Tak ada seorang pun yang berhak membahayakan hidup, nyawa, dan kesehatan orang lain. Menutupi status Covid-19-nya berarti menjadikan orang lain terpapar bahaya tertular Covid-19.
Oleh
KUSMARYANTO, SCJ
·4 menit baca
Sudah sejak zaman Hippokrates, seorang dokter wajib menjaga kerahasiaan penyakit pasiennya. Hal ini tampak pada sumpah Hippokrates yang, antara lain, berbunyi, ”Apa pun yang saya lihat atau saya dengar dalam rangka pengobatan, bahkan yang terjadi di luar kerangka itu, yang berhubungan dengan hidup manusia, yang tidak boleh disebarkan ke luar, saya akan menjaganya bagi diriku sendiri, dengan berpegang teguh bahwa membuka rahasia itu menjadi sesuatu yang memalukan bagiku.”
Menyimpan rahasia ini juga menjadi bagian dari sumpah dokter Indonesia yang berbunyi, ”Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya.” Memegang kerahasiaan itu menjadi kewajiban suci seorang dokter karena ini penting menyangkut kepercayaan pasien.
Dokter harus menjaga kepercayaan pasien dengan memegang teguh sumpah yang sudah diucapkannya. Membuka rahasia pasien dengan sembarangan akan mempersulit proses terapi karena pasien tidak akan mudah untuk mengungkapkan informasi yang diperlukan oleh dokter dalam menegakkan diagnosis. Seorang dokter yang suka membuka rahasia pasiennya pasti tidak akan dipercayai oleh pasiennya dan pasien tidak mau berobat lagi kepada dokter itu.
Dokter harus menjaga kepercayaan pasien dengan memegang teguh sumpah yang sudah diucapkannya.
Oleh karena itu, wajarlah bahwa hukum dan etika kedokteran mengatur soal kerahasiaan pasien ini supaya tidak mudah disalahgunakan. Apalagi di era digital ini, informasi pribadi laku dijual dan mendatangkan banyak keuntungan. Kalau tidak diatur, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan (abuse) pasti menjadi semakin besar.
Menjadi pertanyaan besar, apakah rahasia kedokteran itu boleh dibuka. Kalau boleh, kapan bisa dibuka dan oleh siapa? Jelaslah bahwa dalam situasi biasa, menjaga privasi pasien (menjaga kerahasiaan penyakit pasien) menjadi sangat penting. Rahasia itu tidak boleh sembarangan dibuka. Informasi mengenai penyakit pasien adalah hak pasien sehingga kalau ingin membuka kepada pihak lain, harus seizin pasien.
Orang yang terkena Covid-19 pun berhak untuk dirahasiakan penyakitnya supaya dia tidak mendapatkan stigma yang jelek dari masyarakat. Pada awal kasus Covid-19 di Indonesia, ketika diumumkan oleh Presiden Jokowi bahwa ada kasus Covid-19 di Indonesia, orang mencari dan menyebarluaskan informasi itu, bahkan sampai foto diri, rumah, alamatnya, dan sebagainya. Ini pelanggaran serius terhadap etika privasi, menyimpan kerahasiaan pasien.
Apakah rahasia itu memang sama sekali tidak bisa dibuka? Tokoh bioetika terkenal yang bukunya menjadi pedoman pembelajaran bioetika, Tom L Beauchamp dan James F Childress, mengatakan bahwa respect the privacy of others (menjaga kerahasiaan orang lain) itu masuk ke dalam prinsip respect for autonomy. Akan tetapi, respect for autonomy itu bersifat prima facie (Principles of Biomedical Ethics, 2019, hlm 105).
Apa itu prima Ffcie? Istilah prima facie berasal dari kata bahasa Latin prima (pertama) dan facies (wajah). Arti harfiahnya: pada penampilan/pemunculan/wajah/perjumpaan yang pertama. Yang dimaksud ialah kebenaran atau fakta atau kewajiban yang muncul pada pandangan pertama ketika pertama kali berjumpa atau pertama kali muncul.
Akan tetapi, kewajiban itu bukanlah kewajiban absolut. Kalau ada kewajiban lain yang lebih mendasar atau lebih fundamental, kewajiban yang pertama itu bisa digugurkan. Yang menjadi kewajiban aktual (actual duty) yang harus dilakukan adalah kewajiban yang lebih fundamental itu.
Akan tetapi, kewajiban itu bukanlah kewajiban absolut.
Syarat gugur
Dalam kasus Covid-19, menjaga rahasia pasien itu adalah kewajiban prima facie. Kalau tidak bertabrakan dengan kewajiban lain yang lebih besar, kewajiban menjaga rahasia itu harus dijunjung tinggi.
Akan tetapi, kalau kewajiban menjaga rahasia itu bertabrakan dengan kewajiban lain yang lebih mendasar, kewajiban menjaga rahasia itu gugur. Apakah ada kewajiban yang lebih besar daripada menjaga kerahasiaan itu? Jelas ada, yakni menjaga kesehatan dan hidup orang lain.
Menyelamatkan hidup manusia itu lebih fundamental daripada respect for privacy (menjaga kerahasiaan pasien) karena hanya orang yang hidup yang punya privasi. Adanya privasi mengandaikan adanya hidup.
Kewajiban etis
Maka, hidup lebih fundamental daripada privasi, bahkan hidup menjadi dasar adanya privasi. Oleh karena itu, kalau menjaga kerahasiaan pasien justru menjadi ancaman bagi kesehatan umum, apalagi kalau ada ancaman bagi hidup manusia lain, maka privasi itu harus dibuka.
Tidak ada lagi kewajiban untuk menjaga kerahasiaan. Bukan berarti rahasia itu boleh dibuka kepada masyarakat umum, tetapi hanya boleh dibuka kepada mereka yang ada kemungkinan terancam bahaya dan untuk keperluan pelacakan (tracing) wabah itu.
Dalam hal pandemi Covid-19, ada kasus pembukaan status Covid-19 itu diperlukan untuk pelacakan dan pencegahan penularan lebih lanjut, untuk menyelamatkan nyawa manusia. Pembukaan itu diperlukan bagi common good atau kebaikan bersama (bonum commune). Jadi, kalau ada pasien yang terindikasi kena Covid-19, sebaiknya dari kesadaran dia sendiri mengatakan statusnya supaya orang yang pernah berkontak dengan dia bisa menindaklanjuti keadaan itu.
Menutupi status Covid-19-nya berarti menjadikan orang lain terpapar bahaya terkena Covid-19.
Kalau sampai yang bersangkutan tidak mau, membuka rahasia itu menjadi kewajiban etis. Menutupi status Covid-19-nya berarti menjadikan orang lain terpapar bahaya terkena Covid-19.
Tak ada seorang pun yang berhak membahayakan hidup, nyawa, dan kesehatan orang lain. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk menjadikan kesehatan dan hidup orang lain terpapar bahaya, apalagi bahaya yang mematikan.
Dalam hal ini, saya sungguh respect dan penuh hormat kepada beberapa tokoh, seperti Prof Iwan Dwi Prahasto, mantan Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UGM, yang ketika terkena Covid-10 dengan sadar membuka statusnya agar orang lain yang pernah kontak dengannya bisa diselamatkan dari Covid-19.
KusmaryantoSCJ, Dosen Bioetika Kedokteran Pascasarjana Universitas Sanata Dharma dan Center for Bioethics and Medical Humanities FK UGM