Bagaimana kalau ada orang yang mengaku manusia Indonesia, tetapi tidak memperlakukan sesamanya sebagai makhluk Tuhan yang sederajat dengan dirinya? Apakah kita bisa memandangnya sebagai manusia Indonesia?
Oleh
Nelly, MPd
·4 menit baca
Pemerintah resmi mengumumkan panduan pembelajaran semester genap 2020-2021 dalam masa pandemi Covid-19. Menteri Pendidikan Nadiem Makarim juga menjelaskan, sekolah tatap muka akan diberlakukan awal Januari 2021 dengan mengikuti aturan protokol kesehatan secara ketat.
Kurang efektifnya belajar secara daring memang menjadi alasan pemerintah untuk memulai pembelajaran secara tatap muka. Dalam hal ini, memang dilematis persoalan yang dihadapi.
Jika pembelajaran daring tetap diteruskan, maka dalam proses belajar-mengajar terjadi banyak masalah, pun sangat sulit mencapai target kurikulum. Namun, di sisi lain, pilihan membuka sekolah tatap muka harus disertai jaminan untuk keselamatan peserta didik.
Pihak sekolah harus siap menjalankan protokol kesehatan dan para siswa harus memahami untuk taat aturan dan protokol kesehatan. Jangan sampai pemberlakuan sekolah tatap muka hanya akan menimbulkan masalah baru. Tak dapat dimungkiri, pembukaan kembali sekolah untuk pembelajaran tatap muka berisiko menjadi kluster baru jika protokol kesehatan diabaikan.
Semoga segala kebijakan dapat dikaji dan dipertimbangkan lagi karena kesehatan peserta didik dan rakyat adalah yang utama. Saya berharap pandemi dapat segera berakhir dan kondisi kembali normal.
Nelly, MPd
Akademisi dan Pemerhati Sosial Masyarakat
Sejumlah Pertanyaan
Pancasila mengajari kita untuk menjadi manusia yang adil dan beradab. Ciri utamanya adalah mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Kita seyogianya mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya.
Kita juga diharapkan mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, tidak memaksakan kehendak, mengutamakan kepentingan bersama, menjaga kerukunan, bersikap adil, menghormati hak orang lain, demikian seterusnya.
Kalau kita bisa menerapkan semua itu dengan sebaik-baiknya, kita bisa menjadi bangsa dan pribadi-pribadi yang mulia. Tidak saja di mata bangsa lain, tetapi juga terutama di hadapan Tuhan.
Sayangnya, berbagai nilai di atas bisa ”dipelintir” dan dimanfaatkan untuk ”membela” atau ”melindungi” perilaku yang bertentangan.
Mencerca, misalnya, mencaci maki, merendahkan orang lain, dipandang sebagai ekspresi kebebasan berpendapat. Itu adalah hak walau mengabaikan kewajiban menghargai orang lain.
Begitu pula halnya dengan menjelek-jelekkan orang lain tanpa merasa perlu menunjukkan kekurangannya. Atau sebaliknya, boleh-boleh saja membela keburukan orang atau kelompok tertentu atas nama kemanusiaan. Hak pribadi dibesar-besarkan, sementara kewajiban disamarkan. Itu kerap dinyatakan sebagai perwujudan ”sikap kritis” dan wajib dipertontonkan.
Sebagai catatan: di dunia kerja, selain upaya yang terarah dan kerja keras, nilai-nilai itu dipandang sebagai pendukung sukses karier seseorang.
Nah, bagaimana kalau ada orang yang mengaku manusia Indonesia, tetapi tidak memperlakukan sesamanya sebagai makhluk Tuhan yang sederajat dengan dirinya? Apakah kita bisa memandangnya sebagai manusia Indonesia?
Mungkin saja dia kebetulan lahir dan dibesarkan di negeri ini, hidup dan kemudian menjadi kaya di negeri ini juga, tetapi lakunya bertentangan dengan hal-hal di atas. Dia bahkan secara sepenuhnya sadar menyebarkan penyakit ke seluruh pelosok negeri ini. Dalihnya sederhana: penyakit itu tidak ada!
Atau sebenarnya, di balik penampilannya, siapa tahu dia berpikiran: ”Kubunuh saja sebanyak mungkin manusia di negeri ini agar hanya tersisa mereka yang mencintai dan memuja aku!”
Pantaskah kita mengakuinya sebagai sesama manusia Indonesia? Patutkah kita menerimanya sebagai saudara sebangsa dan setanah air?
Jawaban bisa beragam. Sejak dilahirkan, dia, kan, penduduk negeri ini! Ada yang menolak dan mungkin ada pula yang berkilah membela.
Di mata hukum, semua orang yang menjadi warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan yang sama, demikian juga hak dan kewajiban yang sama. Semuanya setara, dan harus dilindungi. Dari sudut pandang Pancasila, kita tak boleh bertindak sewenang-wenang.
Bagaimana kalau dia menempatkan diri ”di atas segala-galanya”, bahkan sebagai penentu mati-hidupnya orang lain? Bahkan memerintahkan menghabisi orang yang tak sepaham. Mungkin dia kini dengan sengaja menyebarluaskan Covid-19 untuk menguji ”keampuhan” dirinya sebagai sang penentu. Siapa tahu?
Apakah bisa kita terima semua tingkah lakunya itu, yang dia anggap merupakan suatu cara untuk menunjukkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa? Ini sungguh patut kita gugat dan pertanyakan, apalagi jika kemudian malah merasa dirinya sebagai ”pemimpin karismatis”.
Banyak hal yang sebenarnya bisa kita pertanyakan tentang macam-macam kejadian di negeri kita ini, yang menimbulkan kegalauan dan keresahan. Termasuk pula kekuatan daya pengaruh Pancasila terhadap kejadian-kejadian itu.
Apa yang bisa kita gunakan sebagai pegangan dalam menilai keadaan yang ada? Bisakah kita menggunakan Pancasila sebagai tolok ukur kesesuaian perilaku kita sehari-hari, baik sebagai pribadi, sebagai warga, sebagai komunitas, maupun lembaga?
Bagaimanakah dengan hukum kita? Sudahkah mencerminkan hal itu secara jelas dan gamblang sehingga tidak bisa diputarbalikkan?
Yang jelas, Pancasila tidak bisa dilihat secara terpecah-pecah, apalagi jika kita hanya melihat butir-butir yang ada tanpa mengaitkannya dengan sila-sila lain dan pandangan keseluruhan.
Agaknya ”pendidikan” Pancasila memang patut digencarkan kembali dengan memberikan tekanan pada segi pemahaman keseluruhan, bukan pada segi yang terpisah-pisah, dan juga pada penerapannya dalam praktik sehari-hari.