"Xi Jinping menjadi presiden seumur hidup. Dia hebat. Lihatlah, dia bisa melakukan itu. Saya kira ini menarik. Mungkin suatu saat kita boleh juga mencobanya.”
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
"Xi Jinping menjadi presiden seumur hidup. Dia hebat. Lihatlah, dia bisa melakukan itu. Saya kira ini menarik. Mungkin suatu saat kita boleh juga mencobanya.”
Presiden AS Donald Trump mengatakan hal itu saat Presiden China Xi Jinping mengubah aturan yang membatasi masa jabatan presiden dua periode, seharusnya berakhir pada 2023, menjadi presiden seumur hidup, Reuters, 4 Maret 2018. Ucapan Trump pasti kategori bercanda. Itu tidak mungkin dia lakukan tanpa mengubah aturan. ”Roh Presiden George Washington bisa bangkit dari kubur,” kata anggota DPR AS, Ro Khanna (Demokrat), ketika itu.
Semua pernyataan itu absurd. Namun, AS memang sedang absurd. Taruhannya adalah demokrasi bisa goyah jika Trump mewujudkan keinginan untuk meniru Xi. Namun, absurditas ini bukan tanpa dasar. Jauh sebelum Pemilu 3 November 2020, Ketua DPR AS Nancy Pelosi sudah mengingatkan, ”Trump kemungkinan akan menolak kekalahan.” Opini Pelosi benar.
Suara untuk Trump sebagai presiden petahana 73 juta suara, sebuah rekor, walau Presiden terpilih AS Joe Biden meraih 6 juta suara lebih banyak, juga rekor tersendiri. Namun, Trump melihat peluang, ada pendukung fanatiknya. Sebagian Republikan menolak sikap Trump, tetapi tak sedikit yang mendukung, seperti Lindsey Graham, senator AS (Republikan).
Bagaimana ini bisa terjadi di AS, pilar demokrasi yang pernah membuat iri dunia? AS tidak lagi yang terbaik dalam jajaran negara-negara demokrasi, kata Michael E Porter dari Universitas Harvard. Para politisi dari duopoli partai di AS, Demokrat dan Republikan, semakin jauh dari sikap sebagai seorang negarawan. Banyak politisi yang tidak memilih ideologi, hanya berpikir soal kepentingan diri.
Kerangka ini cocok bagi Trump, ”si orang tega”. Itu julukan keponakannya, Mary Trump, psikolog dan penulis buku tentang Trump, yang dia nilai tidak cocok menjadi presiden. Bukunya berjudul Too Much and Never Enough: How My Family Created the World’s Most Dangerous Man. Ini sudah dimulai dari karakter Trump. Kalangan Republikan, seperti Mitt Romney, sudah mengenal Trump yang tidak mau kalah.
Namun, ini bukan lagi semata-mata soal Trump yang tidak fit, bukan soal Republikan versus Demokrat yang partisan. Ini soal AS yang sedang bersaing dengan China. Ini juga soal apa yang hendak dilakukan Trump menjelang dan setelah inaugurasi presiden terpilih, pada 20 Januari, jika berjalan mulus. ”Saya lebih khawatir tentang apa yang akan dilakukan Trump ke depan,” kata mantan Direktur CIA John Brennan.
Perangai Trump tentu disukai China, walau sudah memberi ucapan selamat kepada Biden. China ingin AS sibuk dengan urusan dalam negerinya. Keberadaan dan perilaku Trump juga tentu disukai oleh musuh-musuh AS, seperti Iran dan Rusia.
Kekhawatiran Pelosi adalah daya rusak di balik kedekatan Trump dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang sakit hati akibat perluasan keanggotaan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ke Eropa Timur. Ini pelajaran bagi Indonesia dan dunia agar sejak dini mencegah politisi absurd.