Sudah saatnya masyarakat bersama aparat tidak lagi berdiam diri dalam mengawal terwujudnya masyarakat yang rukun, damai, dan bermartabat berdasarkan Pancasila dalam bingkai NKRI.
Oleh
Bharoto
·3 menit baca
Melalui tayangan televisi, kita menyaksikan ada ratusan karangan bunga yang dikirim untuk Pangdam Jaya. Bunga berasal dari berbagai elemen masyarakat, ungkapan terima kasih dan dukungan kepada Pangdam Jaya menghadapi kelompok ekstrem.
Itu bukan fenomena yang sepele karena menggambarkan bangkitnya sikap dari sebagian besar masyarakat yang biasa disebut silent majority. Mereka yang selama ini bersikap diam dalam banyak peristiwa.
Sekalipun ada politisi ataupun aktivis yang kurang setuju dengan langkah tegas Pangdam Jaya, masyarakat tidak peduli. Tampaknya, pada satu titik, masyarakat sudah tidak tahan lagi, apalagi aparat selama ini terlihat gamang untuk menindak tegas kelompok semacam ini.
Sesungguhnya sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang moderat dan penuh toleransi. Namun, suaranya terdengar sayup dibandingkan kelompok ekstrem yang kerap bersuara lantang.
Bangsa Indonesia pun sebenarnya kaya dengan kearifan lokal yang diajarkan melalui budi pekerti dan nilai-nilai luhur. Misalny, di Jawa ada ajaran untuk bersikap andap asor (rendah hati, sopan santun), tepa selira (toleran), dan mulat sarira hangrasa wani (mawas diri dan berani bertanggung jawab). Tiba-tiba, sekarang muncul seruan kejam dan ceramah yang tidak pantas disebut di sini!
Sudah saatnya masyarakat bersama aparat tidak lagi berdiam diri dalam mengawal terwujudnya masyarakat yang rukun, damai, dan bermartabat berdasarkan Pancasila dalam bingkai NKRI. Semoga.
BHAROTO
Jl Kelud Timur, Semarang
Tak Boleh Kalah
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj menekankan pentingnya memperkuat dakwah Islam yang moderat dan toleran.
Beliau mengatakan, ”Ke depan mari kita perkuat dakwah Islam yang wasatiyah, yang moderat, menghadapi munculnya kelompok radikal,” (Kompas, 13/11/2020).
Paham moderat mengedepankan keseimbangan akal dan wahyu, serta keseimbangan keragaman antarkelompok sebagai prinsip dasar untuk menjaga kemaslahatan bersama (Kompas, 17/11/2020).
Kenyataan di Indonesia saat ini dapat dilihat dari tulisan di Kompas (Selasa, 17/11/2020) berjudul ”Konservatisme Mendominasi Media Sosial”.
Disebutkan, narasi keagamaan di media sosial masih di dominasi oleh narasi konservatif. Oleh karena itu, transformasi di kalangan moderat untuk lebih aktif di media sosial amat diperlukan.
Dari penelitian ”Beragama di Dunia Maya: Media Sosial dan Pandangan Keagamaan di Indonesia” yang menganalisis data media sosial sepanjang 2009-2019, diketahui dengung konservatisme mencapai 67,2 persen, moderat (22,2 persen), liberal (6,1 persen), dan Islamis (4,5 persen).
Paham konservatif adalah aliran keagamaan yang menjadikan tradisi Islam awal sebagai acuan yang harus diterapkan secara harfiah.
Banyak oknum aparatur sipil negara (ASN) ataupun aparat penegak hukum beserta keluarga menjadi pengikut aliran konservatisme. Mereka menjadi intoleran dan radikal. Mereka berhasil membungkam lembaga majelis keagamaan di Indonesia sehingga upaya pembimbingan, pembinaan, dan pengayoman umat demi kemaslahatan bersama menjadi kabur maknanya.
Kalau kemudian khotbah keagamaan dibiarkan penuh kebohongan, fitnah, kata-kata kotor, kasar, kejam, dan sarat ujaran kebencian, lalu kita harus bagaimana?
Judul berita di Kompas (Minggu, 15/11/2020), ”Mekanisme di Negara Lain Bisa Jadi Contoh”, bisa jadi solusi. China, misalnya, stabilitas politiknya sangat terjaga. China membolehkan orang beragama atau tidak beragama, kembali kepada kebebasan pribadi masing-masing. Namun, mereka diawasi agar tidak mengganggu kenyamanan publik.
Kuncinya memang satu, ”Negara Tak Boleh Kalah” (Kompas, 17/11/2020).