Laut merupakan 70 persen luas negara Indonesia. Laut Indonesia juga kaya dan menjadi daerah migrasi serta reproduksi ikan bernilai ekonomi tinggi. Di sisi lain, nelayan masih menjadi kelompok masyarakat termiskin.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Ketua Serikat Nelayan Indonesia Indramayu Daryati mengecek kapalnya di muara Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jawa barat, 26 Oktober 2020.
Persoalan nelayan tangkap sangat kompleks. Pemerintah harus memberikan perhatian lebih, terutama kepada nelayan kecil, demi daya tahan nasional.
Laporan Kompas pada awal pekan ini memperlihatkan kompleksitas persoalan tersebut. Kompleksitas dimulai dari hulu hingga hilir dalam sistem dan usaha agrobisnis perikanan tangkap.
Persoalan tersebut mulai dari kualitas sumber daya nelayan yang terdiri dari nelayan tradisional dan maju; sarana dan prasarana menangkap ikan, seperti alat tangkap, ketersediaan kapal, bahan bakar, pelabuhan untuk nelayan, dan alat pendingin hasil penangkapan; hingga pascatangkap, seperti pengolahan dan pemasaran.
Nelayan juga menghadapi tantangan cuaca yang membatasi jumlah hari melaut, berhadapan dengan nelayan asing yang terkadang agresif di kawasan berbatasan dengan laut internasional, dan menghadapi perubahan iklim. Sejumlah penelitian menunjukkan pemanasan global menaikkan suhu air laut yang mungkin akan berdampak pada kemampuan reproduksi dan pola migrasi ikan.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Ikan hasil tangkapan di Selat Karimata yang baru diturunkan dari kapal diangkut dengan gerobak ke gudang berpendingin di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, 4 Oktober 2020.
Laut merupakan 70 persen luas seluruh negara Indonesia. Indonesia memiliki pantai terpanjang kedua di dunia. Laut Indonesia juga kaya dan menjadi daerah migrasi dan reproduksi ikan bernilai ekonomi tinggi, di antaranya tuna sirip biru. Pada sisi lain, nelayan masih menjadi kelompok masyarakat termiskin seperti diperlihatkan data Susenas 2017.
Jika dalam pertanian pemerintah memberikan perhatian sangat besar sejak 1960-an, mulai dari riset, produksi, pemasaran, hingga membangun sumber daya petani, hal yang sama belum terjadi pada perikanan dan nelayan.
Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan, tahun 2000 ada 2.047.901 rumah tangga dan perusahaan perikanan tangkap, pada 2016 tinggal 965.756 rumah tangga.
Pemerintah perlu segera memberdayakan nelayan agar kita tidak kehilangan orang muda yang berminat mengembangkan laut kita. Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan, tahun 2000 ada 2.047.901 rumah tangga dan perusahaan perikanan tangkap, pada 2016 tinggal 965.756 rumah tangga.
Ketimpangan kesejahteraan juga terjadi di masyarakat nelayan. Untuk memutus rantai kemiskinan, nelayan dan anak-anaknya memerlukan pendidikan dan pelatihan, termasuk budaya berinvestasi untuk masa depan. Mereka perlu pengetahuan menangkap ikan secara lestari, menggunakan kapal ikan modern, menangani hasil penangkapan dan pemasarannya, serta menguasai keterampilan hidup di luar musim tangkap. Untuk itu harus ada dukungan riset ilmiah.
Nelayan juga memerlukan prasarana dan sarana menangkap ikan, termasuk menghubungkan dengan sumber pendanaan dan pasar. Tidak kalah penting adalah kelembagaan yang memastikan pemberdayaan nelayan dari hulu hingga hilir berjalan berkesinambungan.
Tidak berlebihan apabila Presiden Joko Widodo mengadakan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Mengurus nelayan perlu terintegrasi dan komprehensif. Tolok ukur keberhasilan adalah tingkat kesejahteraan nelayan naik tinggi dan sumber daya laut kita dapat dimanfaatkan berkelanjutan untuk kesejahteraan seluruh rakyat.