving block”.
Oleh
Djoko Madurianto Sunarto
·3 menit baca
Rubrik Sosok Kompas di halaman penutup adalah bacaan favorit saya. Paling menarik, tetapi juga selalu berakhir dengan hal yang menyedihkan bagi saya. Mengapa demikian?
Kita semua tahu kualitas manusia Indonesia yang dihadirkan oleh Kompas di rubrik Sosok ini. Ini membuat kita ingin tahu bagaimana ada manusia Indonesia yang berintegritas dengan pengalaman hidup yang hebat? Lalu, kenapa bacaan tersebut malah membuat saya sedih?
Belasan tahun lalu saya pernah menulis di kolom ini tentang keprihatinan saya atas sampah pembungkus camilan (plastik) yang tidak mudah terurai di tanah. Pada Senin (2/11/2020), saya membaca Sosok tentang Saudari Tan Novita dan Ovy Sabrina. Mereka membuat langkah kecil yang bermanfaat besar: sampah plastik yang tidak bernilai didaur ulang menjadi bijih plastik, salah satu materi dalam pembuatan batu bata dan paving block.
Hebat, kan, manusia Indonesia itu? Menarik bukan berita tersebut? Lalu, kenapa Kompas hari itu saya tutup dengan kesedihan? Karena tidak ada tindak lanjut dari pemerintah pusat, atau pemerintah daerah, atau dari institusi, atau dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Bukankah sampah plastik sampai sekarang belum bisa kita kendalikan? Sudah ada solusi menjadikan limbah plastik sebagai campuran aspal, batu bata, dan paving block. Jika tidak bisa masuk menjadi bahan baku ketiga hal di atas, bisa dipakai sebagai bahan pembakaran, seperti yang dilakukan Singapura.
Akan tetapi, sampai sekarang kita tidak menjadikan itu solusi. Bahkan, kita juga tidak punya peraturan tentang pengendalian sampah plastik sehingga saluran air, sungai, dan pesisir dipenuhi dengan sampah plastik.
Mari kita menengok tetangga kita, Singapura. Kompas, Kamis, 3 Desember 2020, menulis ”Ikhtiar Singapura Amankan Pangan”. Ini tentang upaya Singapura menjadi negara pertama dunia yang menyajikan daging ayam dari kultur sel (daging ayam olahan laboratorium).
Perusahaan rintisan Eat Just mengatakan bahwa daging produksinya telah disetujui untuk dijual di Singapura dalam bentuk nugget ayam. Berita penemuan metode pembuatan daging ayam olahan oleh para peneliti laboratorium di Singapura itu sudah saya dapatkan dari bloger video berjudul ”World’s Cleanest Meat!” (Nas Daily, 25/12/2019). Tampak ada usaha dari para peneliti, kolaborasi pengusaha, dan sambutan positif dari Pemerintah Singapura. Solusi dalam ketahanan pangan Singapura.
Kita lihat apakah UU Cipta Kerja bisa jadi solusi banyak hal di Indonesia, termasuk masalah limbah plastik.
Djoko Madurianto Sunarto
Jl Pugeran Barat, Yogyakarta 55141
Kelebihan Bayar
Saya membayar tagihan XL Home untuk satu tahun sebesar Rp 4.612.800 pada 3 September 2020 melalui aplikasi Mandiri Online. Karena gangguan sistem Bank Mandiri, pembayaran pertama gagal. Saya mengulang transaksi dan dinyatakan berhasil.
Ternyata, transaksi gagal itu tetap memotong rekening saya Rp 4.612.800. Bank Mandiri mengatakan, dana telah diteruskan ke Doku selaku pihak XL Home pada 4 September 2020. Berarti saya mentransfer dua kali.
Saya mengontak ke XL Home dan meminta refund. Saya kirim pula bukti rekening koran dan pernyataan Bank Mandiri bahwa terjadi kelebihan bayar. Pihak XL Home berjanji menindaklanjuti.
Hingga 14 Desember 2020, belum ada pengembalian. Saya bolak-balik menghubungi XL Home dan selalu mendapat jawaban bahwa masalah sedang di-follow up.
Mohon kembalikan uang saya yang sangat berarti untuk biaya hidup sehari-hari.
Wignyo Parasian
Cimanggis, Depok
Waspada Kolaps
Menurut laporan Satuan Tugas Penularan Covid-19, penambahan kasus baru Covid-19 terus pecah rekor.
Penambahan kasus harian tertinggi pada 3 Desember 2020 dengan 8.369 kasus. Imbasnya adalah semakin banyak pasien yang harus dirawat di rumah sakit, padahal fasilitas rumah sakit sangat terbatas.
Rasio pemanfaatan tempat tidur isolasi dan unit perawatan intensif Covid-19 di rumah sakit Indonesia mencapai 56,74 persen.
Di sejumlah daerah, ambang okupansi tempat tidur di RS melebihi standar WHO 60 persen. Perlu tekad untuk bergerak cepat memutus rantai penularan. Jika tidak, layanan kesehatan akan kolaps.