Strategi Pengembangan Energi Terbarukan, Pengalaman dari Jerman
Langkah strategis dan substansial harus dilakukan dengan prioritas pertama menghilangkan kontradiksi strategi ”Rencana Umum Energi Nasional”. Fokuskan pada pengembangan Energi Baru yang Terbarukan demi masa depan..
Oleh
CIKO SYARIF
·4 menit baca
Melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional pemerintah memperkenalkan konsep energi baru sebagai alternatif pembangkit tenaga listrik di samping pembangkit berbahan bakar minyak bumi, gas alam, dan batubara.
Melalui peraturan pemerintah (PP) tersebut, pemerintah menargetkan bauran energi yang optimal dengan mempromosikan energi baru, baik yang tidak terbarukan, di mana sumber energi tenaga nuklir masuk di dalam kategori ini, dan yang terbarukan (EBT).
Kemudian, melalui PP No 79/2014 dan PP No 22/2017, ditargetkan rasio suplai listrik dari EBT sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. Hal ini diterjemahkan melalui empat strategi untuk mencapai target tersebut. Pertama, memaksimalkan penggunaan EBT dengan memperhatikan tingkat perekonomian. Kedua, meminimalkan penggunaan minyak bumi. Ketiga, mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi dan energi baru dan, keempat, menggunakan batubara sebagai pasokan energi nasional.
Terlepas dari upaya pemerintah untuk mendukung EBT sebagai penyubstitusi pasokan energi konvensional pembangkit tenaga listrik, hanya 2 persen pembangkit EBT yang terealisasi dari total potensi yang ada.
Pada saat yang bersamaan, pada awal milenium, Jerman memulai kampanye penggunaan EBT sebagai alternatif pengganti sumber pembangkit listrik konvensional. Ditargetkan, pada 2030, 65 persen sumber tenaga listrik akan berasal dari EBT. Secara simultan, target itu akan ditindaklanjuti dengan pengurangan drastis konten energi listrik dari pembangkit konvensional yang diikuti dengan penutupan semua pembangkit listrik berbasis tenaga atom selambat-lambatnya pada akhir 2022.
Berbeda dengan Indonesia, pembangkit listrik bertenaga atom masuk di dalam kategori pembangkit konvensional. Dalam memenuhi target tersebut, Jerman memegang teguh lima prinsip utama yang tertera di dalam Pasal 1 Energiewirtschaftsgesetz, undang-undang berumur lebih dari 100 tahun yang mengatur perkara ekonomi dan energi, yaitu 1) keamanan pasokan listrik yang stabil dan terjamin; 2) harga yang terjangkau; 3) amdal dan ketahanan lingkungan; 4) hak dan perlindungan konsumen; 5) konservasi dan efisiensi di proses pembangkitan, transportasi, dan penggunaan energi.
Hasil benchmark pada 2019 adalah 42 persen atau sebesar 452 TWh pasokan listrik di Bundesrepublik Jerman berasal dari EBT, di mana pembangkit listrik tenaga angin dan matahari atau fotovoltaik menjadi tulang punggung keberhasilan pencapaian yang cukup fenomenal ini. Yang cukup menarik adalah, 49 gigawatt kapasitas listrik terpasang yang berasal dari proses fotovoltaik melebihi angka 70 persen total kapasitas listrik terpasang di Indonesia yang berasal baik dari sumber konvensional maupun non-kenvensional, sebesar 70 GW.
Bagaimana mungkin, negara yang disinari matahari tidak lebih dari 2.000 jam setiap tahunnya (dibandingkan dengan 3.500 jam di Indonesia) secara matematis mampu menerangi tiga perempat Pulau Sumatera melalui produksi listrik yang hanya berasal dari sinar matahari. Yang juga patut dicatat adalah kampanye penggunaan EBT, baik di Indonesia ataupun di Jerman, dimulai pada waktu hampir yang bersamaan, yaitu 15-20 tahun yang lalu.
Leapfrog pencapaian ini tidak terlepas dari strategi dalam mempromosikan pengembangan dan penggunaan EBT. Pada saat potensi tenaga air mencapai titik nadir di akhir dekade 1990-an, Jerman memilih tenaga angin dan matahari sebagai tulang punggung pasokan listrik masa depan.
Pemerintah Jerman tidak hanya memberikan stimulasi berupa insentif, jaminan subsidi penjualan tarif listrik, kemudahan birokrasi dan investasi kepada peneliti, pengembang, dan produsen EBT. Lebih dari itu, untuk mengatasi ketinggalan mereka, prioritas dan dana yang besar juga dialokasikan untuk penelitian di bidang teknologi tenaga angin, fotovoltaik, dan digitalisasi untuk efisiensi jaringan listrik.
Indikator keberhasilannya adalah nilai efisiensi panel surya yang dulunya sangat rendah menjadi sekitar 24 persen saat ini, biaya instalasi PLTS yang turun drastis menjadi sebesar 1.100 euro dibandingkan dengan pada 2006 yang sebesar 4.700 euro per 1 kWp kapasitas terpasang, dan naiknya efisiensi penggunaan listrik sebesar 1 persen tiap tahunnya.
Sementara biaya produksi listrik dari tenaga angin yang saat ini sebesar 12 sen euro per kWh sudah dapat menyaingi biaya produksi yang bersumber gas alam, bahkan batubara. Perlu dicatat bahwa keberhasilan Jerman menguasi teknologi menambah nilai ekspor sebesar 8 miliar euro dari hasil penjualan komponen EBT setiap tahunnya.
Saat ini, pemerintah sedang menggodok strategi untuk menstimulasi perkembangan EBT di Indonesia. Untuk itu, seperti tertulis di laman Kementerian ESDM, perbaikan mekanisme penentuan harga jual-beli listrik dari produsen serta kemudahan birokrasi dan sinkronisasi instrumen kebijakan pusat dan daerah akan dilakukan.
Apakah hal seperti ini akan menstimulasi untuk mengejar target rasio 23 persen konten EBT pada 2025? Patut disangsikan. Sebab, revisi mengenai penentuan tarif, misalnya, sudah berulang dilakukan tanpa diikuti hasil yang signifikan.
Ke depannya langkah strategis dan substansial harus dilakukan. Prioritas pertama adalah menghilangkan kontradiksi strategi ”Rencana Umum Energi Nasional”. Bagaimana kita berniat memaksimalkan pengembangan EBT jika pada saat yang bersamaan penggunaan bahan bakar fosil, seperti gas dan batubara, tetap diutamakan sebagai sumber energi di masa depan?
Serta-merta ketergantungan kronis terhadap barang impor hampir semua komponen EBT juga harus dihilangkan melalui alokasi dana di bidang riset teknologi yang beriringan dengan komitmen pengurangan drastis pasokan energi dari pembangkit konvensional.
(Ciko Syarif, Ahli dan Praktisi Energi Baru Terbarukan. Tinggal dan bekerja di Republik Federasi Jerman)