Mempercepat Hilirisasi Batubara
Kebijakan Presiden mempercepat hilirisasi harus dilakukan. Hilirisasi batubara untuk mengurangi substitusi impor elpiji sebesar 5,73 juta ton dan 140 juta barel ”gasoline” di tahun 2021 tentu menjadi langkah strategis.
A nation that can’t control its energy sources can’t control its future.
Barack Obama
Presiden Joko Widodo kembali mengingatkan jajarannya untuk mempercepat penyusunan peta jalan optimalisasi batubara di dalam negeri (Kompas, 24/10/2020).
Presiden mempertegas prioritas yang harus dikerjakan, seperti gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether dan synthetic gas. Presiden juga meminta agar ekspor batubara mentah diakhiri.
Tersendatnya peta jalan hilirisasi batubara di Indonesia selama ini harus diakui sebagai kesalahan bersama, baik pemerintah maupun industri pertambangan. Pemerintah (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM) terjebak sebatas pengelolaan batubara jangka pendek sebagai komoditas.
Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) memberikan arah jelas.
Baca juga: Hilirisasi Batubara 2020-2025
Total produksi batubara Indonesia dikendalikan sebatas 400 juta ton sejak 2019. Hal ini sebagai pilihan strategis dalam RUEN. Alasannya sangat rasional. Batubara satu-satunya mineral berunsur karbon selain minyak bumi. Batubara bukan sebatas komoditas untuk revenue driver, tetapi harus didorong sebagai economic booster yang memiliki efek berganda (multiplier effect).
Ekspor batubara diproyeksikan berhenti paling lambat pada 2046, waktu ketika kebutuhan batubara di dalam negeri mendekati 400 juta ton. Arahnya, industri pertambangan bukan dimatikan, melainkan arah produksi batubara lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi dalam negeri.
Arah Presiden mempercepat hilirisasi batubara sangat strategis. Namun, visi jangka panjang dalam mengelola sumber energi batubara harus menjadi ”tangga” pertama.
Mengembalikan visi energi
RUEN merupakan produk Dewan Energi Nasional (DEN). Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, DEN dipimpin oleh presiden. Ketua harian diserahkan kepada menteri yang membidangi energi. Bahkan, keanggotaan DEN diperkuat tujuh menteri (atau pejabat pemerintah) dan delapan perwakilan dari pemangku kepentingan.
Demikian kuatnya DEN, semestinya pengendalian produksi batubara dapat dilakukan dengan baik selama ini. Yang terjadi sebaliknya. Keanggotaan pemangku kepentingan di DEN vakum dua tahun terakhir. Pemilihan anggota pemangku kepentingan menjadi tarik ulur kepentingan di DPR.
Baca juga: Korporasi dan UU Minerba
Kepentingan mengelola ketahanan energi dan kepentingan politik menjadi tak jelas arahnya. Pemerintah lepas visi jangka panjang, dan sebatas mengelola batubara sebagai komoditas.
Saat RUEN ditetapkan, 2 Maret 2017, produksi batubara nasional telah mencapai 461 juta ton. Terus meningkat menjadi 616 juta ton di 2019. Bahkan pada 2020, pemerintah masih menetapkan target produksi 550 juta ton. Diproyeksikan di 2020, produksi akan tertekan menjadi 520 juta ton akibat pandemi Covid-19.
Yang menjadi persoalan, Menteri ESDM sebagai Ketua Harian DEN tak juga mampu menekan besarnya produksi nasional agar mendekati ketentuan yang telah ditetapkan dalam RUEN.
Pemda seolah menjadi pemilik dalam mengendalikan produksi. Semua jadi saling terjebak. Industri pertambangan batubara yang ”banjir” perizinan, dengan 1.171 izin usaha pertambangan (IUP) dan 68 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) (data 2019), mendorong produksi batubara yang tidak mudah dikontrol.
Korporasi berdiri pada posisi kuat di atas kepentingan jangka panjang visi energi. Padahal, jelas, dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Minerba, tegas diamanatkan, pemerintah punya wewenang menetapkan produksi dan pemda wajib mematuhi.
Sikap tegas Presiden mempercepat peta jalan hilirisasi batubara memang sudah tepat. Namun, pilihan jenis dan skala hilirisasi bukan pilihan yang ditentukan sepihak oleh pemerintah. Berbeda dengan mineral, batubara selain isu hilirisasi, memang bisa dimanfaatkan langsung untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik.
Baca juga: Tarif Listrik Murah Versus Andal
PLTU batubara, baik yang dimiliki independent power producer (IPP) maupun PLN, menyerap hampir 89 juta ton di 2020 (sebelum pandemi Covid-19 diproyeksikan 108 juta ton). Dari total produksi batubara nasional yang diproyeksikan mencapai 520 juta ton, konsumsi domestik diproyeksikan hanya 141 juta ton.
Sikap Presiden untuk mengakhiri ekspor batubara tak harus diartikan akan terwujud dalam beberapa tahun ke depan. Ekspor dapat saja diakhiri bersamaan dengan pertumbuhan kebutuhan batubara di dalam negeri mendekati besarnya produksi nasional. Pesan Presiden justru harus diterjemahkan oleh Menteri ESDM agar pengendalian produksi nasional dengan tegas dapat dilakukan.
Meningkatkan serapan batubara di dalam negeri bukan hal yang mudah. Tanpa mampu mengendalikan produksi nasional, titik temu antara produksi dan kebutuhan domestik justru akan menjauh. Dan arah Presiden untuk mengakhiri ekspor mustahil akan terwujud.
Baca juga: Harga Batubara Masih Tertekan Pandemi Covid-19
Pilihan hilirisasi
Belajar dari Afrika Selatan, Sasol yang berdiri di Sasolburg sejak 1950 telah mampu mengubah coal-to-liquids (CTL) 160.000 barel setara minyak per hari, dan menyerap 31.270 tenaga kerja. Pengembangan riset bersama para ilmuwan kimia Jerman dilakukan sejak awal 1900. Akibat Covid-19, melemahnya harga minyak dan produk kimia, dalam laporan tahunan keuangan sampai 30 Juni 2020, Sasol merugi 5,5 miliar dollar AS.
Baca juga: Harga Minyak dan Ancaman Resesi
Perdana Menteri India Narendra Modi mempertegas untuk melakukan gasifikasi batubara sebesar 100 juta ton, dan diproyeksikan beroperasi di 2020. Pemerintah India menguasai 92 persen industri pertambangan batubara nasional melalui Coal India Limited dan Singareni Collieries Company Limited. China pun terus memperkuat CTL. Diproyeksikan kapasitas mencapai 29,3 juta ton di 2030 dan terus ditingkatkan menjadi 51,8 juta ton
Pelajaran yang dapat ditarik dari ketiga negara itu, hilirisasi batubara terintegrasi dengan tambang yang dimiliki pemerintah. Dan, dalam mengelola tambang, selalu diletakkan pada visi jangka panjang negara dalam menghadapi tantangan kebutuhan energi ke depan.
Produksi batubara China dan India jauh di atas Indonesia. Namun, semua produksi ditujukan untuk kebutuhan dalam negeri.
Hilirisasi batubara bukan bisnis pertambangan. Roda bisnis yang berbeda. Hilirisasi batubara menjadi wilayah bisnis kimia. Mengarahkan semua pelaku industri pertambangan untuk melakukan hilirisasi batubara, apalagi dalam bentuk industri dimethyl ether, justru akan terjebak pada arah yang salah. Pandangan hilirisasi batubara lebih diarahkan untuk pelaku industri pertambangan, sebagai akibat perjalanan untuk memenuhi persyaratan PKP2B menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Bahkan, dalam Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 128 A, menjadi sangat dipaksakan dengan memberikan pengenaan royalti sebesar nol persen bagi penambang yang melakukan peningkatan nilai tambah. Dengan nol persen pun, belum tentu menjadi pendorong kuat bagi perusahaan untuk melakukan hilirisasi.
Perdebatan di ruang publik pun tidak dapat dihindarkan. Royalti menjadi simbol filosofi perpindahan kepemilikan dari negara kepada korporasi. Secara teoretis, dalam royalti pun harus terkandung unsur ongkos ekonomi, ongkos sosial, dan ongkos lingkungan.
Dengan memberikan royalti nol persen, tentu menjadi perdebatan. Bahkan, menjadi langkah sangat fatal jika royalti harus diberikan untuk keseluruhan kapasitas tambang yang dimiliki dan bukan sebatas batubara yang akan dimanfaatkan untuk kepentingan hilirisasi.
Dengan memberikan royalti nol persen, tentu menjadi perdebatan.
Akhirnya, memang arah Presiden untuk mempercepat hilirisasi harus dilakukan. Hilirisasi batubara untuk mengurangi substitusi impor elpiji sebesar 5,73 juta ton dan 140 juta barel gasoline di tahun 2021 tentu menjadi langkah strategis pemerintah.
Mengingat roda bisnis yang berbeda antara industri tambang dan kimia, tentu diperlukan berbagai insentif fiskal dan nonfiskal yang bukan wilayah sensitif seperti mengenolkan royalti.
Ada langkah perpajakan lainnya yang dapat mendorongnya. Untuk mendapatkan jaminan off-taker atas produk hilirisasi juga menjadi perdebatan yang harus diselesaikan.
Dari berbagai pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah (Kementerian ESDM), seperti besarnya investasi, kebijakan fiskal/nonfiskal, dan off-taker, lebih tepat hilirisasi batubara bukan sebatas dibuka sebagai persyaratan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK, melainkan justru dibuka bagi siapa pun investor, termasuk BUMN sendiri.
Singgih Widagdo, Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahli Geologi Indonesia.