Para pemangku kebijakan dan ASN di bidang perikanan harus menyadari seberapa besar dampak dari tindakan yang mereka lakukan pada sumber daya perikanan yang pada akhirnya akan berakibat pada hajat hidup masyarakat.
Oleh
ANDHIKA RAKHMANDA
·4 menit baca
Korupsi suap perizinan ekspor benih lobster bukan hanya berdampak pada kerugian negara dan rusaknya moral pengelolaan negara, lebih jauh bisa berdampak pada kehancuran sumber daya perikanan lobster dalam jangka panjang. Mengapa demikian? Karena tindakan tersebut merusak upaya pengelolaan perikanan atau regulasi yang dibuat berdasarkan kajian akademis.
Sumber daya ikan yang cenderung bersifat terbuka (open access) akan mengarah pada pengelolaan yang tidak efesien. Hal ini disebabkan karena terlalu banyaknya input perikanan yang digunakan sementara manfaat ekonomi yang dihasilkan sangat kecil bahkan nihil. Oleh karena itu diperlukan regulasi untuk menghasilkan pengelolaan perikanan yang efesien, baik secara ekonomi, sosial, maupun teknis.
Gordon (1954), Scott (1955), dan Crutchfiled (1961) pada awal lahirnya teori ekonomi perikanan memublikasikan pembuktian bahwa perikanan yang tidak diatur (unregulated) akan cenderung menempatkan upaya penangkapan pada tingkat yang melebihi tingkat optimal sehingga over investasi akan terjadi dan perikanan berada pada tingkat yang tidak efesien secara sosial dan ekonomi.
Huppert (1988) juga menunjukkan bahwa banyak sekali bukti empiris yang menunjukkan bahwa perikanan tangkap cenderung menguras stok dan mengakibatkan overcapitalism. Semakin bernilai ekonomi sumber daya ikan, seperti tuna, salmon, lobster dan sejenisnya, semakin tinggi pula kecenderungan pengurasan jika tidak dilakukan regulasi.
Salah satu bentuk regulasi perikanan yang paling umum dan sederhana adalah bentuk pengendalian melalui pemberian izin. Dengan menerapkan perizinan, bukan saja ekstraksi dapat dikendalikan, melainkan juga pemerintah memperoleh penerimaan dari sumber daya ikan.
Sumber daya ikan adalah aset yang mana kepemilikan publik diwakilkan kepada pemerintah. Pemerintah sebagai wakil publik dari pemilik sumber daya ikan tersebut diberikan mandat untuk ”memanfaatkan” sumber daya seoptimal mungkin melalui rezim sole owner. Oleh karena itu, proses pembuatan regulasi dan perizinan terkait pemanfaatkan sumber daya ikan selalu didasari oleh kajian berbasis biologi, sosial, dan ekonomi.
Dalam konteks kebijakan ekspor benih lobster inipun, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga melakukan berbagai kajian mengenai sifat biologi, status dan dinamika stok, keadaan sosial, serta potensi ekonomi dari sumber daya lobster untuk memastikan bahwa usaha perikanan lobster tetap lestari dan berkelanjutan, meskipun terdapat berbagai perdebatan.
Namun tindakan korupsi oleh penerima mandat menjadikan regulasi yang dibuat berbasis kajian tersebut hanya gimik dan mengembalikan pengelolaan perikanan ke rezim open access dengan oli suap yang bersifat rakus dan ekstraktif.
Penulis berpendapat, di tengah karut-marutnya proses perizinan dan penetapan kuota penangkapan, minimnya data yang mendukung pendugaan stok, dan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum; membiarkan benih lobster ditangkap untuk tujuan komersial dalam skala besar (ekspor) tentu akan mengancam keberlanjutan usaha lobster itu sendiri.
Australia, negara yang telah melakukan penelitian tentang lobster selama lebih kurang 20 tahun dengan sistem penegakan hukum yang baik saja, tidak menangkap dan menjual benih lobster dari alam. Mereka memilih menangkap lobster pada ukuran konsumsi baru kemudian menjual atau mengekspornya. Itu pun dengan pembagian kuota penangkapan (melalui perizinan) dan pengawasan yang ketat.
Atau mengembangkan budidaya melalui riset, meskipun budidaya di Australia tidak menjadi prioritas karena dinilai tidak feasible (paradigma budidaya di Australia mensyaratkan benih yang dibesarkan adalah dari hasil pembenihan, bukan ditangkap dari alam). Hal ini meningkatkan nilai hasil penjualan ekspor Australia menjadi tiga hingga empat kali lipat sejak kebijakan tersebut diberlakukan.
Melalui pengaturan kuota penangkapan yang berbasis data bio-ekonomi, Pemerintah Australia menjamin kegiatan penangkapan lobster feasible dan menguntungkan dalam jangka panjang. Pada perikanan yang tidak diatur, jumlah armada perikanan akan cenderung meningkat melebihi kapasitas optimal yang diperlukan. Akibatnya produktivitas akan menurun sehingga akan mengurangi pendapatan nelayan yang bisa berujung pada kemiskinan. Hal tersebut juga berlaku untuk perikanan yang diatur tapi terjadi penyelewengan.
Gagasan pengembangan budidaya lobster di Indonesia oleh KKP, baik pembenihan maupun baru sebatas pembesaran, adalah baik dan patut dicoba. Namun untuk melakukan ekspor benih yang ditangkap dari alam, selama belum ada perbaikan pada aspek ketersediaan data perikanan dan tata kelola perikanan utamanya perizinan, pengawasan, dan penegakan hukum, sebaiknya tidak dilakukan.
Kasus korupsi di bidang perikanan ini menjadi preseden yang buruk bagi pengelolaan perikanan kita. Sebuah ironi, ketika jutaan nelayan di negeri maritim ini masih menjadi kelompok masyarakat termiskin, sang menteri sebagai penerima mandat malah melakukan korupsi.
Ke depan, para pemangku kebijakan dan ASN di bidang perikanan harus menyadari seberapa besar dampak dari tindakan yang mereka lakukan pada sumber daya perikanan yang pada akhirnya akan berakibat pada hajat hidup masyarakat dalam jangka panjang.
(Andhika Rakhmanda, Pegiat Forum Kajian Perikanan)