Kisah dan sejarah makanan Nusantara bisa menjadi sarana komunikasi dengan negara tetangga. Kekuatan narasi pangan dapat menjadi jembatan untuk merekatkan bangsa ini lagi dan meningkatkan persahabatan dengan bangsa lain.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kuskus, hidangan tradisional warga etnis Berber di wilayah utara dan barat Afrika, ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Penetapan itu dilakukan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), Rabu (16/12/2020). Kuskus adalah pemersatu identitas budaya di Afrika utara. Empat negara—Aljazair, Maroko, Tunisia, dan Mauritania—yang berbeda-beda bersama mendaftarkan penganan ini ke UNESCO.
Kisah lain di dalam makanan ini adalah kaum perempuan memainkan peranan mendasar dalam persiapan dan konsumsi hidangan. Mereka memiliki peran dalam pelestarian sistem nilai simbolik praktik budaya yang mengelilingi proses pembuatan kuskus. Nenek dan ibu menurunkan pengetahuan tentang kuskus kepada anak-anaknya, mulai dari teknik pembuatan hingga cara penyajiannya.
Ada juga lagu, gerak tubuh, dan ekspresi lisan sebagai bagian dari ”ritual” dalam proses pembuatan kuskus. Makanan ini bagi mereka penuh dengan nilai-nilai budaya dan cerita.
Sesungguhnya kuskus juga mengingatkan kepada kita tentang kekuatan di balik makanan di Tanah Air. Kita memiliki banyak cerita pada berbagai makanan yang tersebar di banyak daerah. Misalnya, tradisi makan sirih dan pinang menjadi simbol penyambutan tamu atau kenalan. Ketika kita bertamu di beberapa daerah dan menolak sirih atau pinang, kita dianggap tidak sopan. Sebaliknya, ketika kita menerima sirih dan pinang, induk semang akan senang dan terbuka.
Kita juga mengenal tumpeng di Jawa yang penuh makna. Tumpeng menjadi simbol ucapan syukur. Setiap kali orang Jawa menandai berbagai peristiwa bahagia dalam hidup, tumpeng dipilih sebagai simbol. Potongan tumpeng itu pun dibagikan. Kebahagiaan pula yang hendak dibagikan.
Kita juga mengenal berbagai makanan di Indonesia bagian timur yang menjadi simbol dari kerja keras, kebersamaan, kemampuan bertahan menghadapi alam, dan gotong royong. Lagu-lagu mereka juga menyiratkan makanan sebagai simbol kebersamaan. Lebih dari itu, makanan Nusantara yang mendapat pengaruh dari India, China, Timur Tengah, dan Barat seharusnya menyatukan kita. Kehadiran pengaruh itu di dalam makanan bisa mengatasi perbedaan suku, ras, dan juga agama. Kisah makanan seharusnya membuat kita rukun.
Sekian lama kita dididik tentang manfaat makanan bagi tubuh. Namun, kita lupa bahwa kekuatan pangan tidak hanya soal gizi, tetapi juga tentang cerita dan kisah di dalam pangan membuat kita kuat. Makanan memang memiliki aspek naratif yang banyak terlupakan.
Kisah dan sejarah makanan Nusantara juga bisa menjadi sarana komunikasi dengan negara tetangga. Kekuatan narasi pangan bisa menjadi jembatan untuk merekatkan bangsa ini lagi dan meningkatkan persahabatan dengan bangsa lain.