Dengan gagasan Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan, kedua ormas Islam—NU dan Muhammadiyah—ingin memperkuat tradisi cinta Indonesia dan menjadikannya sebagai habitus bagi umatnya.
Oleh
Ahmad Najib Burhani
·5 menit baca
Meski Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, perjuangan kemerdekaan pada tahun-tahun setelah itu belum berakhir. Proklamasi itu ditolak oleh Belanda. Mereka bahkan mencoba menjajah kembali Indonesia. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan antara 1945 dan 1949 dikenal sebagai masa Perang Revolusi.
Peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang diperingati sebagai Hari Pahlawan merupakan bagian penting dari masa Revolusi Kemerdekaan itu. Walaupun pengakuan resmi pemerintah baru muncul pada 2015, peristiwa 10 November 1945 itu memiliki kaitan erat dengan ”Resolusi Jihad” yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) pada 22 Oktober 1945.
Resolusi inilah yang menggerakkan para santri, pemuda, dan rakyat Indonesia berjuang mati-matian melawan tentara Sekutu yang datang ke Surabaya. Salah seorang pimpinan tentara Sekutu, Aubertin Walter Sothern Mallaby, mati tertembak pada 30 Oktober 1945. Inilah yang kemudian membuat Sekutu marah dan membalas dendam hingga puncaknya terjadi peristiwa 10 November. Presiden Joko Widodo telah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri.
Selain Resolusi Jihad NU, ada resolusi serupa yang muncul pada masa Perang Revolusi 1945-1949 dan hingga saat ini belum banyak diketahui sejarawan dan masyarakat umum. Resolusi itu dikeluarkan oleh Muhammadiyah pada 28 Mei 1946 dan diberi nama ”Amanat Jihad”.
Menurut Yuanda Zara, sejarawan alumni Universiteit van Amsterdam yang banyak mengulas naskah ini, resolusi ini terbit setelah kondisi nasional semakin genting. Pertemuan-pertemuan diplomatik dengan Belanda gagal dan tanda-tanda perdamaian semakin suram. Ancaman perang dalam skala besar muncul baik dari pihak Indonesia maupun Belanda.
Jika pada Agustus-November 1945 perang besar hanya terjadi di Surabaya, sejak Mei 1946 ancaman perang itu terjadi di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, Muhammadiyah mengeluarkan Amanat Jihad-nya.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana gerakan-gerakan Islam, seperti NU dan Muhammadiyah, membangun ”ideologi revolusi” dan bagaimana ideologi itu menjadi kekuatan di akar rumput untuk berani berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan?
Ringkasnya, dalam membangun ideologi revolusi itu, tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah menjelaskan bahwa revolusi merupakan perjuangan untuk tujuan Islam. Mereka menggunakan slogan, simbol, dan cara-cara yang berangkat dari tradisi serta doktrin Islam (Fogg 2020).
Salah satunya adalah dalam memperlakukan mereka yang meninggal dunia ketika melakukan perang. Pendeknya, revolusi itu didakwahkan sebagai perjuangan Islami dan suci, dan karena itu setiap mereka yang mati adalah syahid. Inilah yang menyebabkan kedua ormas itu menyebut perang revolusi sebagai jihad.
Selain cara di atas, ideologi revolusi juga terbentuk dengan menanamkan keyakinan bahwa dalam negara baru yang nanti terbentuk, Islam akan ikut memengaruhi politik. Dengan ideologi revolusi inilah, para santri dan umat Islam di Indonesia berangkat berjuang.
Ideologi revolusi yang dipakai para ulama di Indonesia tentu berbeda dari umat lain atau bahkan umat Islam di negara lain. Kepercayaan tentang milenarianisme, seperti tentang kehadiran Ratu Adil, pernah dipakai oleh Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa, tetapi NU dan Muhammadiyah tidak memakai tradisi ini. Ini bisa terlihat, di antaranya, pada kata-kata kunci dalam Resolusi Jihad dan Amanah Jihad, yaitu jihad (perjuangan agama), fi sabilillah (di jalan Allah), merdeka, dan Republik Indonesia.
Melompat jauh dari tahun 1940-an ke 2010-an, ideologi yang dulu dipakai dalam masa Revolusi itu lantas ditransformasikan dalam semangat dan kecintaan kepada Tanah Air, terutama dalam menghadapi gelombang transnasionalisme. NU dan Muhammadiyah, misalnya, melalui berbagai keputusannya menanamkan kecintaan kepada Tanah Air sebagai tradisi keagamaan.
Setelah mempromosikan konsep ”Islam Nusantara” pada Muktamar 2015 pada Munas Alim Ulama & Konbes NU di Kota Banjar, Maret 2019, NU kembali mengeluarkan keputusan fenomenal dalam kaitannya dengan kebangsaan, yaitu tidak boleh menggunakan istilah kafir dalam konteks kebangsaan.
Seperti disampaikan oleh Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU: ”Dalam sistem kewarganegaraan, pada suatu negara bangsa (muwathonah), tidak dikenal istilah kafir. Maka, setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi. Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekah, yaitu untuk menyebut nama para penyembah berhala, paganis, yang tidak memiliki kitab suci, tidak memiliki agama yang benar, animis. Setelah Nabi hijrah ke Madinah, tidak ada istilah kafir untuk warga negara Madinah yang non-Muslim”.
Di Muhammadiyah, konsep ”Islam Berkemajuan” juga diperkenalkan sejak Muktamar 2015 dan diiringi dengan keluarnya dokumen-dokumen penting, seperti ”Negara Pancasila sebagai Dar al-Áhdi wa al-Syahadah”. Dokumen ini menegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara tempat kita memberikan janji suci untuk setia dan tempat membuktikan karya-karya terbaik kita.
Deklarasi ini ingin mengakhiri perdebatan teologis dan politis tentang ”dar al-Islam” (wilayah Islam) dan ”dar al-harb” (wilayah perang). Bagi Muhammadiyah, dikotomi tersebut sudah out of date dan tak laku. Sebagai gantinya, umat Islam perlu menyibukkan diri dengan konsep ”Dar al-Salam”, negara damai yang dibangun dan disepakati bersama.
Pendeknya, dengan gagasan Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan, kedua ormas Islam itu ingin memperkuat tradisi cinta Indonesia dan menjadikannya sebagai habitus bagi umatnya.
Konsep seperti Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan inilah barang kali yang kemudian dipakai oleh Emmanuel Macron, Presiden Perancis, ketika memperkenalkan Islam des Lumières (Islam Pencerahan), satu corak Islam yang khas Perancis yang bebas dari kontrol negara-negara Arab; sebuah Islam yang beradaptasi atau berakulturasi dengan identitas dan karakter masyarakat Barat.
Terakhir, kosa kata dan tradisi mencintai tanah air atau hubbul wathan saat ini belum dimiliki oleh kelompok agama tertentu. Ini di antaranya karena konsep negara-bangsa memang belum ada ketika beberapa agama besar lahir di dunia. Namun, prinsip seperti yang dilakukan Nabi Muhammad ketika membangun ”Negara Madinah” dengan membuat kesapakatan setara dengan umat lain yang beragam agama dan suku adalah model kenegaraan yang patut dilihat.
Di negara itu, mereka berjanji untuk menjadi ”umat yang satu” (ummah wahidah) untuk berjuang bersama, saling menjaga dan melindungi. Semua kelompok di dalamnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dan tak boleh mengkhianati.