Seharusnya teknologi informasi yang mudah, cepat, dan masif adalah sebuah anugerah komunikasi yang menghasilkan literasi politik. Faktanya, sampai hari ini teknologi informasi juga menjadi kutukan jagat politik.
Oleh
FATHURROFIQ
·4 menit baca
Adakah kita sadar akan suburnya antagonisme bahasa politik di negeri ini? Cara-cara berbahasa yang memicu kesumat antarsesama anak bangsa ini sangat masif. Teknologi informasi justru memfasilitasi antagonisme itu.
Sekadar contoh, seorang wali kota diolok dengan panggilan anak kodok. Tentu saja ia dan pendukungnya tidak terima. Demikian juga seorang gubernur digambarkan seperti Joker yang jahat. Seperti halnya pendukung sang wali kota, pendukung sang gubernur juga tidak terima: marah.
Ada juga anak kecil belia. Akibat unggahan tugas sekolah tentang lockdown, ia di- bully. Contoh lain tentang politik berbahasa yang lebih garang, peyoratif, dan sadis di lini media massa sangat melimpah untuk ditemukan.
Teknologi informasi justru memfasilitasi antagonisme itu.
Seharusnya teknologi informasi yang mudah, cepat, dan masif adalah sebuah anugerah komunikasi yang menghasilkan literasi politik. Faktanya, sampai hari ini di Indonesia, teknologi informasi juga menjadi kutukan jagat politik.
Alih-alih tercipta literasi yang kritis dan dewasa dalam mengekspresikan politik, komunikasi politik kita sangat keruh. Publik mengalami paling tidak dua kesulitan untuk menjernihkan berbagai ujaran politik, terutama di media sosial. Pertama, ujaran yang berisi gagasan, kritik, dan strategi solusi seorang figur (tokoh, ahli, ilmuwan, ulama, pejabat, pemimpin) berbaur dengan ujaran yang berisi serangan negatif terhadap pribadinya.
Di media sosial, pengguna media seharusnya bisa dengan mudah dan cepat membaca gagasan sang figur itu. Namun, ujaran yang menyudutkan atau menghujat juga terserap semudah, secepat, dan semasif gagasannya. Pikiran konsumen media sosial menjadi taksa: fokus pada ide atau fokus pada gambaran pribadinya.
Efek susulan yang terjadi adalah pendukungnya menjadi marah kepada mereka yang mengejek. Mereka tak tinggal diam. Mereka membuat serangan serupa. Baku hantam ujaran kebencian terus terjadi dengan efek berantai yang tidak berkesudahan.
Kedua, publik konsumen media tidak bisa dengan mudah menyaring ujaran yang akurat, faktual, dan benar dari ujaran yang bohong, disinformasi, atau hoaks. Seharusnya teknologi informasi yang mudah, cepat, dan masif bisa menghasilkan data atau informasi yang akurat, presisi, benar, dan valid.
Nyatanya, yang terjadi, publik justru dibuat kesulitan membedakan ujaran yang valid dari ujaran yang hoaks. Beragamnya modus hoaks menyulitkan publik mengukur ujaran yang berkorespondensi dengan fakta dari ujaran yang penuh dengan kesesatan (fallacy).
Nyatanya, yang terjadi, publik justru dibuat kesulitan membedakan ujaran yang valid dari ujaran yang hoaks.
Di tengah banjir informasi, kebenaran versi penguasa (performatik) dan kebenaran berbasis paham atau ideologi (paradigmatik) menjadi lebih dominan. Situasi inilah yang disebut post-truth.
Cara berbahasa warga dunia, termasuk cara berbahasa bangsa Indonesia, saat ini berada dalam situasi ini. Naasnya, antagonisme bahasa terus menggelinding. Terutama karena perbedaan politik, ujaran saling menyakiti, saling menyerang, saling menjatuhkan, saling menghancurkan, kerap terjadi.
Media massa menjadi arena Kurusetra antarsaudara sebangsa yang terbelah afiliasi politik: bahasa tuduh, bahasa bohong, bahasa fitnah, sebut saja: kadrun, PKI, antek Orde Baru, tukang bohong, bahkan serapah jorok dan cacian dengan sebutan binatang berhamburan dilancarkan untuk membunuh emosi-mental sesama anak bangsa.
Antagonisme bahasa mencabik tubuh bahasa dan jiwa bangsa Indonesia kekinian. Sungguh dahsyat efek sayat yang melukai dan menyakiti batin dari laku bahasa Indonesia kekinian.
Elan vital
Bahasa Indonesia di zaman pergerakan dan perjuangan melawan kolonialisme pernah memiliki elan vital: bahasa pemersatu sekaligus pengobar semangat kebangsaan Indonesia. Modal elan vital sejarah bahasa Indonesia sangat niscaya dimanfaatkan untuk meresolusi antagonisme bahasa politik menjadi bahasa rekonsiliatif dengan tiga kondisi.
Pertama, teladan elite politik, tokoh, dan pemimpin masyarakat (baik yang berada di dalam maupun di luar kekuasaan). Tidak cukup mereka hanya memainkan retorika untuk mencari muka. Ucapan mereka tidak boleh pecah kongsi dengan perilaku nyata.
Ucapan mereka tidak boleh pecah kongsi dengan perilaku nyata.
Mereka harus pandai memperbuatkan kata-kata mereka sendiri. Tidak boleh mereka hanya pandai memperkatakan perbuatan. Betul sekali nasihat Confusius: siapa saja yang berbicara tanpa adab, ia akan kesulitan menghasilkan kata-kata yang baik.
Kedua, aparat hukum yang mendapat wewenang menegakkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, baik polisi, jaksa, maupun hakim, harus bersikap imparsial dalam menangani ujaran kebencian dan hoaks.
Jangan sampai aparat dan institusi penegak hukum kehilangan trust dalam penegakan hukum berpendapat di muka umum. Tanpa trust, hampir mustahil menghasilkan rekonsiliasi. Antagonisme bahasa akan tetap berlanjut entah dengan sembunyi-sembunyi atau terbuka.
Ketiga, dalam salah satu cabang linguistik, yaitu kajian tindak tutur (pragmatics) atau analisis wacana (discourse analysis) ada pelajaran tentang prinsip-prinsip atau kaidah bertutur agar jadi kooperatif. Paul Grice mengistilahkannya dengan empat maksim: truthfulness, informativeness, relevance, dan style.
Kiranya keempat maksim ini, jika diamalkan oleh penutur dan petutur politik (meski berbeda afiliasinya), akan menghasilkan praktik kerja sama bahasa yang beradab. Dengan ketiganya, niscaya elan vital bahasa Indonesia bisa dihidupkan untuk rekonsiliasi.
Fathurrofiq
Dosen Linguistik Sekolah Tinggi Ilmu Al Quran dan Sains Al Ishlah, Sendangagung, Lamongan