Guru memiliki peran sentral dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Seorang guru bisa menginspirasi dan memotivasi pembelajar mampu, bahkan untuk melakukan hal-hal yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya.
Oleh
ACHMAD MUNJID
·5 menit baca
Peringatan Hari Guru 25 November lalu merupakan momen strategis untuk mengevaluasi kembali dunia pendidikan kita. Pengajaran model bank soal dan formalisme manajemen lembaga pendidikan yang terlalu menekankan prosedur administratif membuat proses belajar-mengajar terasa makin berat dan tumpul, apalagi selama pandemi.
Pendidikan adalah eksplorasi potensi diri dan interaksi bermakna dengan lingkungan sosial melalui olah nalar agar pembelajar mampu mandiri dan menjadi manusia merdeka. Untuk itu, selain kompetensi teknis, program ”Merdeka Belajar” perlu menciptakan lingkungan belajar agar para guru mampu memainkan peran sentral seperti uraian berikut.
Model berpikir
Sebagai awalan, Temple Grandin, profesor ilmu hewan di Colorado State University, AS, punya riwayat yang sangat menarik. Selain berderet penghargaan prestisius di bidang sains, pada 2010 Temple Grandin, film produksi HBO tentang kisah hidupnya, menyabet tujuh hadiah Emmy. Di balik buku-buku dan karya desain penanganan ternak yang dilahirkannya, siapa sangka bahwa dia dulunya adalah seorang penyandang autisme akut?
Sang guru mampu melihat "perbedaan" yang dimiliki Grandin bukanlah kekurangan, melainkan kelebihannya.
Sampai usia remaja Grandin tak bisa bersosialisasi, dianggap punya keterbelakangan mental dan kerap di-bully di sekolah. Berkat peran seorang guru sains SMA-nya, Grandin kemudian bisa mengaktualisasikan potensinya. Sang guru mampu melihat ”perbedaan” yang dimiliki Grandin bukanlah kekurangan, melainkan kelebihannya.
Karya Grandin, Emergence: Labeled Autistic (1986), adalah buku pertama tentang autisme yang ditulis ”orang dalam” dengan bahasa amat jernih dan penjelasan sungguh mencerahkan. Ia juga membongkar banyak kesalahpahaman soal autisme.
Dalam Thinking in Pictures (2006: 28-29), Grandin berpendapat manusia berpikir setidaknya menurut tiga model. Ketiganya tak bisa diukur secara sama, apalagi dibuat seragam. Setiap ragam itu cocok untuk bidang atau profesi yang berbeda, saling memperkaya, dan membuat kehidupan ini justru kian baik bagi semua.
Pertama, model visual. Pada model ini orang berpikir dalam citra dan detail yang spesifik. Itulah model berpikir yang dimiliki Grandin dan banyak penyandang autis lain. Ia sangat cepat belajar geometri yang obyeknya bentuk dan segi-segi konkret, tapi selalu gagal memahami aljabar yang terlalu abstrak.
Semula ia bahkan tak tahu bahwa model berpikirnya berbeda dari orang lain sampai ”ditemukan” oleh gurunya. Ketika ia berpikir, pemahamannya tak dibangun dalam susunan pernyataan verbal yang linear dan logis, tetapi oleh asosiasi gambar-gambar spesifik yang tersimpan dalam memorinya. Model berpikir ini sangat cocok untuk bidang seperti desain grafis, konstruksi, fotografi, dan otomotif.
Kedua, model pola, yaitu model berpikir yang menonjolkan pola (pattern), relasi-relasi abstrak di antara berbagai hal. Orang yang berpikir begini sangat kuat dalam matematika dan musik, tetapi sering lemah dalam menggambar atau bahasa. Mereka cocok bekerja dalam bidang pemrograman komputer, fisika, kimia, statistik, atau musik.
Bisa saja ada orang dengan pola berpikir kombinasi di antara ketiganya.
Ketiga, paling lazim, berpikir dengan logika verbal. Pada umumnya orang memang berpikir dalam bahasa, menggunakan susunan kata-kata untuk membentuk pemahaman yang logis. Jurnalisme, sejarah, diplomasi, akuntansi, keuangan, dan seni peran adalah bidang profesi yang cocok untuk model ini.
Tentu saja ini bukan kategori kaku. Bisa saja ada orang dengan pola berpikir kombinasi di antara ketiganya. Namun, kategori ini membantu kita mengidentifikasi ragam model berpikir dengan segala kelebihan, kekurangan, dan cara pengelolaan.
Inspirasi dan motivasi
Grandin akhirnya memilih jadi ilmuwan sains berkat inspirasi guru sains SMA-nya. Disadari atau tidak, banyak orang memilih suatu profesi di kemudian hari berkat inspirasi dari cara seorang guru mengajarinya di sekolah.
Minat bisa muncul lebih kuat karena inspirasi seorang guru. Sebaliknya, tak sedikit yang awalnya punya potensi besar di suatu bidang, akhirnya mengambil profesi atau jalan hidup lain karena cara mengajar guru yang memadamkan potensinya.
Mungkin tak semua guru bisa memberi inspirasi, tetapi setiap guru tentu bisa menggugah motivasi. Inilah peran sentral kedua. Motivasi guru penting untuk merawat dan mengembangkan rasa ingin tahu dan minat muridnya.
Cara paling efektif menggugah motivasi murid adalah dengan ”memperlihatkan” bahwa sang guru sendiri punya antusiasme terhadap apa yang diajarkan. Antusiasme akan melahirkan optimisme. Dengan antusiasme, belajar menjadi menarik, mudah, penting, dan relevan.
Dengan optimisme, setiap masalah akan menemukan solusi melalui pengetahuan yang dipelajarinya. Pengetahuan adalah penjelajahan untuk menemukan problem sebagai tantangan sekaligus kemungkinan baru yang menggairahkan.
Apresiasi dan kepercayaan
Ketiga, memberi apresiasi. Tak semua murid bisa langsung paham apa yang sedang dipelajarinya di kelas. Dengan apresiasi, seorang murid didorong mencari lebih banyak, lebih jauh, dan lebih mendalam di luar kelas. Apresiasi guru bukan cuma tidak mematikan rasa ingin tahu, tapi ia juga bisa membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang tak terduga. Ia bisa menjadi ”sihir” ilmu pengetahuan.
Dengan optimisme, setiap masalah akan menemukan solusi melalui pengetahuan yang dipelajarinya.
Keempat, memberi kesempatan, tantangan, dan kepercayaan. Dengan diberi kesempatan, murid punya ruang untuk mencerna menurut kemampuan dan caranya. Dengan tantangan dan kepercayaan, murid punya kemerdekaan untuk membuktikan pada diri sendiri dan orang lain bahwa ia mampu. Jika guru kurang percaya, apalagi tak percaya bahwa muridnya mampu, ia sudah membekukan nalar dan menghentikan proses belajar.
Kepercayaan guru itu pula yang memungkinkannya untuk bisa melihat bahwa setiap murid bukan cuma tak sama, tapi juga tak boleh diseragamkan. Perbedaan kapasitas dan ragam kecerdasan murid harus dilihat sebagai peluang mengembangkan pengetahuan dalam spektrum pemahaman yang luas.
Kepercayaan yang diberikan seorang guru akan membuat pembelajar mampu, bahkan untuk melakukan hal-hal yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya.
Bahkan, jika sebagian besar pelajaran di kelas akan terlupa, inspirasi, motivasi, apresiasi, peluang, tantangan, dan kepercayaan yang diberikan seorang guru akan terus hidup dan membentuk masa depan murid-muridnya.
Itulah peran-peran sentral yang perlu dimainkan oleh guru dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Jika bukan karena pendekatan dan peran gurunya, sulit membayangkan Grandin bisa jadi ilmuwan ternama dengan kontribusi tak ternilai bagi dunia.