Patut jadi renungan bagi pasangan calon yang rajin keluar masuk pondok pesantren untuk mendapat dukungan kiai, apakah benar-benar bersedia dibimbing kiai atau hanya sekadar menjadikan kiai sebagai bamper politiknya?
Oleh
ABDUL SYUKKUR
·4 menit baca
Setiap mendekati perhelatan pesta demokrasi, baik setingkat pileg, pilkada, pilgub, bahkan Pilpres, para calon wakil rakyat berbondong-bondong sowan (silaturrahmi) ke para kiai yang mereka anggap karismatik dan memiliki kesohoran massif. Sosok yang oleh masyarakat Indonesia sangat dihormati dan disegani.
Tujuannya, bisa untuk meminta doa restu, bisa untuk meminta nasihat, bisa sebagai pencitraan, bisa untuk meminta dukungan, dan bisa pula untuk tujuan kongkalikong antara pendukung dengan yang didukung.
Ada beberapa pertimbangan mengapa para pasangan calon itu harus sowan pada para kiai, pertama, kiai memiliki banyak santri, sehingga bisa dengan mudah menggondol suara santri-santrinya, karena praktek sam’an wa tha’atan (ikut dawuh kiai tanpa bertanya mengapa dan untuk apa) sangat kuat.
Kedua, kiai memiliki daya magis yang sangat kuat di kalangan masyarakat Indonesia. Sehingga, dukungan kiai pada calon tertentu bisa mempengaruhi pilihan masyarakat luas. Pilihan kiai adalah pilihan terbaik menurut dan bagi mereka.
Ketiga, jaringan alumni pesantrennya juga memiliki daya tarik sangat kuat untuk menyedot suara masyarakat. Para alumnus suatu pesantren akan mempertimbangkan, dan mengedepankan pasangan calon yang direkomendasikan oleh kiainya dalam menentukan pilihannya.
Apabila jaringan alumninya tersebar ke berbagai wilayah di seluruh pelosok Tanah Air, dan di antara alumni itu terdapat tokoh yang mempunyai pengaruh luas di masyarakat, seperti menjadi tokoh masyarakat, kiai, ustaz, dai dan lain sebagainya, maka calon yang direkomendasikan oleh kiai itu pasti akan mendapatkan sokongan dan dukungan secara massif dari masyarakat yang memiliki afiliasi dengan kiai itu.
Yang lebih menarik, kiai memiliki cara dan etika tersendiri dalam berpolitik. Setidaknya ada empat cara dan etika yang menjadi ciri khas kiai dalam menentukan dan mengawal pilihan politiknya.
Pertama, sebelum menentukan pilihan politiknya, baik untuk mendukung partai tertentu atau pasangan calon tertentu, kiai memulainya dengan istikharah. Istikharah artinya bermunajat kepada Allah dengan media shalat dan doa. Dalam munajatnya itu sang kiai memohon kepada Allah untuk diberi petunjuk, sebaiknya mendukung partai apa, atau pasangan calon yang mana.
Hasil istikharah bisa muncul dalam mimpi, bisa juga berupa bertambahnya kecondongan sang kiai pada partai atau pasangan calon tertentu. Hanya saja kecondongan itu tidak berdasarkan motif duniawi, murni suara langit yang motifnya benar-benar demi kemaslahatan umat.
Kedua, dalam berpolitik kiai juga memiliki ciri khas, yakni tidak melanggar aturan agama dan aturan negara. Tidak melanggar aturan agama maksudnya, berpolitik yang sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai kebajikan dalam setiap agama, seperti berprilaku jujur, berprilaku adil, memberikan kebebasan dan toleran pada yang berbeda pilihan, tidak berlaku curang, tidak culas, tidak ingkar janji, tidak melakukan black campaign, tidak melakukan money politic, dan tidak menghalalkan segala cara demi mencapai kemenangan.
Pasangan calon yang diusung kiai tidak pantas melakukan politik kotor yang dilarang oleh agama dan negara, baik oleh pribadi, pendukung maupun melalui instansi-instansi yang menangani pemilihan, mulai dari awal pencalonan sampai pelantikan, bahkan dalam proses memegang amanah pemerintahan.
Ketiga, setelah hiruk pikuk pemilihan selesai biasanya kiai mengumpulkan para pasangan calon untuk mendinginkan suasana, mengajari para pasangan calon untuk menerima hasil pemilihan, belajar menerima kekalahan bagi yang kalah dan belajar tidak sombong dan jumawa bagi yang menang, karena kemenangan itu hakikatnya adalah amanah.
Keempat, jika partai atau pasangan calon yang diusung oleh kiai menang dalam pemilihan, tidak serta-merta kiai lepas tangan, ia akan tetap membimbing, mengawasi bahkan kalau perlu mengkritik kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemimpin yang didukungnya.
Bimbingan, pengawasan, kontrol kultural dan wejangan kiai ini yang menjadi pembeda bagi pasangan calon yang meminta dukungan pada kiai. Jika tujuan mencalonkan diri benar-benar untuk kemaslahatan masyarakat, maka ia akan tetap mendengarkan, menerima dan mengejewantahkan wejangan kiai itu dalam kebijakan-kebijakan yang ia buat atau ia setujui.
Tapi sebaliknya, jika pasangan calon itu menang kemudian meninggalkan kiai beserta seluruh penyesalannya, karena telah mempertaruhkan nama baiknya demi memenangkan pasangan calon itu, maka senyatanya pasangan calon itu hanya memanfaatkan kesohoran, keikhlasan, dan kebeningan hati kiai untuk kepentingan politik sesaatnya. Dengan kata lain, pasangan calon itu hanya menjadikan kiai sebagai bamper politiknya.
Jika demikian, yang harus diwaspadai adalah kekecewaan dan bendu (kemarahan) kiai, karena, di samping bisa membawa berkah untuk yang disukai, kiai juga bisa menebar kualat bagi yang dimurkai.
Oleh karenanya, patut jadi renungan bagi pasangan calon yang rajin keluar masuk pondok pesantren untuk mendapat dukungan kiai, apakah benar-benar bersedia dibimbing kiai atau hanya sekadar menjadikan kiai sebagai bamper politiknya?
(Abdul Syukkur, Alumnus Al Azhar, Kairo, Mesir. Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Al Mujtama’, Pamekasan, Madura)