Kota atau negeri yang hilang bukan cerita baru. Penyebabnya beragam, seperti pergeseran lempeng bumi, gempa besar, gelombang tsunami, senjata perang, dan letusan gunung berapi.
Oleh
Linda Christanty
·5 menit baca
Lelaki itu menyelam dalam sungai yang dingin. Ia tengah mencari orang tenggelam dan akhirnya menemukan sebuah lubang, mirip goa. Rasa penasaran mendorongnya memeriksa bagian dalam lubang itu hingga ia melihat patung seekor harimau. Pada langit-langit, tepat di atas patung tersebut, terukir sepasang patung ular besar. Khawatir terhadap hal-hal tak terduga dan berbahaya, ia segera berenang menjauh.
Di kawasan air terjun Maribaya, di Kabupaten Bandung Barat, Mang Eyek membagi kisahnya itu. Ia berasal dari Kampung Sapan Ranca Tunjung, yang berjarak lebih dari tiga jam bermobil dari tempat wisata tersebut.
Kota atau negeri yang hilang bukan cerita baru. Penyebabnya beragam, seperti pergeseran lempeng bumi, gempa besar, gelombang tsunami, senjata perang, dan letusan gunung berapi. Karena penemuan ini belum dilanjutkan dengan penggalian arkeologi dan belum ada naskah yang ditemukan para filolog untuk menerangkan keberadaan arca-arca tersebut, kisahnya akan dianggap sebagai cerita rakyat jika dituturkan dari mulut ke mulut dan disebut sastra lisan.
Orang Kanekes atau Baduy memercayai asal leluhur mereka dari langit, berdasarkan cerita lisan, Pantun Lutung Kasarung. Batara Guruminda Patanjala menyamar sebagai lutung hitam besar dan menancapkan sebilah kujang batu bermata lima pada sebongkah batu di Bukit Pamuntuan, di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Bagi orang Baduy, kujang itu merupakan pusaka religi, warisan leluhur, dan simbol pewarisan ilmu pengetahuan dan budaya berladang. Lebih 30 tahun, ia hilang dicuri. Penanggalan Baduy pun lebih tua 1.000 tahun dibandingkan dengan penanggalan Masehi sehingga suku Baduy menjadi suku tertua di Pulau Jawa yang berkesinambungan cara hidup dan peradabannya sejak 3.024 tahun lalu.
Sementara leluhur suku Lom pun turun dari langit. Sepasang laki-laki dan perempuan muncul di Bukit Semidang, di Pulau Bangka, ketika banjir surut. Dalam bukunya, Order and Difference: An Ethnographic Study of Orang Lom of Bangka, West Indonesia, antropolog Norwegia, Olaf H Smedal, merekam pernyataan seorang Lom yang membantah Bukit Semidang adalah kisah orang Lom yang pertama, dengan menyebut Nuk Dak sebagai kisah yang lebih tua.
Tidak jelas siapa Nuk Dak. Kemungkinan terjadi kesalahan pada penulisan kata. Smedal juga menulis ”Bukit Sumedang” di bukunya, bukan ”Bukit Semidang”, sedangkan Sumedang ada di Jawa Barat, bukan di Pulau Bangka.
Ajaran-ajaran agama hari ini turut mewartakan tentang leluhur manusia: ciptaan Tuhan. Karen Amstrong, sejarawan Inggris, menulis sejarah tuhan tiga agama besar monoteisme, yang dari judul bukunya, In A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, tersurat usia agama monoteisme tertua, baru 4.000 tahun.
Bangsa Sumeria di Mesopotamia mengenal penciptanya jauh lebih dulu, yaitu Enlil, dewa yang dipuja sekitar 7.000 tahun lalu. Dalam mitologinya, Annunaki, sekelompok dewa dari luar bumi, telah meracik ras-ras manusia. Penyair pertama di dunia adalah Enheduanna (2285-2250 sebelum Masehi), putri Raja Sargon dari Mesopotamia.
Kita dapat mengenal sebagian teknologi, ilmu pengetahuan, dan budaya dari peradaban Sumeria melalui orang seperti Miguel Civil, yang tutup usia awal tahun ini. Ia menguasai bahasa Sumeria, yang tidak lagi dituturkan sejak 4.000 tahun silam.
Civil, profesor di bidang Sumerologi di Oriental Institute, University of Chicago, merekonstruksi pedoman bertani bangsa Sumeria dari prasasti tahun 1800 sebelum Masehi yang ditemukan di kota tua Nippur—berada di wilayah Irak sekarang—dan menerbitkannya dalam buku The Farmer\'s Instructions: a Sumerian Agricultural Manual, pada 1994. Pedoman bertanam jelai ini detail, terdiri dari 109 baris, termasuk tata cara ritual. Perkakas, seperti ”kapak”, ”bajak”, ”gergaji”, dan ”bor” sudah dikenal.
Usia peradaban manusia di Nusantara rupanya lebih tua. Situs Gunung Padang, yang berada di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, membuktikannya. Penelitian terhadap situs ini sudah dilakukan, termasuk oleh para ilmuwan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin Danny Hilman Natawidjaja.
Situs ini berstruktur piramida. Lapisan teratas paling muda, sekitar 3.500 tahun. Lapisan ini terdiri dari ruang-ruang, jalan, dan kolom-kolom batu yang menyangganya. Lapisan tengah, mencapai 8.000 tahun. Lapisan terbawah, jangkauan usianya hingga 28.000 tahun.
Peninggalan tersebut membuat uji genetika yang dilakukan Herawati Sudoyo, seorang antropolog forensik dari Biomolekular Eijkman Institute, tentang leluhur bangsa Indonesia menjadi relevan: wilayah Indonesia sudah berpenghuni sejak 60.000 tahun lalu.
Misi penting dari penemuan bersejarah tidak sebatas membuktikan keunggulan sebuah peradaban, tetapi juga untuk memperoleh pengetahuan seni, religi, budaya, dan teknologi dari masa pembangunannya, mempelajari dan mengambil rumusan pentingnya bagi kemajuan umat manusia di masa ini dan di masa depan.
Namun, orang Alor memiliki cerita rakyat paling menakjubkan tentang leluhur. Sepasang laki-laki dan perempuan, Mangmot dan Padamot, datang ke bumi mengendarai pesawat luar angkasa terbuat dari batu setelah menguji kedalaman air laut dengan sembilan batu (fetok, kokaserang, olwei, malangwei, taluangwei, farawei, lakawei, tibuwei, dan takamatwei).
Apakah leluhur orang Alor benar berasal dari luar angkasa?
Enam makhluk luar angkasa turun di Pulau Pantar, kepulauan Alor, pada Juli 1959. Berkulit merah. Berseragam biru. Orang-orang kampung ketakutan. Polisi-polisi dibuat sibuk. Tidak lama sesudah itu, sebuah piring terbang melesat di langit. Ini bukanlah fiksi.
Roesmin Nurjadin, Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia, turut memberi kesaksian pada 1967 dan dimuat dalam buku David E Twichell, Global Implications of the UFO Reality, yang terbit pada 2003. Ia menyatakan kemunculan UFO di Indonesia sama halnya dengan di negara-negara lain, yang menimbulkan masalah bagi pertahanan udara dan terpaksa ditembaki.