Kalau kita meyakini setiap peserta didik itu unik, kita mestinya memberi ruang bagi peserta didik untuk melakukan proses belajarnya dengan unik juga.
Oleh
SIDHARTA SUSILA
·4 menit baca
Saya sepakat dengan Prof Drs Yohanes Surya, MSc, PhD bahwa tidak ada anak yang bodoh. Yang ada adalah anak yang tidak mendapat kesempatan dan pengalaman belajar yang sesuai.
Pengalaman belajar sejumlah penemu besar menunjukkan pernyataan itu. Salah satunya Thomas Alva Edison. Ia hanya betah beberapa bulan di bangku sekolah. Thomas A Edison tidak menemukan pengalaman belajar yang pas dengan keunikan dirinya dalam sistem pembelajaran klasikal konvensional.
Ketika ia mendapat kesempatan dan metode pembelajaran yang sesuai dengan keunikan dirinya, yaitu dalam bimbingan Nancy ibunya, maka Thomas dapat belajar dengan optimal. Ibunya memberikan buku School of Natural Philosophy karya RG Parker. Dari buku itu gelora belajar Thomas membuncah.
Dengan pengalaman belajarnya yang pas dengan keunikannya itu, Thomas bukan hanya beroleh gairah belajar, ia juga mengalami kebermaknaan dalam aktivitas belajarnya. Harga diri dan kepercayaan dirinya pun tumbuh dan berkembang.
Dari kisah Thomas A Edison kita belajar betapa pentingnya bagi seorang pembelajar mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna dan memberi keberartian diri. Proses belajar semacam itu memberi asupan nutrisi emosi positif dan daya spiritual bagi pembelajar.
Harga diri mereka tumbuh dan berkembang. Gelora belajar terus membuncah hingga dari dalam diri mereka sendiri mampu menggerakkan diri untuk terus mengeksplorasi diri. Inilah sesungguhnya prasyarat merdeka belajar.
Saya pernah mengalami pengalaman belajar semacam itu. Saat kuliah, ketika saya menemui kesulitan, dosen bertanya bagaimana penalaran saya atas konsep materi kuliah yang diajarkan. Setelah memaparkan penalaran saya, dosen itu menunjukkan tahap-tahap mana yang perlu dikoreksi.
Dosen itu tidak mengatakan kesalahan saya. Beliau berusaha keras mengerti jalan pemikiran dan penalaran saya. Ternyata pada saat itu juga dosen saya belajar sekaligus berefleksi tentang efektivitas caranya memberi kuliah. Dinamika kuliah bersama dosen ini membuat saya memiliki daya diri untuk bertekun dan setia dalam belajar.
Saat menjadi pendamping belajar, saya pernah menemani seorang anak yang dikenal bodoh. Namanya Atri. Semua orang mengatakan bahwa ia bodoh. Saat datang pada saya, Atri langsung mengeluh kesulitan mengerjakan tugas-tugas dari sekolah.
Sejak perjumpaan pertama, saya berusaha meminta Atri menerangkan caranya mengerjakan soal-soal dari sekolah. Dari situ saya mengerti proses berpikir dan bernalar Atri. Saya menemukan pada tahap mana Atri menemukan kesulitan dan juga membuat kekeliruan.
Pelan-pelan, dengan terus mengamati kesanggupan Atri melakukan proses pembelajaran, saya membimbingnya untuk belajar. Akhirnya, ia dapat mengerjakan tugas-tugas di sekolah dengan baik.
Sampai di sini, kita belajar bahwa ada hal-hal prinsip yang bisa dilakukan agar peserta didik dapat terus mendayai dirinya sendiri untuk terus belajar. Pertama, pembelajaran harus memberi makna dan keberartian diri. Hal ini terjadi apabila peserta didik mendapat pengalaman belajar yang sesuai dengan kondisi dirinya.
Kedua, pendidik perlu mengenal konteks peserta didiknya. Konteks peserta didik meliputi pengenalan status mental, kerangka berpikir dan bernalar, kesanggupan atau ketahanan belajar. Singkatnya, dikenali keunikan cara belajar peserta didik dalam konteks aktualnya.
Karena itu, pendidik perlu terus bertanya. Pertama dan yang utama bertanya pada diri sendiri: apakah cara mengajarku membantu peserta didikku? Apakah caraku menghadirkan diri pada peserta didikku membuat mereka aman, nyaman, dan merasa dihargai?
Kedua, bertanya tentang muridnya. Pendidik terus berjerih payah mengetahui konteks dan kondisi aktual yang mewarnai proses belajar peserta didiknya. Dialog yang bermutu dengan menanyakan bagaimana perasaan peserta didik di awal pembelajaran menolong mengenali status mental mereka. Sering kali pada saat itu juga pendidik akan memahami pergulatan batin peserta didik yang memengaruhi kesanggupannya untuk belajar saat itu, terkait kondisi aktual keluarganya, misalnya.
Pendidik perlu bertanya tentang cara peserta didiknya memahami dan menalar pembelajaran. Filosofinya bertanyalah bagaimana caranya untuk mendapatkan hasil 10. Jangan bertanya berapa hasil penjumlahan 5+5? Kalau kita meyakini setiap peserta didik itu unik, kita mestinya memberi ruang bagi peserta didik untuk melakukan proses belajarnya dengan unik juga.
Maka, bertanyalah tentang peserta didik Anda. Bertanyalah tentang Anda sendiri dalam melakukan proses pembelajaran.