Jika kebanyakan pemuda merantau ke kota mencari peruntungan, Rufus Okeke, tokoh panutan idola anak muda di kampung halamannya, justru meninggalkan pekerjaan mapannya sebagai mekanik sepeda demi kemajuan Umuofia, sebuah desa di Nigeria, Afrika Barat. Dilibatinya program pemberantasan buta huruf dan pengentasan rakyat miskin.
Tidak mengherankan jika tokoh rekaan Chinua Achebe ini diandalkan sebagai manajer kampanye pemenangan Marcus Ibe yang mencalonkan diri lagi di konstituennya. Rufus meyakinkan Ketua Umum Partai Persatuan Rakyat ini bahwa janji-janji saja tidak akan mempan untuk menjaring suara dalam pilkada. Sedikit uang receh untuk calon pemilih pasti bermanfaat, saran sang juru kampanye. Maka, Marcus tidak segan-segan menarik 5 bulan gaji di muka untuk itu.
Mendekati pilkada, Rufus bertemu lima penatua desa dan masing-masing diberi recehan untuk memenangkan Marcus. Namun, pada malam menjelang hari pemilihan, seorang utusan kubu lawan mendatangi Rufus dengan lembaran uang kertas disertai ancaman halus—bersumpah demi Dewa Iyi. Dengan ”berat hati” Rufus mengambil uang itu setelah berikrar mendukung Maduka dari Partai Organisasi Progresif. Diyakininya, satu suara saja tak akan mengurangi kemenangan petahana yang diramalkan bakal menang telak.
Tokoh kita ini sepertinya tidak sulit ditemui di dunia nyata. Rakyat telanjur terpikat pada perbaikan infrastruktur oleh Marcus sang wakil rakyat: pipa air bersih, listrik, dan gedung pertemuan yang diresmikan dengan pesta sembelihan lima kerbau dan puluhan kambing.
Rakyat tidak peduli bahwa Marcus yang merangkap Menteri Kebudayaan ini mendulang kekayaan pribadi selama menjabat. Rakyat juga tidak hirau bahwa Marcus terjun ke politik setelah meninggalkan profesi guru begitu berita pelecehannya atas sejumlah perempuan guru mulai tercium. Warga Umuofia dibayar murah untuk merusak integritas pesta demokrasi yang seharusnya bernilai mahal.
Akhirnya datanglah hari pemilihan itu. Dengan gagah, walau sedikit galau, Rufus datang ke TPS diiringi sorak-sorai dari kedua kubu. Rufus diberi kesempatan pertama memasuki bilik pemilihan. Kebimbangan membuatnya berlama-lama di bilik rahasia itu hingga orang-orang di luar meneriakinya.
Tiba-tiba ia mendapat ide. Cepat-cepat Rufus melipat kertas suara, menyobeknya menjadi dua, dan memasukkan satu per satu ke kotak Marcus dan Maduka. Kemudian, ia keluar memamerkan ujung jari bercelup tinta sambil tersenyum lebar. ”Saya pilih Maduka,” teriaknya. Rufus Okeke meninggalkan TPS. Gagah, seperti saat ia datang.
Ditulis oleh peraih Man Booker International Prize 2007 dan berbagai penghargaan sastra, cerpen berjudul asli The Voter ini menyoroti seluruh skenario pemilu dan bagaimana orang yang terpandang dan berpengetahuan justru melawan norma dan nilai-nilai moral. Rufus tunduk pada iming-iming harta sehingga rela berkhianat.
Pemuda harapan rakyat ini menghadapi dilema: setia pada kubu tertentu atau mengabaikan tulah dewa lokal. Nurani baik tidak mampu menuntun pemuda kita yang di awal cerita tampil sebagai teladan. Demi kepentingan pribadi, Rufus mencurangi Marcus, membohongi Maduka, mengecoh pemilih-pemilih lain, dan terlebih ia telah mengingkari bisikan hati dan merendahkan martabatnya sendiri.
Jika berumur panjang, rasa bersalah akan menghantuinya senantiasa. Cepat atau lambat, bau busuk akan keluar dari pemuda yang seharusnya menjadi pengharum bangsa.
Setiap warga negara berkewajiban sipil dan moral untuk memilih secara bebas. Tetapi, membeli, menjual, atau memperdagangkan suara dengan dalih apa pun adalah tindakan kriminal. Baik Marcus maupun Maduka bukan pemimpin yang bersih, tetapi tindakan Rufus merusak kertas suara sangatlah tidak terpuji.
Cerpen ini sederhana, tetapi butuh refleksi untuk menangkap pesannya. Ironi dan otokritik mewarnai karya-karya Achebe. Dilawannya distorsi penggambaran bangsa Afrika dalam sastra Barat dengan cara mengklaim kembali sejarah Afrika.
Menurut Achebe, sastrawan bertugas menjadi guru bagi masyarakat agar tidak melupakan sejarahnya sendiri. Dididik dalam tradisi Kristen Protestan, Achebe mengkritisi ambiguitas masyarakat Afrika modern yang secara kultural terbelah akibat penjajahan bangsa Barat beserta paham-pahamnya, termasuk gagasan tentang demokrasi.
Memang benar, pemilu adalah realisasi demokrasi. Namun, Jason Brennan mengklaim bahwa demokrasi sering kali terlalu dibesar-besarkan, kadang hanya sekadar mencari bentuk pemerintahan baru, dan kerap kali tidak memberdayakan masyarakat, alih-alih menciptakan hasil yang lebih adil.
Dalam Against Democracy (2016), filsuf politik dan guru besar di Universitas Georgetown ini menunjukkan sisi buruk demokrasi karena memberi ruang bagi pemilih yang irasional, tribalistik, dan tidak menggunakan hak pilih secara serius. Pilihan keliru pada pemilu dapat menghasilkan ketidakadilan hukum, perpecahan sia-sia, dan kebijakan ekonomi yang berisiko.
Di Amerika Serikat, afiliasi partai politik diibaratkan dengan fanatisme pada klub bisbol. Memakai kostum Red Sox di Stadion Yankee tidak membuat seseorang dipukuli sampai babak belur, Brennan mencontohkan. Di dunia olahraga, fanatisme semacam ini hanyalah sarana bersenang-senang untuk menyalurkan perbedaan. Sebaliknya, lanjut Brennan, di panggung politik praktis, terutama pada era media sosial, perpecahan karena perbedaan politik makin memburuk sehingga demokrasi pun lumpuh dan tidak berfungsi.
Gelaran pilkada baru usai di negeri ini di tengah pandemi yang enggan menyurut. Jika benar sastra mengemban tugas luhur sebagai guru, seperti dipesankan Chinua Achebe, hanya perlu seorang seperti Rufus Okeke untuk melumpuhkan demokrasi, menghancurkan bangsa, dan, terutama menistakan diri sendiri sepanjang hayat.
Novita Dewi, Guru Besar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta