Semua itu semata-mata untuk pendidikan dan keteraturan masa depan anak-anak. Hal ini sangat relevan dengan upaya pencegahan penularan Covid-19, yaitu mengendalikan diri dan mematuhi peraturan.
Oleh
Swasta Priambada
·4 menit baca
Buah dari kebiasaan yang tidak teratur, tak mau patuh, bahkan sengaja melanggar walaupun itu salah adalah pelbagai masalah yang merugikan. Kadang nyawa taruhannya.
Oleh karena itu, kita tak boleh lagi cuek pada peraturan. Kalau risiko sudah telanjur terjadi, dibutuhkan upaya besar memperbaiki kalau masih bisa diperbaiki. Alangkah baiknya jika kita mencegah timbulnya risiko.
Di Australia, sebagai perbandingan adalah peraturan lalu lintas dan pembuangan sampah. Masyarakat terbiasa mematuhi aturan karena sadar untuk kepentingan bersama, antara lain, batasan kecepatan maksimum 40 kilometer per jam di kawasan sekolah dan keramaian. Juga batas waktu untuk parkir, misalnya 2 jam maksimal parkir, dan parkir khusus untuk penyandang disabilitas. Kebiasaan baik ini meminimalkan kecelakaan.
Contoh lain adalah batasan kecepatan di sepanjang jalan raya. Selalu ada rambu peringatan kecepatan untuk kewaspadaan, tanggung jawab, dan tahan diri agar tidak mengebut. Jika melanggar, ada kamera CCTV di jalan raya. Polisi langsung menghampiri jika terlacak ada ketidaksesuaian atau surat tilang dikirim ke rumah.
Demikian juga dengan pembuangan sampah, dipisah menjadi tiga. Sampah daur ulang label kuning; tidak bisa didaur ulang label merah; dan sampah alam, misalnya daun dan ranting, label hijau. Ini mudah sekaligus mendidik masyarakat bertanggung jawab pada lingkungan.
Di perairan, termasuk kolam renang, laut, dan pantai, juga sama. Meski ada petugas lifeguard (Kompas, Surat kepada Redaksi, 17/3/2020), ada pembinaan manajemen risiko dalam air. Hal ini masuk dalam kurikulum pendidikan akuatik sejak dini.
Belajar berenang tidak hanya untuk menguasai empat gaya dan berkompetisi, tetapi juga pengetahuan untuk keselamatan ketika di perairan, seperti datangnya ombak, saat pasang surut, dan kawasan berarus. Demikian pula rambu-rambu bahaya di air lainnya, hal itu dinarasikan dengan jelas dan mudah saat itu juga di kolam renang.
Semua itu semata-mata untuk pendidikan dan keteraturan masa depan anak-anak. Hal ini sangat relevan dengan upaya pencegahan penularan Covid-19, yaitu mengendalikan diri dan mematuhi peraturan.
Swasta Priambada
Sedang Tugas Belajar di Australia
Koreksi Data
Pada acara Sapa Indonesia Malam (Rabu, 21/10/2020) yang dibawakan oleh jurnalis Kompas TV, Aiman Witjaksono, ada kekeliruan tampilan data yang mengganggu.
Disebutkan, pada November-Desember 2020 Indonesia akan memperoleh 9,1 juta dosis vaksin. Data ini perlu dikoreksi, yang benar adalah vaksin untuk 9,1 juta orang.
Angka itu saya kutip dari harian Kompas edisi Selasa (20/10/2020), ”Jangan Tergesa-gesa Vaksinasi”. Rinciannya, 15 juta dosis vaksin bagi 7,5 juta orang merupakan produk Sinopharm, 3 juta dosis vaksin bagi 1,5 juta orang produk Sinovac, dan 100.000 vaksin bagi 100.000 orang produk Cansino Biologics. Jadi, jumlah total 18,1 juta dosis vaksin untuk 9,1 juta orang.
Sebagai catatan, untuk vaksin produk CanSino, vaksinasi diberikan satu kali. Untuk produk Sinovac dan Sinopharm, vaksinasi dilakukan dua kali.
Budi Sartono Soetiardjo
Cilame, Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat
Obat Tak Penuh
Saya orangtua dari Persada Gama Herlambang, nomor BPJS 000 180 993 2859.
Tanggal 1 September 2020 saya mengantar anak saya kontrol ke Rumah Sakit Karya Husada, Cikampek. Dokter yang menangani memberi resep tiga jenis obat untuk diminum selama 30 hari.
Pihak apotek rumah sakit hanya memberi untuk tujuh hari, tidak dikasih penuh alias kurang 23 hari. Saat penyerahan obat, saya tanya kenapa tidak semua sekalian. Jawaban petugas apotek, ”Stok habis, stok terbatas.” Sisanya beli sendiri (BPJS Kesehatan, resep dokter, dan surat kontrol terlampir).
Anak saya tiap bulan harus kontrol ke dokter, sesuai arahan dokter yang menangani. Jika beli sisa obatnya di apotek rumah sakit, hanya bisa untuk tujuh hari. Jadi, setiap minggu saya harus ke rumah sakit untuk membeli obat karena di apotek lain tidak lengkap.
Jarak rumah saya ke rumah sakit sekitar 30 kilometer. Tolong peserta BPJS jangan dibuat susah, repot bolak-balik ke rumah sakit. Menghabiskan biaya transportasi dan waktu. Apakah memang demikian ketentuan aturannya?
Keluarga kami ada lima orang yang menjadi peserta BPJS Kesehatan. Setiap bulan, saya transfer pembayaran iuran ke BPJS Rp 750.000. Sangat disayangkan jika pelayanan kepada peserta BPJS Kesehatan seperti ini.
Bambang Sudiono
Bumi Telukjambe RT 003 RW 012, Telukjambe Timur, Karawang