Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), Rabu (16/12/2020), menetapkan kuskus, hidangan tradisional masyarakat etnis Berber di Afrika, dalam daftar warisan budaya tak benda dunia.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
NEW YORK, KAMIS — Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), Rabu (16/12/2020), menetapkan kuskus, hidangan tradisional masyarakat etnis Berber yang tinggal di wilayah utara dan barat Afrika, sebagai warisan budaya tak benda dunia PBB. Masuknya kuskusatau bulgur dalam daftar warisan budaya dunia tak benda UNESCO membuat daftar itu semakin panjang, yaitu 526, sejak daftar itu pertama kali dibuat pada tahun 2008. Namun, lebih dari sekadar makanan, kuskus adalah pemersatu identitas budaya di Afrika Utara.
Empat negara yang mendaftarkan penganan ini ke UNESCO, yaitu Aljazair, Maroko, Tunisia, dan Mauritania, mungkin memiliki perbedaan. Namun, kecintaan mereka pada makanan pokok berwujud biji-bijian sangat mendalam.
Pemilik restoran Maroko, Hicham Hazzoum, termasuk di antara para penikmat kuskus yang bersorak setelah kuskus mendapat kehormatan dari UNESCO. ”Saya pikir kami adalah satu-satunya negara Arab yang menjunjung tinggi hidangan ini. Mustahil untuk tidak memakannya setiap hari Jumat,” kata Hazzoum.
Dia mengatakan, warga Maroko tergila-gila pada hidangan ini dan bahkan anak-anak menyukainya.
Di hampir seluruh kawasan, kuskus, yang juga dikenal sebagai seksu, kusksi, dan kseksu, sama ”posisinya” dengan nasi atau mi dalam masakan Asia. Tanpa kuskus, makanan pokok tidak akan lengkap. Jika dicamil sendiri, rasanya akan hambar. Namun, kalau kuskus disajikan dengan daging atau ikan, semur pedas, buncis dan sayuran, selera makan akan tergugah.
Kamus bahasa Arab telah mendokumentasikan kuskusi sejak abad ke-19 meskipun makanan itu dikenal jauh lebih tua.
Koki Tunisia, Taieb Bouhadra, mengatakan, masyarakat negaranya bangga karena memiliki berbagai jenis kuskus. ”Ada banyak ragamnya, hampir setiap rumah punya bulirnya sendiri,” kata Bouhadra, pemilik restoran El Ali, di kota tua Tunis.
Kuskus bisa dibuat dari berbagai jenis biji-bijian, mulai dari gandum, jagung, milet, atau sorgum. Biji-bijian itu digiling dan kemudian digulung menjadi pelet, sebelum diayak, direndam, dan terakhir dikukus berulang kali.
Kaum perempuan memainkan peranan mendasar dalam persiapan dan konsumsi hidangan. Lebih jauh, kaum perempuan memiliki peran dalam pelestarian sistem nilai simbolik praktik budaya yang mengelilingi proses pembuatan kuskus. Nenek dan para ibu menurunkan pengetahuannya kepada anak-anaknya, mulai dari teknik hingga cara penyajiannya. Selain itu, ada juga lagu, gerak tubuh, dan ekspresi lisan sebagai bagian dari ”ritual” dalam proses pembuatan kuskus.
Peran kaum perempuan di keluarga dalam pelestarian penganan itu dibenarkan koki Aljazair, Rabah Ourrad. ”Saya tidak mempelajarinya di sekolah memasak. Selama puluhan tahun mengamati ibu, saudara perempuan, dan semua perempuan Afrika Utara yang ahli dalam hal ini,” kata Ourrad.
Pemersatu
Ourrad juga dengan penuh semangat berpendapat bahwa kuskus bisa menjadi pemersatu dan memperkuat rasa kesamaan identitas di antara negara-negara dalam satu kawasan yang kerap memiliki sikap berseberangan ini.
Pengajuan kuskus sebagai warisan budaya tak benda UNESCO ini sempat menuai konflik ketika empat tahun lalu Aljazair menginisiasi sendiri pengajuan ke badan PBB tersebut. Namun, pada Maret 2019, para pemimpin empat negara, yaitu Aljazair, Maroko, Mauritania, dan Tunisia, sepakat untuk bersama-sama mengajukan kuskus ke UNESCO.
Ourrad mengatakan, setiap negara memiliki gaya masing-masing dalam mengelola dan menghidangkan kuskus. ”Tetapi, kita semua adalah orang yang sama, dan kuskus adalah Maghribi. Kuskus milik kita bersama,” katanya.
Namun, tak semua sepakat dengan Ourrad. ”Saya mengatakan ini dengan segala hormat kepada negara lain, kuskus Maroko adalah yang terbaik,” ujar Hazzoum. (AFP)