Indonesia dan Upaya Perdamaian Semenanjung Korea
Berpijak pada pentingnya peran Indonesia bagi perdamaian dunia, termasuk atas konflik di Korea, Indonesia bisa membuktikan bahwa konflik bisa diselesaikan dengan jalan dialog, musyawarah, dan jalan Pancasila.
Rudal balistik antar benua yang ditampilkan dalam parade militer Korea Utara di Pyongyang, menjadi ancaman nyata bagi pertahanan Amerika Serikat (Kompas, 13/10). Rudal baru sebagai bagian sistem persenjataan canggih Korea Utara tersebut dipamerkan sebagai pesan bagi Amerika Serikat atas kegagalannya bernegosiasi dengan Korea Utara.
Bagaimana membaca unjuk kekuatan militer Korea Utara yang dilaksanakan tengah malam bertepatan dengan peringatan 75 tahun berdirinya Partai Pekerja Korut? Peran strategis apa yang bisa diperankan Indonesia, dan apa relevansi penyelesaian perdamaian Semenanjung Korea bagi perdamaian dunia?
Budaya Strategis
Sifat, watak, doktrin, dan postur pertahanan suatu negara dapat dikaji melalui pendekatan budaya strategis. Budaya strategis adalah sekumpulan keyakinan, sikap, dan praktik yang khas terkait penggunaan kekuatan keamanan yang dilaksanakan secara kolektif dan muncul sebagai proses melalui sejarah bangsa yang unik (Longhurst, Kerry, 2000).
Keseluruhan perilaku Korea Utara yang gemar menampilkan uji rudal balistik, dan terus membangun deterrence effect melalui senjata nuklir, senjata biologi dan senjata kimia tersebut, tidak terlepas dari budaya strategis yang terbentuk panjang, dan menjadi kesadaran ideologis bangsa tersebut di dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman militer dan non-milter bagi kelangsungan hidup bangsanya.
Sifat, watak, doktrin, dan postur pertahanan suatu negara dapat dikaji melalui pendekatan budaya starategis.
Para analis militer banyak memerkirakan, Korea Utara memiliki paling tidak 75 kapal selam, lebih dari 349 pesawat tempur dengan persenjataan canggih, termasuk senjata monster sebanyak 30-40 hulu ledak nuklir, rudal balistik antar benua, dan kekuatan militer aktif berdaya militansi tinggi. Seluruh postur kekuatan militer tersebut tidak terlepas dari doktrin military first policy.
Kekuatan militer adalah segala-galanya, muncul sebagai renungan mendalam dari Kim Il Sung, Presiden Abadi Korea Utara, yang membangun doktrin pertahanannya bahwa demi kedaulatan, keamanan dan tujuan reunifikasi Korea, satu-satunya jalan untuk membela seluruh kemerdekaan dan kedaulatan Korea adalah membangun kekuatan militer.
Kultur strategis pun terus berevolusi. Dimulai dari ideologi Juche sebagai jalan berdikari dengan nafas kekuasaan totaliter, yang mengendalikan militer di bawah kekuasaan pemimpin tertinggi melalui National Defense Commission (NDC); kendali penuh atas Partai Pekerja Korea, aparatur pemerintahan, dan kontrol produksi pangan secara sentralistik. Dalam kajian budaya strategis, ideologi Juche ini berevolusi menjadi Songhun Politics di era Kim Jong Il, dan dipertajam lagi oleh Kim Jong Un menjadi Byungjin.
Dalam keseluruhan evolusi budaya strategis tersebut, kesemuanya saling terkait satu sama lain, menempatkan supremasi militer, dan memiliki tiga ciri pokok. Pertama, bahwa budaya strategis muncul sebagai imajinasi, mimpi, dan ambisi dari Kim Il Sung (Bermudez Jr, 2006). Budaya ini dibentuk atas pengalaman gerilya Kim Il Sung melawan kolonialisme Jepang.
Akumulasi pengalaman Kim Il Sung ini membangun pemahaman pentingnya kekuatan militer sebagai penentu keberlangsungan hidup suatu bangsa. Tidak heran, bagi Korea Utara, kekuatan militer adalah hal yang utama, sesudahnya baru Partai Pekerja Korea.
Kedua, kegagalan reunifikasi Korea (Reunification of the Fatherland), oleh Kim Il Sung dipahami akibat intervensi Amerika Serikat. Dampaknya, Korea Utara menganggap dunia internasional penuh dengan distrust. Dunia dipenuhi pandangan neorealis, di mana setiap negara hanya memerjuangkan kepentingannya.
Akibatnya, dengan cara apapun, Korea Utara harus membangun kekuatan militernya dengan daya ancam yang semakin besar. Kekuatan militer ini pun ditujukan pada musuh utama Amerika Serikat yang dipersepsikan selalu campur tangan urusan “keluarga” bangsa Korea.
Akibatnya, dengan cara apapun, Korea Utara harus membangun kekuatan militernya dengan daya ancam yang semakin besar.
Ketiga, tujuan politik menyatukan Korea sebagai basis kepentingan yang terus ditanamkan. Guna mencapai hal tersebut maka ideologi Juche, Songun Politics, dan Byungjin dijadikan sebagai manifestasi “agama” negara. Syarat reunifkasi ini tunggal, tidak ada campur tangan asing, khususnya Amerika Serikat, karena Korea adalah satu bangsa.
Peran Indonesia
Dengan memertimbangkan potensi Korea Utara yang terdepan dalam kekuatan militer dengan sistem totaliter penuh, dan pada saat bersamaan, Korea Selatan tampil demokratis membangun kekuatan ekonomi, namun juga memiliki pengalaman traumatik akibat penjajahan Jepang, maka perpaduan competitive advantages kedua negara tersebut dapat menjadi titok tolak rekonsiliasi.
Inisiasi bisa melalui diplomasi sosio-kultural, membangun rasa saling percaya, dan disusun setapak demi setapak diplomasi, menjabarkan code of conduct bagi perdamaian Semenanjung Korea oleh bangsa Korea sendiri tanpa intervensi pihak asing.
Perang Korea yang terjadi pada tahun 1950-1953 tanpa diakhiri perjanjian damai, harus dibawa satu tingkat lebih tinggi melalui declaration of peace. Di sinilah Indonesia dapat memainkan perannya. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang bisa diterima oleh kedua belah pihak.
Legitimasi historis diplomasi bunga angrek yang pernah dilakukan oleh Soekarno pada tahun 1965, membawa kesan mendalam atas hubungan persahabatan kedua bangsa. Angrek Kimilsungia menjadi jembatan sosio-kultural bagi terwujudnya rasa saling percaya.
Demikian juga kerja sama perekonomian dengan Korea Selatan yang semakin erat. Puncaknya, Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership (IK-CEPA) yang telah digodok dan siap ditanda-tangani oleh Pemerintahan Jokowi menunjukkan bagaimana Indonesia diterima sebagai sahabat oleh kedua negara.
Pendeknya, secara kultural, garis kebijakan politik luar negeri Indonesia yang kedepankan spirit Dasa Sila Bandung, berbagai bentuk kerjasama ekonomi, dan juga legitimasi kepemimpinan Indonesia di Asia-Afrika dan Amerika Latin bisa menjadi modal penting: Indonesia memainkan peran aktif dan mengambil prakarasa atas perdamaian Korea.
Peninsula dan Perdamaian Dunia
Banyak pihak yang menganggap ancaman konflik Semenanjung Korea lebih dalam perspektif regional. Implikasi ketegangan bisa memicu berakhirnya “gencatan senjata” sewaktu-waktu akibat sulitnya memprediksi decision style Kim Jong Un. Pengalaman membuktikan, intensitas konflik bisa melejit sewaktu-waktu. Terlebih dengan kekuatan 30-40 hulu ledak nuklir dan rudal balistik berteknologi canggih.
Banyak pihak yang menganggap ancaman konflik Semenanjung Korea lebih dalam perspektif regional.
Persoalan tidak lagi regional. Solusi damai bagi Korea linear bagi terwujudnya perdamaian dunia. Pemahaman ini sangat penting, khususnya bagi Indonesia yang sejak awal kemerdekaannya memiliki doktrin geopolitik untuk mewujudkan tata dunia yang bebas dari imperialisme dan kapitalisme.
Dalam perspektif geopolitik, maka Korea menjadi sangat penting bagi masa depan Pasifik. Sukarno sendiri sudah mengingatkan, bahwa masa depan dunia berada di Pasifik. Pasifik juga sebagai jalan kemakmuran masa depan.
Dengan masa depan dunia di Pasifik tersebut, maka solusi damai atas Semenanjung Korea tidak hanya “strategi jemput bola” atas pandangan Soekarno. Indonesia bisa berimajinasi betapa hebatnya bangsa Korea apabila bersatu, kekuatan militer dan kekuatan ekonomi akan bersatu, dengan satu nation values yang berangkat dari kultur yang sama.
Terlebih seandainya reunifikasi tersebut lahir karena kepeloporan Indonesia. Dalam perspektif ini, pandangan geopolitik Indonesia yang lebih menekankan pada tatanan dunia baru berdasarkan Pancasila, dan politik luar negeri bebas aktif guna mewujudkan persaudaraan dunia, dapat diimplementasikan dengan baik.
Modal kepemimpinan Indonesia juga cukup kuat. Selain begitu banyak diplomat handal yang qualified, legalitas kepemimpinan Presiden Jokowi, dipadukan legitimasi Megawati Soekarnoputri yang diterima luas di Korea Utara dan Korea Selatan, serta kepiawaian menteri Luar negeri, Retno Marsudi, bisa menjadi perpaduan inisiatif damai dari Indonesia tersebut.
Kuncinya adalah inisiasi dengan respek, melalui multy tracks approach, dan dukungan ASEAN, serta dengan kesabaran revolusioner untuk membangun dialog, dan pada saat bersamaan trust-building diwujudkan dengan mengurangi berbagai intervensi asing, terlebih kekuatan militer asing bagi reunifikasi Korea yang telah menjadi mimpi dan kesadaran setiap anak bangsa di Bumi Peninsula tersebut.
Bagi Indonesia sendiri, inisiatif ruang gerak diplomasi ke dunia tidak hanya memerluas playing field dalam hubungan internasional. Ke luar, inisiatif tersebut bisa menjadi titik tolak pembumian Pancasila bagi dunia. Sedangkan ke dalam, energi anak bangsa akan ditransformasikan keluar, menjadi energi positif Indonesia bagi dunia.
Dengan cara pandang keluar ini, maka militansi keindonesiaan dan energi juang bisa digelorakan agar sesama anak bangsa saling berlomba menjadi yang terbaik, tidak hanya dalam diplomasi luar negeri. Dalam bidang kebudayaan, kuliner, olah raga, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pun menjadi motif dan tujuan berinteraksi.
Dengan meletakkan falsafah atas pentingnya peran Indonesia bagi perdamaian dunia, termasuk mengambil inisiatif atas konflik di Korea tersebut, Indonesia bisa membuktikan bagi dunia, bahwa konflik bisa diselesaikan dengan jalan dialog, musyawarah, dan jalan Pancasila. Sebab dalam dunia politik, termasuk hubungan internasional, tidak ada sesuatu yang mustahil, selama kehendak baik dikedepankan.
(Hasto Kristiyanto Mahasiswa Doktoral Universitas Pertahanan, pemerhati pemikiran geopolitik Sukarno)