Alarm Resesi Ekonomi
Resesi bukan kiamat yang harus kita takuti ataupun bisa dihindari. Sebaliknya, resesi yang terjadi saat ini harus kita hadapi dengan sikap bijak dan ketenangan agar secara psikologis kita tidak ketakutan dan bingung.
Badan Pusat Statistik baru saja mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2020 mengalami kontraksi sebesar 3,49 persen (year on year/yoy) sehingga secara resmi Indonesia telah memasuki resesi ekonomi.
Inilah resesi pertama yang kita alami dalam 20 tahun terakhir sejarah perekonomian Indonesia setelah terakhir kalinya kita mengalami resesi pada saat krisis moneter tahun 1998. Kejadian resesi yang menimpa Indonesia sekarang ini merupakan bagian dari resesi global yang juga melanda hampir semua negara di dunia.
Resesi terjadi karena anjloknya sisi permintaan (demand side) terhadap barang dan jasa sebagai konsekuensi dari adanya pembatasan pergerakan dan mobilitas manusia akibat pandemi Covid-19. Melemahnya sisi permintaan tersebut telah memicu terjadinya pula penurunan di sisi produksi (supply shock) ataupun investasi, yang selama ini menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi nasional.
Bukan kiamat
Munculnya resesi ekonomi sekarang ini bukanlah akhir dari semuanya. Resesi juga bukan kiamat yang harus kita takuti ataupun bisa dihindari. Sebaliknya, resesi yang terjadi saat ini harus kita hadapi dengan sikap bijak dan ketenangan agar secara psikologis kita tidak merasa ketakutan dan bingung.
Munculnya resesi ekonomi sekarang ini bukanlah akhir dari semuanya.
Secara tidak langsung, sebenarnya kita sudah hidup dalam bayangan resesi ekonomi sejak triwulan I-2020 ketika pertumbuhan ekonomi sudah mengalami kontraksi sebesar 2,41 persen dibandingkan triwulan IV-2019 (quarter-to-quarter). Selanjutnya, ekonomi kita terus berkontraksi sampai kemudian benar-benar terjadi resesi secara resmi pada triwulan III-2020.
Dengan demikian, kita sudah menjalani kehidupan di bawah payung resesi sejak pandemi terjadi di awal Maret 2020 sehingga kita tidak perlu khawatir menjalani kehidupan selanjutnya di bulan-bulan berikutnya.
Setelah resesi datang, pertanyaan selanjutnya yang perlu kita pikirkan adalah kapan resesi itu akan berakhir atau bisa kita hentikan sehingga roda ekonomi bisa bergerak kembali ke arah normal.
Respons kebijakan
Penelitian yang dilakukan Kannan, et al (2009) menunjukkan bahwa resesi ekonomi yang disertai dengan krisis ekonomi memiliki dampak yang sangat dalam sehingga proses pemulihannya akan berjalan lamban.
Mayoritas ekonom dari sejumlah negara banyak yang memberikan argumen bahwa satu-satunya cara untuk menangani dampak resesi pada saat pandemi adalah memprioritaskan krisis kemanusiaan terlebih dulu. Dengan demikian, upaya menyelamatkan manusia dari penularan wabah virus korona merupakan prasyarat untuk pemulihan ekonomi yang sedang terjadi.
Lebih lanjut, para ekonom berpendapat bahwa kebijakan makro-ekonomi yang bersifat kontrasiklikal (countercyclical) untuk menghentikan resesi biasanya hanya efektif untuk memberikan solusi pada rentang waktu jangka pendek saja. Meskipun demikian, kebijakan countercyclical ini tetap diperlukan untuk melawan arus pelambatan ekonomi yang sedang terjadi saat ini.
Tanpa adanya kebijakan makro ekonomi yang cepat, tepat, dan terpadu, dikhawatirkan resesi akan terjadi berkepanjangan sampai triwulan IV-2020, atau bahkan sampai tahun 2021. Apabila kita hanya fokus ke upaya penyelamatan manusia dan membiarkan ekonomi berjalan sendiri seperti apa adanya, mungkin kondisi ekonomi negara kita akan semakin terpuruk dan sulit untuk dibangkitkan kembali.
Meskipun demikian, kebijakan countercyclical ini tetap diperlukan untuk melawan arus pelambatan ekonomi yang sedang terjadi saat ini.
Penemuan vaksin untuk memerangi Covid-19 diharapkan akan menjadi salah satu faktor utama pendorong pemulihan ekonomi ke jalur yang lebih cepat. Namun, sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang benar-benar manjur dan teruji untuk memerangi virus korona tersebut. Oleh karena itu, mau tidak mau kita tetap memerlukan kebijakan makro ekonomi terpadu yang bersifat kontrasiklikal untuk menghentikan resesi dan memitigasi dampaknya.
Kebijakan fiskal
Kebijakan countercyclical yang perlu dijalankan oleh pemerintah dari sisi fiskal dapat difokuskan pada enam hal. Pertama, meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat dengan memperpanjang kebijakan jaring pengaman sosial, seperti bantuan langsung tunai, subsidi gaji, dan subsidi listrik. Kebijakan subsidi ini dapat diperluas lagi beberapa sektor yang bisa menggerakkan ekonomi secara langsung, seperti pemberian subsidi pupuk untuk petani.
Kedua, menggerakkan kembali mesin-mesin UMKM yang merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia yang menyerap jutaan tenaga kerja. Selain bantuan modal sebesar Rp 2,4 juta yang selama ini hanya diperuntukkan bagi usaha mikro, perlu juga dipikirkan skema bantuan modal untuk menggerakkan usaha kecil dan menengah yang terdampak pandemi. Hal ini penting mengingat mereka memiliki kapasitas produksi yang lebih besar dan mempekerjakan lebih banyak karyawan dibandingkan dengan kegiatan usaha mikro.
Ketiga, mempercepat belanja pemerintah yang saat ini masih belum optimal realisasinya sehingga uang bisa langsung terserap di sektor riil. Salah satunya dengan mempercepat realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang baru mencapai Rp 361,5 triliun per 26 Oktober 2020, yang berarti masih tersisa Rp 333,7 triliun atau 48 persen yang harus dihabiskan dalam waktu sekitar dua bulan.
Keempat, perlunya perluasan insentif pajak untuk sektor-sektor tertentu yang dapat menggerakkan ekonomi secara langsung. Salah satunya adalah sektor perdagangan, yakni dengan memberikan pengurangan atau pembebasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final untuk sewa ruang usaha guna menggerakkan sektor ritel dan memperpanjang pemberlakuan PPh final untuk UMKM yang berbentuk perseroan terbatas.
Kelima, insentif pajak untuk sektor properti, mengingat sektor ini termasuk industri strategis yang terkait dengan 174 industri lainnya dan menyerap sekitar 30 juta tenaga kerja.
Keenam, menaikkan tarif pajak final simpanan masyarakat yang ada di bank yang saat ini besarnya 20 persen untuk jangka waktu terbatas guna mengurangi minat menabung dan mendongkrak tingkat konsumsi masyarakat.
Kebijakan moneter
Kebijakan kontrasiklikal dari sisi moneter yang perlu dilakukan untuk menghentikan pelambatan ekonomi dapat dilakukan melalui beberapa cara.
Pertama, tetap melakukan kebijakan moneter yang ekspansif dengan menambah jumlah uang beredar dengan tujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat serta mengurangi pengangguran. Kedua, mempertimbangkan kembali penurunan suku bunga acuan guna memacu permintaan kredit yang selama ini mengalami stagnasi.
Kebijakan kontrasiklikal dari sisi moneter yang perlu dilakukan untuk menghentikan pelambatan ekonomi dapat dilakukan melalui beberapa cara.
Ketiga, menjaga nilai tukar rupiah agar tetap stabil dan tidak berfluktuasi sangat tajam. Stabilnya nilai rupiah akan memudahkan dunia usaha menghitung biaya produksi, memperlancar perdagangan, dan menambah keyakinan investor dalam berusaha dan berinvestasi di Indonesia.
Kebijakan mikroprudensial
Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pemegang kebijakan mikro prudensial di sektor jasa keuangan sangat dibutuhkan untuk menjaga kestabilan dan kesehatan semua lembaga jasa keuangan yang beroperasi di tengah resesi ekonomi.
Beberapa kebijakan OJK yang bersifat kontrasiklikal masih perlu dipertahankan guna membantu lembaga jasa keuangan dan dunia usaha dari dampak resesi yang berkepanjangan.
Pertama, komitmen OJK untuk memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit sampai Maret 2022 diharapkan tidak hanya membantu sektor riil dalam menggerakkan dunia usaha secara pelan-pelan, tetapi juga membantu bank untuk mengurangi rasio kredit macet yang lebih besar.
Kedua, mendorong bank-bank untuk mulai berani mengucurkan kredit yang selama ini mengalami kondisi credit crunch. Aliran kredit secara bertahap perlu dialirkan lagi ke dunia usaha guna membiayai mesin-mesin ekonomi agar mampu beroperasi kembali.
(Agus Sugiarto, Kepala OJK Institute)