Pandemi Covid-19 merupakan tantangan historis terhadap supremasi hukum dan demokrasi, solidaritas dan kematangan intelek individu.
Oleh
FIDELIS REGI WATON
·4 menit baca
Kita masih dikungkung kemelut Covid-19. Atas nama kebebasan, angka infeksi kembali meningkat di pelbagai wilayah. Banyak yang menilai isolasi, jaga jarak, pengenaan masker, dan pelbagai protokol kesehatan tak mendewasakan dan membatasi kebebasan. Penyokong teori konspirasi menganggapnya sebagai konstruksi paranoid fatal. Kebebasan individu dirampok. Hak asasi diobral kiat melindungi kesehatan.
Bagi filsuf Italia, Giorgio Agamben, reduksi mobilitas membuka gapura kembalinya sistem totaliter. Lonceng kematian kebebasan didentangkan demi redanya eskalasi pandemi. Harganya kontrol ketat atas ruang gerak warga.
Filsuf Perancis, Jean-Paul Sartre, mungkin berbeda menafsirnya ketika ia berkata: Manusia dikutuk untuk bebas. Apa maksud pernyataan yang berbau paradoks? Acuan Sartre adalah faktisitas dan situasi di luar campur tangan kita. Kita tak memutuskan kapan kita dilahirkan, oleh orangtua dan di lingkungan sosial mana. Virus korona juga muncul tanpa intervensi keputusan kita.
Ketika berada dalam fakta di luar pengaruh tindakan kita demikian, kita wajib berperilaku di dalamnya. Kita harus memutuskan. Tatkala kita mengambil keputusan, kita mesti bertanggung jawab atasnya. Kebebasan bercorak kutuk bagi manusia. Setiap individu dikutuk karena ia tidak menciptakan dirinya sendiri. Namun, ia bebas lantaran sekali dilemparkan ke dunia, dia bertanggung jawab atas tindakannya.
Kebebasan bagi Sartre bukan saja berurusan dengan tindakan, tetapi juga dengan eksistensi. Keberadaan pribadi berarti terus-menerus melampaui batas dan mengembangkan desain dasar diri secara kontinu. Eksistensi memaksudkan berada bersama yang lain (esse est co-esse). Kebebasan setiap insan tak terlepas dari kebebasan orang lain. Kita wajib membatasi diri agar kebebasan dan hak hidup orang lain tak dikangkangi.
Kebebasan tak boleh dilihat sebagai lisensi kesewenang-wenangan tanpa mengindahkan aturan dan respek terhadap yang lain. Demonstrasi yang berujung pada tindakan anarkis dan kriminal tak lain dari pemerkosaan kebebasan.
Kita justru bebas secara eksistensial ketika kita bisa diberi tanggung jawab. Kebebasan yang bertanggung jawab tak berujungkan kecurigaan terhadap kebijakan pemerintah. Setiap pribadi merancang kebebasannya, tapi ia juga membutuhkan infrastruktur dan institusi pengamyom.
Kebijakan preventif demi kesehatan memang menangguhkan hak kebebasan bergerak, tapi tak mendiskualifikasi dan menghapusnya. Mestinya kita bersyukur bahwa kita hidup dalam suatu masyarakat yang mengedepankan perlindungan warga dan tak membahayakan nyawa manusia secara brutal.
Mengingkari protokol kesehatan adalah tindakan tak bertanggung jawab dan sangat membahayakan banyak orang. Dalam kondisi apa pun kebebasan tak boleh didefinisikan sebagai kesewenang-wenangan. Kebijakan kesehatan bersasaran melindungi diri sendiri dan sesama.
Dalam negara bebas dan demokratis kebebasan seseorang berakhir ketika terjadi pelanggaran hak dan kebebasan orang lain. Negara juga hanya berfungsi secara optimal, jika beberapa keinginan individu diatur dan dibatasi.
Mengenakan masker, misalnya, hanyalah pengorbanan kecil. Ia bukan saja membantu melawan pandemi, tetapi juga membantu ekonomi dan institusi kesehatan. Jika terjadi peningkatan infeksi korona secara eksponensial, timbullah bencana ekonomi dan kesehatan.
Para pembangkang protokol kesehatan bersifat egosentris. Mereka tak memperjuangkan kebebasan. Yang ditagih hanyalah kebebasan eksklusif demi keinginan negatif primordial yang merugikan publik. Di sana tak berlaku toleransi dan harus diberi sanksi.
Kebebasan acap kali dikacaukan dengan izin melakukan apa yang diinginkan. Salah kaprah demikian berakibat tragis. Fakta bahwa kita warga bebas dalam negara demokrasi bukan berarti kita boleh mengemudi di setiap jalur. Aturan mengemudi pada sisi kiri membuat kita aman.
Peraturan dan persyaratan umumnya dan khususnya pada era korona tidak membatasi kebebasan kita, melainkan menguatkannya. Kebebasan bukanlah tanpa batas. Pembatasan termasuk esensi kebebasan. Ia bersifat konstitutif untuk kebebasan.
Kebebasan mutlak bercorak utopis. Kebebasan sejati dan universal berbeda dengan izin yang membahayakan hidup secara drastis. Bagi John Rawls, kebebasan hanya mungkin jika ia kompatibel dengan kebebasan yang setara untuk semua orang.
Ketimbang berkoar tentang pelanggaran kebebasan pribadi, kita mesti mendukung pengekangan umum demi kebebasan kolektif sejati dan lestarinya fundasi hidup bersama. Dengan cara ini, komunitas liberal menaruh respek terhadap kebebasan individu dan menjaminnya.
Pembatasan kebebasan akibat korona tak berarti kita dipenjarakan secara politik. Bukannya pemerintah, politisi atau otoritas tertentu, tapi malapetaka yang meredam akselerasi dan mobilitas. Pandemi Covid-19 jadi tantangan historis terhadap supremasi hukum dan demokrasi, solidaritas dan kematangan intelek individu.
Kebebasan bukan berarti sanggup melakukan apa yang diinginkan atau memilih. Bagi Hegel kebebasan itu hanya mungkin ketika budi menyetir keinginan. Hakikat kebebasan berkorelasi mutlak dengan akal budi. Hegel menulis: Yang masuk akal itu nyata dan yang nyata itu masuk akal.
Fidelis Regi Waton, Pengajar Filsafat di Sankt Augustin, Jerman