Berbagai kelompok paramiliter itu diciptakan, dipelihara, dan kadang dimanfaatkan untuk melakukan aksi kekerasan agar aktor yang memintanya bisa bebas dari tanggung jawab terhadap kekerasan yang terjadi.
Oleh
Ahmad Najib Burhani
·4 menit baca
Kepada masyarakat dunia, kita sering memperkenalkan diri sebagai bangsa yang ramah, toleran, murah senyum, dan bersahabat. Namun, dalam beberapa minggu terakhir, beberapa keonaran dan tindak kekerasan hadir di tengah-tengah masyarakat.
Terjadinya beberapa kekerasan di Tanah Air di atas lantas mengingatkan kepada sebuah artikel panjang yang ditulis oleh Elizabeth Fuller Collins di Asian Survey dengan judul ”Indonesia: A Violent Culture?” (2002).
Di bagian pendahuluan, artikel itu mengutip pernyataan seorang tokoh militer yang sekarang menjadi salah satu menteri di kabinet Joko Widodo yang menyebutkan bahwa ”budaya Indonesia itu sangat bengis (violent)”. Dia memperkuat pernyataannya itu di antaranya dengan merunut asal kata amok yang berasal dari lingua franca di negara kepulauan ini.
Tentu saja anggapan di atas tak bisa diabaikan begitu saja. Menyebut sebuah bangsa memiliki violent culture (tradisi atau budaya yang bengis) sama sekali berbeda dari menyatakan ada cultural violence atau ada elemen kekerasan dari budaya tertentu. Seperti diklarifikasi oleh Johan Galtung (1990), istilah pertama mengasumsikan bahwa semua domain budaya itu bersifat bengis. Adapun yang kedua mengindikasikan adanya kandungan kekerasan pada kultur tertentu.
Artikel di atas sebetulnya tidak hendak mengafirmasi bahwa Indonesia itu berbudaya bengis, tetapi justru menunjukkan bahwa berbagai aksi kekerasan yang terjadi di masyarakat itu sering kali diciptakan untuk kepentingan politik tertentu.
Hanya saja, memang ada tradisi kekerasan yang tumbuh di masyarakat kita. Salah satunya adalah keberadaan beberapa kelompok milisi dan paramiliter yang ditoleransi oleh sebagian masyarakat dan elite pemerintah. Paramiliter itu memiliki berbagai variasi. Ada yang berafiliasi dengan tentara atau polisi, ada yang ke partai politik, dan ada pula yang berafiliasi ke ormas-ormas keagamaan.
Berbagai kelompok paramiliter itu diciptakan, dipelihara, dan kadang dimanfaatkan untuk melakukan aksi kekerasan agar aktor yang memintanya bisa bebas dari tanggung jawab terhadap kekerasan yang terjadi. Banyak yang berkepentingan terhadap keberadaan milisi atau paramiliter ini dan enggan menerima argumen bahwa memelihara kelompok-kelompok seperti itu sama seperti memelihara budaya kekerasan di tengah masyarakat.
Kelompok paramiliter itu ketika masih kecil memang bisa dikontrol oleh tuannya. Namun, beberapa kelompok itu kini sudah menjadi besar dan tak bisa dikendalikan lagi oleh mereka yang dulu terlibat membidani kelahirannya. Ibarat Frankenstein, kelompok paramiliter itu bahkan tak jarang menampar muka, mempermalukan, dan hendak membunuh tuan-tuannya.
Bagaimana proses sebuah tindak kekerasan bisa berubah menjadi habitus di masyarakat? Keberadaan paramiliter itu dalam sejarah Indonesia memang bisa dirunut hingga masa perang kemerdekaan dengan berbagai kelompok laskar atau milisi yang melakukan perang gerilya melawan penjajah.
Berbeda dari masa kemerdekaan, ketika suasana sudah aman, laskar atau paramiliter tertentu justru lebih sering mengintimidasi masyarakat daripada menciptakan ketenangan. Ia lebih banyak memberikan proteksi dan keamanan bagi tuan atau mereka yang membayarnya dan mengorbankan rasa aman bagi masyarakat umum.
Ini dilakukan, misalnya, dengan melakukan penutupan jalan raya, penyerangan tempat ibadah dari kelompok agama minoritas, dan ancaman kekerasan fisik, bahkan pembunuhan terhadap seseorang. Keberadaan gardu atau pos paramiliter tampak lebih banyak dari pos polisi dan seperti menjadi penguasa di wilayah tertentu.
Untuk melegitimasi kekerasan yang dilakukan, beberapa kelompok membungkus aksinya dengan semangat nasionalisme, sementara sebagian yang lain membungkusnya dengan dalil-dalil keagamaan. Dengan model legitimasi itu, tindak atau perilaku kekerasan yang dilakukan akan terlihat atau mungkin terasa sebagai tindakan yang benar, atau paling tidak, tidak dianggap sebagai kesalahan. Legitimasi ini terus ditanamkan kepada para anggotanya sehingga menjadi bagian dari keyakinannya.
Keberadaan paramiliter ini acap kali dianggap sebagai norma umum atau sesuatu yang lumrah, wajar, dan bahkan dibutuhkan. Tentu level intimidasi dan kekerasan yang muncul dari kehadiran mereka berbeda-beda. Ada yang ekstrem dengan menganggap bahwa merusak properti orang lain itu diperbolehkan jika mereka menjual barang haram.
Dengan menggunakan legitimasi agama, sebagian meyakini bahwa sebuah kekerasan bisa menjadi halal. Ada pula yang meyakini bahwa mengintimidasi mereka yang berbeda agama itu diperbolehkan guna memproteksi pemeluk agamanya.
Kesalahan dari sebagian elite masyarakat dalam kaitannya dengan kelompok paramiliter itu adalah, seperti dikatakan Ian Wilson (2014), ”di depan publik mereka mengecam kekerasan yang dilakukan, tetapi diam-diam mengagungkan dan menjalin aliansi dengan pimpinannya”.
Terakhir, jika sebuah kekerasan bisa berubah menjadi tradisi, terutama ketika ia di-institusionalisasi dan dilegitimasi sebagai sesuatu yang benar, sebaliknya tradisi atau kultur perdamaian pun bisa menjadi habitus di masyarakat jika terus ditanamkan.
Tradisi atau kultur perdamaian pun bisa menjadi habitus di masyarakat jika terus ditanamkan.
Ini di antaranya dengan membawa setiap persoalan kepada hukum dan tidak main hakim sendiri. Tugas pemerintah adalah memperkuat penegakan hukum dan menciptakan peradilan yang bersih. Jika tidak, tradisi kekerasan dan main hakim sendiri akan terus menemukan tempatnya di masyarakat.
*Ahmad Najib Burhani
Profesor Riset di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)