Kebijakan Penanganan Krisis
Untuk menghadapi resesi ekonomi 2020, pemerintah dan semua pemangku kepentingan wajib berjalan dalam satu koridor arah visi yang sama dalam upaya pemulihan bisnis dan investasi pascakrisis pandemi Covid-19.
Indonesia pernah mengalami dua kali krisis ekonomi yang dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi global, yakni pada 1998 dan 2008.
Secara teknikal pada 2020, perekonomian Indonesia akan memasuki lorong resesi ekonomi, yaitu kontraksi pertumbuhan ekonomi secara tahunan dalam dua kuartal berturut-turut. Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tahunan mengalami kontraksi 5,32 persen pada kuartal II-2020. Outlook pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020 antara nol sampai minus 2 persen.
Baca juga : Bangkit dari Resesi
Diperlukan analisis komprehensif untuk melihat perbedaan dampak krisis/resesi ekonomi yang ditimbulkan serta implementasi manajemen risiko yang tepat agar tidak keliru dalam kebijakan penyelamatan ekonomi nasional. Kondisi ekonomi 2020 memiliki kesamaan dan perbedaan dengan tahun 1998 dan 2008.
Beberapa aspek kritikal yang membedakan resesi/krisis tahun 1998, 2008, dan 2020 terletak pada penyebab krisis, kondisi fundamental ekonomi dan strategi pemulihan ekonomi, serta aspek politik karena menyangkut kepercayaan pasar dan masyarakat. Ketiga krisis dan resesi ekonomi besar terjadi pada masa pemerintahan berbeda, yakni Soeharto dan BJ Habibie (1997-1998), Susilo Bambang Yudhoyono (2008), dan Joko Widodo (2020).
Kondisi ekonomi 2020 memiliki kesamaan dan perbedaan dengan tahun 1998 dan 2008.
Krisis 1998
Faktor utama penyebab krisis moneter 1998 adalah krisis keuangan regional kawasan Asia yang diakibatkan utang swasta yang jatuh tempo dan bernilai masif sehingga berujung pada kesulitan likuiditas.
Saat itu terjadi turbulensi ekonomi dahsyat yang mengakibatkan rush money akibat ketidakpercayaan pasar dan masyarakat. Sejumlah indikator ekonomi Indonesia menunjukkan kondisi memprihatinkan. Pertumbuhan PDB minus 13,7 persen year on year (yoy) dengan volume PDB Rp 955,63 triliun. Rasio utang 57,7 persen terhadap PDB. Pembangunan selama masa Orde Baru banyak ditopang utang luar negeri. Ketatnya likuiditas membuat suku bunga acuan BI (SBI) menembus level 70 persen.
Baca juga : Alarm Resesi Ekonomi
Krisis moneter berimbas menjadi krisis politik dan krisis kepercayaan. Selain kepercayaan masyarakat, terutama kalangan mahasiswa, terhadap Soeharto telah berada pada titik nadir, sejumlah menteri Kabinet Pembangunan VII juga menyampaikan mosi tidak percaya. Mundurnya sejumlah menteri bidang perekonomian memaksa Soeharto lengser keprabon, kemudian digantikan Habibie pada Mei 1998.
Strategi penanganan krisis 1998 diupayakan melalui skema bail out dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap 16 bank senilai total Rp 670 triliun, hingga mereformasi UU Kebebasan Pers dan UU Kebebasan HAM untuk meredam gejolak sosial dan ketidakpercayaan pada pemerintahan Orde Baru.
Soeharto dipaksa bertekuk lutut menandatangani nota kesepakatan (LOI) dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada Januari 1998. IMF menyetujui pemberian paket bantuan (pinjaman) keuangan multilateral bertahap selama tiga tahun senilai 43 miliar dollar AS melalui memorandum of economic and finance policies (MEFP).
Baca juga : Meredam Ongkos Resesi
Secara umum kondisi krisis ekonomi 1998 sangat buruk, ditinjau dari sisi penyebab terjadinya hingga manajemen penanganan krisis serta ditambah buruknya birokrasi yang sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kurs rupiah terhadap dollar AS anjlok hingga 254 persen yoy, dari level Rp 3.030 (September 1997) ke Rp 10.725 (September 1998), bahkan menembus level Rp 16.000.
Inflasi tercatat 78,2 persen pada Agustus 1998. Peringkat surat utang pemerintah masuk kategori junk atau tak bernilai sehingga memicu arus modal keluar neto (net capital outflow) hingga 2.470 miliar dollar AS.
Soeharto dipaksa bertekuk lutut menandatangani nota kesepakatan (LOI) dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada Januari 1998.
Krisis 2008
Faktor utama pemicu krisis keuangan global 2008 terletak pada masifnya nilai kredit macet fasilitas kredit perumahan AS (subprime mortgage crisis) dan meroketnya harga minyak mentah dunia. Kenaikan harga minyak dunia hingga mencapai rekor tertinggi pada Juli 2008 (di level 147,50 dollar AS per barel di London dan 147,27 dollar AS di New York). Kenaikan harga minyak mentah dunia secara drastis berimplikasi serius terhadap beban fiskal negara dalam menanggung subsidi energi.
Subprime mortgage loan merupakan pinjaman hipotek di AS yang diberikan kepada konsumen yang memiliki nilai kelayakan kredit kurang dari memadai. Krisis kredit perumahan ringkasnya dipicu oleh kurangnya/ketiadaan manajemen risiko kredit, praktik pemberian kredit yang tidak transparan dan tidak sehat, kurangnya implementasi regulasi dan supervisi, hingga tindakan spekulatif berlebihan yang berujung pada masalah moral hazard. Kredit macet KPR AS juga berdampak pada kesulitan likuiditas perbankan dan lembaga pembiayaan.
Baca juga : Peluang Meminimalkan Resesi
Fundamental ekonomi Indonesia tahun 2008 lebih baik dibandingkan tahun 1998. Pertumbuhan PDB mencapai 6,1 persen yoy, dengan PDB sebesar Rp 4.954 triliun, rasio utang negara 33 persen terhadap PDB, nilai tukar rupiah berkisar Rp 9.036-Rp 11.244 per dollar AS, dengan tingkat imbal hasil SBI berkisar 8,0-9,5 persen. Yang menjadi persoalan serius kala itu adalah tingginya harga minyak dunia dan konsumsi BBM sangat membebani APBN.
Berdasarkan data Kemenkeu RI, anggaran subsidi energi pada APBN Perubahan 2008 mencapai Rp 187,1 triliun, di mana subsidi BBM Rp 126,8 triliun dan subsidi listrik Rp 60,3 triliun. Anggaran subsidi energi 2008 melonjak 70,5 persen dibandingkan APBN 2007 sebesar Rp 109,7 triliun.
Secara ekonomi dan politik, menaikkan harga BBM bukanlah langkah yang dipilih karena akan membebani rakyat dan memicu inflasi. Apalagi berdekatan dengan masa Pemilu 2009, di mana SBY kembali maju sebagai calon petahana.
Secara umum resesi global 2008 tidak sampai berujung pada krisis politik seperti 1998. Tingkat kepercayaan pasar dan masyarakat terhadap pemerintahan SBY-Kalla masih tinggi. Terbukti dengan SBY masih terpilih kembali pada Pemilu 2009. Upaya menjaga daya beli masyarakat dan kestabilan kurs rupiah menjadi fokus pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan pasar dan investor.
Secara umum resesi global 2008 tidak sampai berujung pada krisis politik seperti 1998.
Krisis 2020
Pada 2020 terjadi perlambatan ekonomi global secara dramatis di seluruh dunia akibat pandemi Covid-19. Dampak krisis Covid-19 telah bersifat multidimensi, mencakup krisis kesehatan (banyaknya korban berjatuhan), krisis ekonomi (perlambatan ekonomi dan bisnis), dan krisis politik (perbedaan tajam dan rivalitas di antara negara-negara dunia). Kebijakan pembatasan sosial demi mencegah penyebaran virus korona membawa efek bumerang berupa perlambatan pertumbuhan sektor ekonomi dan bisnis.
Pemulihan ekonomi Indonesia tidak akan mudah, tetapi tetap ada sejumlah aspek positif yang bisa dimanfaatkan untuk mendorong percepatan pemulihan. Pertumbuhan ekonomi secara tahunan masih tercatat positif 2,97 persen pada kuartal I-2020. Meskipun mengalami kontraksi 5,32 persen pada kuartal II-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksi membaik pada kuartal selanjutnya.
Baca juga : Menelaah Resesi
Tingkat kepercayaan dan kepuasan masyarakat pada kinerja Jokowi-Ma’ruf Amin masih terjaga sehingga aspek politik tidak terlalu bermasalah.
Sejumlah indikator perekonomian memang menunjukkan tingkat kesehatan masih terjaga dibandingkan tahun 1998 dan 2008. Nilai PDB per Mei 2020 mencapai Rp 16.386,94 triliun, dengan rasio utang negara mencapai 32,09 persen terhadap PDB atau senilai Rp 5.258,57 triliun. Nilai tukar rupiah relatif stabil pada level Rp 14.230-Rp 16.644 per dollar AS (Maret-Juli 2020), SBI pada level 4,0-4,5 persen, dan tingkat inflasi stabil 3,2-3,5 persen.
Perekonomian Indonesia diperkirakan akan pulih pada 2021, dengan catatan vaksin korona telah berhasil lulus uji klinis dan menjangkau seluruh rakyat. Dalam RAPBN 2021, belanja negara dianggarkan Rp 2.747,5 triliun, yang akan dipenuhi dari (target) pendapatan negara Rp 1.776,4 triliun dan pembiayaan anggaran dari utang negara Rp 971,2 atau 5,5 persen terhadap PDB.
Selain pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19, sasaran utama fiskal tahun 2021 adalah tercapainya tingkat pertumbuhan PDB sebesar 4,5-5,5 persen, tingkat kemiskinan 9,2-9,7 persen, tingkat pengangguran 7,7-9,1 persen, dan rasio ketimpangan (gini) 0,377-0,379. Asumsi tingkat inflasi sebesar 3 persen dan nilai tukar Rp 14.600 per dollar AS.
Baca juga : Makroekonomi Kecepatan Pemulihan
Kemenkeu memproyeksikan pada akhir 2020, outlook pertumbuhan PDB Indonesia bisa terkontraksi 1,1 persen atau maksimal tumbuh 0,2 persen secara tahunan. Strategi pemulihan ekonomi dan bisnis tahun 2020 hampir sama dengan 2008, yakni menjaga daya beli masyarakat dan tingkat konsumsi rumah tangga serta stabilitas nilai tukar rupiah untuk menjaga kepercayaan pasar dan dunia usaha.
Penyelamatan sektor UMKM diprioritaskan demi mencegah bertambahnya angka pengangguran dan kemiskinan.
Penyelamatan sektor UMKM diprioritaskan demi mencegah bertambahnya angka pengangguran dan kemiskinan. Sektor UMKM sekali lagi menjadi tulang punggung penyerap tenaga kerja. Data per 2018, jumlah pelaku usaha UMKM 64,19 juta unit, menyerap lebih dari 97 persen dari total 137 juta angkatan kerja Indonesia serta berkontribusi sekitar 60 persen terhadap PDB dan nilai ekspor nonmigas Rp 293,84 triliun.
Pemerintah masih akan menggelontorkan paket stimulus terkait pemulihan ekonomi nasional pada 2021 sebesar Rp 356,5 triliun atau menurun dibandingkan 2020 yang Rp 695,2 triliun. Kebijakan ini sudah tepat demi menjaga daya beli dan tingkat konsumsi rumah tangga.
Namun, sayangnya, anggaran untuk UMKM dan insentif usaha menurun drastis. Anggaran stimulus UMKM berkurang dari Rp 123,46 triliun di 2020 menjadi Rp 48,8 triliun pada 2021 dan insentif usaha menurun dari Rp 120,61 triliun menjadi Rp 20,4 triliun.
Meskipun ada keterbatasan ruang fiskal, seharusnya anggaran stimulus UMKM dan insentif usaha tidak diturunkan secara drastis mengingat masih besarnya beban yang harus ditanggung pengusaha UMKM di saat pendapatan usaha menurun signifikan selama masa pandemi dan makin besarnya risiko gagal bayar kewajiban kredit (insolvency).
Baca juga : Resesi dan Peradaban Baru
Pelajaran berharga dari setiap krisis adalah menjadikan kita mawas diri dan kesempatan melakukan pembenahan manajemen risiko krisis. Evaluasi, inovasi, dan memperkuat ketahanan menjadi kunci sukses pada resesi ekonomi tahun 2020. Pemerintah dan semua pemangku kepentingan wajib berjalan dalam satu koridor arah visi yang sama dalam upaya pemulihan bisnis dan investasi pascakrisis pandemi Covid-19.
Santo Rizal Samuelson
Ekonom, Finance & Investor Relations di PT Graha Prima Energy