Bukanlah hal yang mudah untuk menghimpun 79 UU sektoral dalam satu UU. Dibutuhkan ketelitian dan kecermatan yang luar biasa, termasuk penguasaan yang memadai secara komprehensif terhadap substansi yang diatur.
Oleh
EDDY OS HIARIEJ
·5 menit baca
"Destinata tantum pro factis non hebentur”. Mengawali tulisan ini, Saya mengutip adagium Latin yang berarti ’maksud baik tidak serta-merta diikuti tindakan yang baik’. Adagium ini cukup pas untuk menggambarkan keberadaan UU Cipta Kerja yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 November 2020 dan diundangkan dalam Lembaran Negara menjadi UU No 11 Tahun 2020.
Harus diakui bahwa keberadaan undang-undang (UU) a quo merupakan ide brilian Presiden untuk menyederhanakan berbagai regulasi dengan sistem omnibus law dalam rangka menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata dalam rangka memenuhi hak penghidupan yang layak melalui kemudahan dan perlindungan UMKM serta koperasi, peningkatan ekosistem investasi, kemudahan berusaha, peningkatan perlindungan, dan kesejahteraan pekerja, serta percepatan proyek strategi nasional.
Seperti adagium di atas, maksud baik Presiden tidak serta-merta diikuti dengan tindakan yang baik dalam pengertian proses pembentukan, termasuk penormaan sebagai substansi UU a quo. Bukanlah hal yang mudah untuk menghimpun 79 UU sektoral dalam satu UU. Dibutuhkan ketelitian dan kecermatan yang luar biasa, termasuk penguasaan yang memadai secara komprehensif terhadap substansi yang diatur.
Bukanlah hal yang mudah untuk menghimpun 79 UU sektoral dalam satu UU.
Oleh karena itu, dibutuhkan partisipasi publik, bukan hanya organisasi buruh, melainkan juga berbagai elemen masyarakat pemerhati masalah-masalah yang diatur dalam UU tersebut. Hal ini dimaksud agar UU ini memperoleh kekuatan tidak hanya secara yuridis, tetapi juga memperoleh kekuatan secara filosofis dan sosiologis.
Pada 11 Maret 2020, harian ini memuat tulisan saya dengan judul ”Sanksi dalam RUU Cipta Kerja”. Saat itu saya memberikan delapan catatan kritis terhadap RUU tersebut. Setelah UU disahkan dan setelah saya baca kembali, ternyata menyisakan beberapa persoalan yang cukup signifikan dalam penormaan sanksi pidana.
Hal mendasar yang harus dipahami bahwa sejumlah ketentuan pidana dalam UU a quo adalah hukum pidana administratif. Artinya, sejumlah UU tersebut pada hakikatnya adalah hukum administratif yang diberi sanksi pidana.
Adapun sifat dan karakteristik hukum pidana administratif adalah, pertama, ultimum remidium. Artinya, hukum pidana merupakan sarana terakhir jika pranata hukum lainnya tak lagi berfungsi untuk menegakkan hukum. Kedua, perumusan jenis sanksi pidana diancamkan secara alternatif. Ketiga, sanksi pidana diterapkan jika sanksi lain tidak berfungsi.
Tiga catatan penting
Ada tiga catatan penting terkait penormaan sanksi pidana dalam UU a quo. Pertama, ketentuan sanksi administrasi dan sanksi pidana yang tumpang tindih dan cenderung bertentangan antara satu dan yang lain. Di satu sisi dengan tegas diatur bahwa pelanggaran terhadap ketentuan a quo dikenai sanksi administrasi, tetapi ketentuan pidana secara tegas menyatakan pelanggaran ketentuan a quo diancam pidana penjara dan denda secara kumulatif.
Kedua, dampak perbuatan tidak sebanding dengan pidana yang diancamkan. Seharusnya semakin besar dampak yang diakibatkan dari suatu perbuatan, ancaman pidananya semakin berat. Namun, yang dinormakan dalam UU a quo tidak demikian.
Lihat Pasal 70 tentang Penataan Ruang. Pasal 70 Ayat (1) memanfaatkan ruang tidak sesuai rencana tata ruang diancam pidana penjara dan denda. Pada Ayat (2) jika melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan kerugian pada harta benda atau kerusakan barang diancam pidana penjara dan denda.
Celakanya, pada Ayat (3), jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan kematian, diancam pidana penjara atau denda. Logika sederhana, harta benda dan barang lebih berharga daripada nyawa orang. Seharusnya perbuatan yang berakibat pada kematian, ancaman pidananya paling berat dalam bentuk kumulasi dan bukan bentuk alternatif.
Ada tiga catatan penting terkait penormaan sanksi pidana dalam UU a quo.
Ketiga, UU a quo menghimpun kurang lebih 79 UU yang masing-masing memiliki ketentuan pidana. Ketika disatukan dalam sebuah UU, seyogianya ada harmonisasi antara ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain dan tidak hanya merujuk pada pasal-pasal existing dari berbagai UU sektoral tersebut. Hal ini mengakibatkan disparitas pidana dalam penegakan hukum jika terjadi pelanggaran UU a quo.
Sebagai misal, perbuatan yang mengakibatkan mati pada kluster UU lingkungan hidup hanya dikenai ancaman pidana maksimum satu tahun penjara. Akibat yang sama pada kluster UU perikanan dikenai ancaman pidana maksimum enam tahun penjara. Bahkan, ada ketentuan yang sama jika mengakibatkan mati hanya dikenai denda maksimum Rp 500 juta.
Dalam konteks yang demikian, seharusnya harmonisasi dan sinkronisasi dilakukan terhadap sanksi pidana dengan Modified Delphy System yang menggunakan tujuh parameter. Hal ini dimaksud agar tidak terjadi disparitas pidana secara in abstracto.
Terhadap perbuatan dengan akibat yang sama, diancam dengan sanksi pidana yang sama pula. Hal inilah yang dilakukan oleh Tim Ahli Pemerintah dan Komisi III DPR dalam pembahasan RUU KUHP ketika melakukan rekodifikasi terhadap kurang lebih 200 UU sektoral yang mengatur sanksi pidana.
Rentan dibawa ke MK
Berdasarkan tiga catatan tersebut, UU a quo amat sangat rentan diajukan ke Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan salah satu prinsip negara hukum, yakni keadilan, sementara penormaan yang ada tidak mencerminkan keadilan terkait dampak dan sanksi pidana yang diancamkan.
Ada dua alternatif penyelesaian. Pertama, dilakukan legislative review terhadap semua ketentuan pidana yang ada. Kedua, Presiden mengeluarkan perppu yang tidak membatalkan keseluruhan UU a quo, tetapi menunda keberlakuan pasal-pasal pidana selama maksimal satu tahun untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi.
Perbaikan tidaklah dapat dilakukan dengan peraturan pelaksanaan, baik dalam bentuk peraturan pemerintah maupun peraturan presiden, sebab sanksi pidana hanya boleh diatur dalam UU atau peraturan daerah berdasarkan asas no punish without representative. Artinya, pencantuman sanksi pidana harus mendapatkan persetujuan rakyat, yakni UU dengan persetujuan DPR atau peraturan daerah dengan persetujuan DPRD. Kalaupun diatur dalam peraturan daerah, sanksi pidana yang boleh dicantumkan hanya sebatas pidana denda dan pidana kurungan.
Adapun rencana perbaikan UU a quo dengan apa yang diistilahkan dengan Distribusi II adalah mekanisme yang sama sekali tidak dikenal dalam konteks doktrin dan tak ada rujukan hukumnya, apalagi untuk dikatakan sebagai sebuah konvensi. Perlu dipahami bahwa suatu konvensi haruslah didasarkan pada postulat longa et invetarata consuetudo, opinio necessitates. Artinya, sesuatu yang berlangsung secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama menimbulkan anggapan sebagai sesuatu hal yang mengikat secara konstitusional.
Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.