Tantangan Lintas Generasi
Generasi sekarang bukan hanya harus mampu menghadapi tantangan mengatasi ancaman kesehatan tanpa mematikan ekonomi, tapi juga harus siap mengantisipasi pola dan tatanan kehidupan yang berbeda dengan kebiasaan selama ini.
Sebagai bangsa yang merdeka, Indonesia telah berusia 75 tahun. Tapi kesadaran diri sebagai suatu bangsa telah mengkristal 17 tahun sebelumnya, bahkan kalau ditarik lebih panjang lagi pada Kebangkitan Nasional 112 tahun yang lalu.
Tentu kita tidak boleh meremehkan perlawanan dan perjuangan melawan penjajah di masa sebelumnya, sebut saja Imam Bonjol, Diponegoro, dan banyak lagi di berbagai pelosok Nusantara. Namun, paham keindonesiaan dalam perjuangan sebelum abad ke-20 itu belumlah dikenal.
Baca juga : Kebangsaan Berperikemanusiaan
Dapatlah dikatakan Sumpah Pemuda merupakan lompatan besar dalam sejarah karena para pemuda yang semula terkotak-kotak dalam identitas lokal, etnik, dan agama mengesampingkan perbedaan dan menyatu dalam sebuah nation (imagined political community, Benedict Anderson) yang kemudian dikenal sebagai Indonesia.
Konsep keindonesiaan ini diuji kembali ketika para pendiri Republik (founding fathers) mempertimbangkan dasar negara dan akhirnya sepakat untuk tak menjadikan Indonesia negara berdasarkan agama walaupun sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam. Di Indonesia, konsep kebangsaan adalah kekuatan pemersatu dari demikian banyaknya perbedaan. Namun, di bagian dunia lain tak selalu demikian. Kita lihat Yugoslavia terpecah menjadi banyak negara, Cekoslovakia terpecah jadi Ceko dan Slovakia.
Di Indonesia, konsep kebangsaan adalah kekuatan pemersatu dari demikian banyaknya perbedaan.
Tantangan keindonesiaan
Perjalanan sejarah kita juga menunjukkan, keindonesiaan itu terus-menerus mendapat tantangan, baik secara ideologi seperti komunisme, maupun agama seperti DI-TII, serta kepentingan ekonomi seperti PRRI-Permesta. Namun, kekuatan pemersatu nasionalisme Indonesia lebih kuat daripada pertentangan atas dasar ideologi, agama, dan kepentingan lokal.
Keindonesiaan kita juga lebih luas dari hanya kesamaan yang telah mempersatukan wilayah Nusantara di bawah kekuasaan penjajah, yaitu Hindia Belanda. Banyak negara lahir dari penjajah yang sama seperti jajahan Inggris di sub-kontinen India, dan jajahan Perancis di Indochina di mana perbedaan etnis lebih kuat dari kesamaan agama.
Maka, kita harus mensyukuri keindonesiaan kita, yang terjadi berkat perjuangan dan tidak merupakan sesuatu yang given atau taken for granted.
Sejarah menunjukkan bahwa setiap generasi ada tantangannya yang dapat berupa cita-cita atau kesempatan, tetapi juga kesulitan dan rintangan. Pada generasi yang melahirkan Sumpah Pemuda, tantangannya adalah mempersatukan semua elemen bangsa di bawah naungan kebangsaan Indonesia.
Baca juga : Sumpah Pemuda dan Disrupsi Bangsa
Saya katakan mempersatukan karena kita memiliki identitas seperti agama ataupun suku atau tradisi dan kepentingan lokal yang tak bisa bahkan tak boleh dilebur, karena semua itu adalah keragaman yang justru memperkuat keindonesiaan kita.
Marilah, kita fast track melewati masa yang penuh tantangan sebelum, sekitar dan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Masa mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan negara, termasuk perjuangan merebut kembali Irian Jaya, serta mengembalikan konstitusi ke UUD 1945.
Periode ini ditandai dengan pemberontakan, pengkhianatan, guncangan keamanan, instabilitas politik, dan krisis ekonomi, yang akhirnya mendatangkan perubahan rezim dari apa yang dikenal sebagai Orde Lama ke Orde Baru.
Dalam era Orde Baru tantangannya adalah mengembalikan stabilitas, memulihkan ekonomi, dan menggerakkan roda pembangunan. Generasi periode ini berhasil dalam pembangunan ekonomi, menjadikan Indonesia dari salah satu negara termiskin menjadi negara berpendapatan menengah meskipun masih di jenjang tangga terbawah.
Namun, agenda Orde Baru tak termasuk mentransformasikan berbagai capaian itu ke dalam ranah politik, untuk mengakomodasi generasi muda yang telah teremansipasi, makin terdidik dan terbuka wawasan, serta sebagai konsekuensi logisnya menghendaki kebebasan politik.
Di masa itu pula, tumbuh kelas menengah, baik sebagai strata sosial maupun ekonomi. Ketegangan antara kekuatan status quo dan aspirasi perubahan itu berujung pada konflik manakala krisis ekonomi jadi pemicu krisis politik dan berakhir dengan pergantian rezim.
Pasca-Orde Baru atau lebih dikenal sebagai periode reformasi, tantangan utamanya adalah membangun sistem yang demokratis, serta melepas kekuasaan yang sentralistik. Proses reformasi politik itu berjalan melalui serangkaian amendemen UUD, melahirkan sistem demokrasi dan institusi-institusinya yang membentuk sistem politik kita sekarang.
Tantangan generasi sekarang
Setelah sekitar 20 tahun berjalan, sekarang telah lahir generasi baru. Apa saja tantangan generasi sekarang?
Pertama, menuntaskan proses konsolidasi demokrasi, memperkuat institusi-institusi, termasuk desentralisasi sebagai syarat utama agar demokrasi dapat berfungsi dengan baik dan benar. Kekecewaan masyarakat atas kinerja demokrasi telah menyulut hasrat untuk kembali ke UUD 1945 yang asli, padahal bukan karena kesalahan sistemnya, melainkan kita belum mampu menjalankan demokrasi dengan benar. Itu fenomena defisit demokrasi (Christina Lafont).
Kedua, mengawal proses demokrasi agar menjamin keadilan dan kesetaraan bagi setiap warga di muka hukum dan pemerintahan, serta menghasilkan kesejahteraan yang dapat dinikmati oleh rakyat secara lebih adil.
Baca juga : Sumbangan Generasi Milenial
Kontestasi politik jangan membuat pemenang merasa berhak menikmati spoils, tetapi menjadikannya sebagai amanat kepercayaan yang diberikan oleh rakyat. Jangan sampai institusi kenegaraan dan pemerintahan menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Kalau kecenderungan itu terus berjalan dan melembaga, maka akan terjadi deligitimasi demokrasi (Samuel Huntington).
Jangan sampai, institusi kenegaraan dan pemerintahan menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan.
Ketiga, mengatasi berbagai ketimpangan, terutama dalam kesempatan dan penerimaan keadilan. Saya tidak menganggap perasaan tidak puas yang dirasakan sekarang ini sebagai sesuatu yang unik karena sepanjang sejarah kita telah mendengar ungkapan yang sama.
Keempat, generasi sekarang menghadapi tantangan yang tidak hanya dihadapi oleh bangsa kita, seperti memelihara lingkungan hidup serta turut serta dalam arus perubahan yang dihasilkan atau diakibatkan oleh perkembangan pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi digital.
Baca juga : Panggilan Zaman Generasi Pembelajar
Teknologi digital bukan semata faktor produksi seperti masin-mesin. Lebih dari itu, teknologi digital juga berkenaan dengan penggunaan dan penguasaan atas data dan informasi. Teknologi ini memiliki kekuatan dahsyat yang memperluas batas-batas kemampuan manusia.
Generasi muda Indonesia harus bisa hidup seirama dan mampu menguasai serta memanfaatkan kemajuan teknologi dan tak membiarkan bangsa kita jauh tertinggal. Digital gap bisa jadi jurang pemisah dalam antara kemajuan dan stagnasi serta keterbelakangan.
Kelima dan terakhir, pada setiap generasi ada ancaman sebagai bagian dari tantangan yang dihadapinya, apakah krisis ekonomi atau konflik politik atau keduanya sekaligus. Generasi sekarang salah satu ancamannya adalah serangan musuh yang tidak terlihat atau virus korona, yang telah mematikan jutaan manusia dalam waktu hanya setengah tahun. Ini bukan urusan kita saja, melainkan urusan masyarakat bangsa-bangsa, urusan keselamatan umat manusia.
Baca juga : Teknologi, Korona, dan Pendidikan
Tantangan utamanya adalah bagaimana mengatasi ancaman terhadap kesehatan tanpa mematikan perekonomian. Keseimbangan keduanya bersifat sangat dinamis dan harus ditangani dengan pendekatan yang dinamis pula. Tantangan berikutnya, memulihkan ekonomi dan memacu kembali pertumbuhan.
Generasi sekarang juga harus siap mengantisipasi pola dan tatanan kehidupan yang berbeda dengan kebiasaan selama ini. Akhirnya, setiap generasi ada tantangan spesifik untuk generasinya. Tapi menjadi tantangan bagi semua generasi untuk tak hentinya bergerak maju menuju ke arah perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ginandjar Kartasasmita
Mantan Menko Ekuin/Ketua Bappenas