AS dikenal sebagai negara yang unggul di bidang perang otomatis jarak jauh. Israel juga tidak kalah canggih. China disebut pula mencurahkan dana besar untuk pengembangan kemampuan perang bergenre kecerdasan buatan.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Dalam kasus pembunuhan pakar nuklir Iran Mohsen Fakhrizadeh, muncul dugaan intelijen Israel di belakang aksi itu. Eksekusi diduga dilakukan dari tempat yang jauh.
Di sekitar tempat kejadian, tak tampak seorang penembak pun. Istri ahli nuklir itu, yang duduk sekitar 25 sentimeter di sebelahnya, tak terluka sedikit pun. Ulasan itulah yang kita baca di harian ini, Senin (14/12/2020), tentang kecanggihan militer dewasa ini. Serangan tidak harus melibatkan prajurit di sekitar tempat kejadian.
Kita sudah sering mendengar asasinasi sosok yang dianggap pemuka teroris atau perlawanan dilakukan dengan drone atau pesawat nirawak yang dioperasikan dari tempat jauh. Hal ini dimungkinkan setelah eksekutor mendapatkan info intelijen, yang didasarkan pada komunikasi sosok sasaran yang dipantau satelit. Kita kini berada di perang generasi keempat, ditandai oleh perang asimetris, berhadapan David melawan Goliath.
Pada sisi lain, dari metode, tidak jarang diwacanakan perang siber, yang melibatkan serangan online untuk melumpuhkan aktivitas ekonomi modern yang bersandar pada internet. Dengan keandalan kemampuan bidang virtual, serangan konvensional yang mahal dan berpotensi mengancam jiwa, musuh bisa dilumpuhkan. Serangan konvensional, seperti dilakukan Amerika Serikat terhadap Irak atau Afghanistan, dianggap tak mampu mencapai tujuan politik yang diharapkan, seperti disinggung Linda Bilmes dan Joseph Stiglitz dalam buku klasiknya, The Three Trillion Dollar War.
Dilandasi semangat menghemat biaya, mengurangi dampak kolateral, fisik maupun politik, kuasa maju—kuasa yang punya teknologi canggih—lebih menyukai pemanfaatan teknologi maju untuk menyerang musuh, khususnya dalam misi yang bercorak intelijen. Kemampuan teknologi jadi kuncinya.
Musuh tidak pernah merasa aman lagi, apalagi jika mengoperasikan gawai seluler. Sinyalnya menjadi petunjuk keberadaannya. Informasi posisi itu secara presisi diumpankan pada drone militer yang dilengkapi dengan persenjataan untuk menghantamnya dengan presisi tinggi.
Kita mengamati adanya kemajuan yang berarti. Pada masa lalu, sasaran dihancurkan dengan mobilnya diledakkan. Kini, dalam kasus pakar Iran Fakhrizadeh, sasaran ditembak secara individual. Istri di sebelahnya tak terkena tembakan.
AS dikenal sebagai negara yang unggul di bidang perang otomatis jarak jauh ini. Kini terbukti Israel juga tidak kalah canggih. China juga disebut mencurahkan dana besar untuk pengembangan kemampuan perang bergenre kecerdasan buatan ini. Jenis perang yang semula lebih ditujukan untuk mengamankan pilot pesawat tempur dari serangan senjata antipesawat ini sekarang diperluas untuk otomatisasi pertempuran. Tank pun dimungkinkan maju tanpa awak.
AS, China, Rusia, dan Israel kini boleh jadi adalah negara terdepan dalam perang bernapas kecerdasan buatan. Kuasa lain, seperti Inggris, juga tak ketinggalan dan disebut akan punya 30.000 robot tentara pada tahun 2030. Tentu kita berharap militer Indonesia tak ketinggalan dalam mengikuti perkembangan teknologi kemiliteran modern ini.