Wisata Bali Terancam Terpuruk?
Saat ini, warga Bali sulit mengandalkan kunjungan wisatawan asing. ”Di pengujung tahun 2020, saat kami berharap dapur bisa ”ngepul” kembali, segala depresi bisa terpulihkan, eh malah kedatangan wisatawan diperketat....”
Eka Suryani, warga Pulau Bali, tiba-tiba menulis status di akun Facebook miliknya, Selasa (15/12/2020). ”Bapak itu maunya apa sih?” tulisnya diakhiri dengan emoticon orang sedang menangis. Dia sepertinya sangat terpukul. Ada rasa jengkel, kesal, marah, dan sejenisnya.
Seketika status tersebut langsung mendapat respons dari sejumlah warga Bali lainnya. Mereka memiliki sikap dan perasaan yang sama seperti Eka. Ada yang membalas dengan mengatakan, maunya pariwisata hancur. Ada lagi yang menyarankan kepada Eka untuk bersabar. Lalu, dia pun membalas dengan menyatakan,”Stok sabar sudah ditambah.”
Ternyata kekesalan Eka ini bermula dari terbitnya Surat Edaran Gubernur Bali I Wayan Koster tertanggal 15 Desember 2020. Dalam surat itu, Wayan Koster mengeluarkan kebijakan, mereka yang hendak masuk Pulau Bali via udara pada periode 18 Desember 2020 hingga 4 Januari 2021 wajib menunjukkan hasil negatif uji usap (swab) berbasis polymerase chain reaction (PCR). Uji PCR harus dilakukan paling lama dua hari atau 2 x 24 jam sebelum keberangkatan.
Baca juga : Jangan Persempit Habitat Komodo
Kebijakan yang berlaku selama 18 hari itu juga diberlakukan bagi mereka yang menggunakan jalur transportasi darat dan laut. Mereka pun diwajibkan menunjukkan surat keterangan hasil uji negatif uji cepat (rapid test) antigen yang juga harus dilakukan paling lama dua hari sebelum melakukan perjalanan.
Dasar pertimbangan kebijakan ini adalah sebagai upaya mencegah penyebaran wabah virus korona selama masa libur Natal 2020 dan Tahun Baru 2021. Apalagi, saat ini angka penularan kasus positif Covid-19 di wilayah Indonesia masih tinggi, termasuk di Bali, yang ditandai dengan munculnya kluster baru.
Pemerintah daerah setempat meyakini, akan terjadi peningkatan arus kunjungan dan potensi kerumunan masyarakat yang tinggi selama libur Natal dan Tahun Baru 2021 di Bali. ”Perlu bagi semua pihak untuk menjaga kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan serta citra positif Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia,” kata Wayan Koster tentang dasar dibuatnya surat edaran tersebut.
Kebijakan itu sekaligus mengingatkan kepada pelaku usaha, pengelola, dan penyelenggara sebagai penanggung jawab tempat dan fasilitas umum untuk menegakkan secara ketat protokol kesehatan. Protokol kesehatan itu mencakup memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, membatasi interaksi fisik dan menjaga jarak, serta menghindari kerumunan dan membatasi aktivitas di tempat umum.
Gubernur Bali juga melarang keras penyelenggaraan pesta perayaan Tahun Baru 2021 dan sejenisnya di dalam ataupun di luar ruangan; menyalakan petasan, kembang api, dan sejenisnya, serta mabuk minuman keras.
Batal ke Bali
Namun, sebagian masyarakat di Bali menilai, kebijakan tersebut justru memperparah penderitaan mereka. ”Sejak November 2020, hampir tidak ada lagi perputaran uang di Bali. Ekonomi benar-benar mati. Kami berharap dengan datangnya libur Natal dan Tahun Baru 2021, ada sedikit perputaran uang lagi dari wisatawan domestik yang ingin berlibur di Bali. Nyatanya, masuknya wisatawan diperketat lagi sehingga banyak yang membatalkan rencana liburan ke Bali,” kata Eka Suryani, salah seorang pelaku usaha event organizer di Bali.
Dia mengungkapkan, sejak November 2020, pemesanan kamar hotel di Bali untuk libur Natal dan Tahun Baru cukup banyak. Pengelola hotel bahkan sudah memanggil kembali karyawan yang telah berbulan-bulan dirumahkan menyusul ketiadaan pengunjung akibat Covid-19.
Para karyawan dan keluarganya pun senang karena ”dapur” mereka bakal ngepul lagi. Akan tetapi, tiba-tiba pada 15 Desember 2020 keluar surat edaran Gubernur Bali yang memberlakukan syarat sangat ketat bagi wisatawan yang ingin masuk Bali pada periode 18 Desember 2020 hingga 4 Januari 2021. ”Pengelola hotel dan karyawan serta pelaku usaha lain terpaksa gigit jari. Ini yang sangat mengecewakan kami,” ujar Eka.
Kritik serupa dilontarkan Niluh Djelantik, tokoh Bali lainnya. Melalui akun Facebook-nya, Niluh menilai kewajiban tes usap PCR bagi wisatawan yang naik pesawat ke Bali serta tes cepat antigen bagi wisatawan dengan perjalanan darat dan laut pada H-2 masuk ke Bali sebagai kemustahilan.
Baca juga : Kunjungan Wisman Masih Minim, Pariwisata Masih Andalan Bali
”Tahu gak kalau di beberapa daerah, hasil swab baru bisa diketahui setelah tiga sampai empat hari. Tidak semua rumah sakit bisa swab test tiap hari. Contohnya di Timika, Papua. PCR test hanya bisa dilakukan pada hari Selasa dan Kamis,” ujar Niluh.
Dia juga mengingatkan bahwa sebagian wisatawan sudah membeli tiket serta memesan hotel dan akomodasi untuk liburan di Bali. Mereka sudah menyiapkan anggaran untuk tes cepat. Akan tetapi, sekarang muncul aturan yang mewajibkan adanya tes usap. Berarti mereka harus menyiapkan dana 10 kali lipat. Belum lagi bentrokan aturan harus tes maksimal 2 x 24 jam sebelum keberangkatan.
Sudah sekarat
Niluh mencontohkan, wisatawan dari Timika berencana terbang ke Bali pada 27 Desember 2020. Mereka sudah membayar tiket dan hotel jauh hari sebelumnya. Untuk bisa masuk Bali sesuai ketentuan terbaru, mereka mesti melakukan tes PCR pada 25 Desember 2020. Padahal, tanggal 25-26 Desember 2020 merupakan libur Natal. Rumah sakit pun tidak bisa melayani tes karena libur nasional.
Contoh lain, 20 orang dari Jakarta berencana berlibur ke Bali pada 25 Desember 2020. Tiket dan hotel pun sudah dibayar. Mereka sudah menyiapkan anggaran untuk tes cepat sebesar Rp 150.000 per orang. Sekarang, mereka harus menyiapkan biaya tes usap PCR Rp 30 juta. Bayangkan kerugian mereka.
”Selama 10 bulan terakhir, Bali sudah mati suri. Ekonomi sudah sekarat. Rakyat menjerit. Hari ini ada aturan ini. Dadakan. Seolah Bapak baru bangun dari tidur panjang, lalu memutuskan bikin aturan yang mencekik tidak hanya rakyat Bali, tetapi juga wisatawan domestik yang sudah jauh hari merencanakan perjalanan ke Bali,” kata Niluh.
Saat berada di Bali pada akhir Oktober hingga akhir November 2020, saya juga menyaksikan betapa ekonomi di Bali benar-benar lumpuh. Kawasan Kuta, Legian, Tanah Lot, Ubud, dan Tampaksiring yang biasanya penuh dengan kepadatan arus kendaraan bermotor dan pejalan kaki saat itu sungguh sepi dan lengang.
”Sebelum adanya Covid-19, di kawasan Ubud, kendaraan bermotor nyaris susah jalan. Di mana-mana padat. Jalan-jalan desa pun berseliweran wisatawan asing. Sekarang sangat lengang. Jalan ke mana pun di Ubud dalam waktu singkat sudah tiba,” kata Adi Saputra, sopir taksi di Bali.
Ekonomi di Pulau Jawa juga mengalami krisis serupa. Namun, masih ada mobilitas angkutan barang dan penumpang serta kendaraan pribadi antarkota dalam provinsi dan antarkota antarprovinsi sehingga ekonomi setempat masih sedikit bergerak.
Baca juga : Wisatawan Domestik Jadi Penopang Industri Pariwisata
Sebaliknya, di Bali, mobilitas itu nyaris tidak tampak. Mengapa? Karena semua lini kehidupan masyarakat Bali dikendalikan sektor pariwisata. Sektor ini baru bisa bergerak jika ada kunjungan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Saat ini, masyarakat Bali sulit mengandalkan kunjungan wisatawan asing. Apalagi, banyak negara masih melarang warganya untuk masuk ke Indonesia sebagai dampak dari Covid-19. Andalan mereka hanyalah wisatawan domestik.
Pada Oktober 2020, ekonomi Bali mulai sedikit hidup menyusul diselenggarakannya sejumlah kegiatan pertemuan aparatur pemerintah yang dilakukan di Bali. Kedatangan wisatawan domestik yang khusus berwisata juga mendongkrak ekonomi setempat. Uang mulai berputar sedikit. Wisatawan hanya diwajibkan menunjukkan hasil tes cepat sebelum masuk Bali.
”Kini, di pengujung tahun 2020, di saat kami berharap dapur bisa ngepul kembali, segala depresi bisa terpulihkan, eh malah kedatangan wisatawan diperketat. Nasib oh nasib menjadi rakyat jelata yang tidak punya gaji bulanan,” ujar Eka.
Jannes Eudes Wawa, Wartawan Harian Kompas 1997-2019