Pedagogi untuk Menapis Misinformasi
Di tengah bandang informasi pedagogi literasi media melatih siswa menjadi loyalis kritis: punya pilihan politik tertentu sambil tetap obyektif ketika mengevaluasi berita. Siswa melatih diri untuk tidak malas berpikir.
Mengapa banyak orang gampang percaya terhadap disinfomasi? Seberapa besar peran pendidikan menangkalnya? Survei nasional SMRC tentang Pilpres 2019 menunjukkan cukup tingginya publik yang percaya pada misinformasi terhadap kedua kontestan.
Misal, hoaks tentang Jokowi sebagai anggota PKI. Yang lebih mengejutkan, kelompok yang percaya misinformasi ini banyak yang berlatar pendidikan tinggi dan aktif mengikuti politik di medsos.
Bertolak dari temuan survei SMRC ini, Saiful Mujani dan Nick Kuiper dalam artikel di jurnal Asian Survey menegaskan, tingkat pendidikan ternyata tidak berkorelasi dengan kemampuan seseorang untuk skeptis pada misinformasi.
Dalam studi ini, lulusan perguruan tinggi (19,1 persen) cenderung lebih mudah percaya misinformasi dibandingkan dengan lulusan SD (7,8 persen). Ironisnya, kelompok ini aktif mengikuti berita politik di medsos.
Asumsinya mereka mudah mengakses informasi dan punya pengetahuan politik (political knowledge) yang baik. Faktanya, mereka mudah percaya misinformasi, baik berita bohong (fake news) maupun teori konspirasi.
Menjamurnya misinformasi terutama karena runcingnya polarisasi politik. Pemilihan presiden Amerika 2016, misalnya, menyemaikan misinformasi yang luas di media sosial, melampaui berita media resmi, seperti New York Times, CNN, dan lain-lain.
Menjamurnya misinformasi terutama karena runcingnya polarisasi politik.
Ilmuwan sosial dan peneliti psikologi yang meneliti tentang mengapa orang percaya misinformasi, secara umum, terbagi dalam dua kubu.
Satu kubu mengklaim kemampuan bernalar dibajak oleh keyakinan politik sehingga proses kognitif dalam mencerna suatu berita menjadi bias: orang hanya memercayai berita yang sesuai dengan pandangan politiknya. Lazim disebut motivated reasoning.
Kubu satunya menganggap bahwa penyebab orang termakan misinformasi karena faktor kemalasan berpikir (cognitive laziness). Orang malas menggunakan daya kritisnya dalam membaca berita. Ini terjadi terutama dalam konteks media sosial di mana informasi sering hanya dibaca sekilas.
Pendidikan literasi media
Dalam situasi politik partisan yang memanas seperti Pilpres 2019, kalangan terdidik pun ternyata rentan misinformasi. Padahal, seharusnya pendidikan literasi di sekolah tidak hanya membangun potensi diri (seperti literasi, numerasi, dan sains), tetapi juga menyiapkan mereka menjadi warga negara yang berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi.
Sejak dini daya kritis siswa dibangun dengan membiasakan mereka melihat teks sebagai obyek bacaan untuk dimaknai dan dikritisi, bukan hanya sebagai pembaca pasif. Keterampilan mencari sumber akurat untuk memajukan argumen adalah bagian penting pendidikan literasi.
Namun, faktanya banyak kalangan terdidik yang mudah termakan misinformasi. Apakah ini motivated reasoning, bahwa kemampuan kognitif mereka menjadi lemah karena keyakinan politik? Ataukah ini gejala kemalasan berpikir dalam mencari informasi akurat (cognitive laziness)? Atau kombinasi keduanya?
Joseph Kahne, profesor civic learning dan literasi media Universitas California (UC) Riverside, melakukan riset soal misinformasi dan pendekatan pedagogi untuk menangkalnya. Kahne berangkat dari kritik bahwa pendidikan literasi kritis yang dipraktikkan di sekolah cenderung bersifat generik, tak kontekstual. Menurut dia, pendidikan literasi selama ini tidak diletakkan dalam konteks politik dengan iklim politik partisan yang tinggi.
Dalam situasi politik partisan yang memanas seperti Pilpres 2019, kalangan terdidik pun ternyata rentan misinformasi.
Dengan mengetes kemampuan populasi anak muda Amerika (SMA dan perguruan tinggi) dalam menilai akurasi informasi, Kahne menemukan bahwa mereka cenderung memercayai berita yang isinya sejalan dengan keyakinan politik mereka, bahkan jika isi beritanya tidak akurat.
Ini mengukuhkan pandangan bahwa orang cenderung percaya berita yang sejalan dengan pandangan politiknya (motivated reasoning). Temuan lain Joseph Kahne adalah siswa yang tahu politik malah cenderung tidak hati-hati dan tidak teliti menilai akurasi berita.
Studi Joseph Kahne tentang misinformasi dalam konteks Amerika ini seiring dengan temuan survei SMRC tentang misinformasi di Indonesia. Keduanya mempertanyakan apakah keaktifan seseorang mengikuti informasi politik berkorelasi dengan kemampuan menyaring misinformasi.
Pedagogi literasi media
Pada prinsipnya, pendidikan literasi generik yang mengajar siswa menguasai pengetahuan dan meningkatkan daya nalar kritis tetap diperlukan. Namun, ketika dihadapkan pada situasi politik partisan tinggi dan isu-isu kontroversial, pendidikan literasi generik saja tidak mencukupi. Untuk meresponsnya, perlu cara khusus mengajarkan keterampilan menolak misinformasi.
Dalam soal ini, gagasan Joseph Kahne tentang pedagogi literasi media menawarkan solusi pedagogi yang memberikan keterampilan siswa menyaring misinformasi melalui pendidikan literasi media.
Pendidikan ini bisa diartikan kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, membuat, dan bertindak menggunakan semua moda komunikasi, terutama digital. Perlu dicatat, dalam pedagogi literasi media, peran guru dalam mendemonstrasikan proses berpikir mengevaluasi berita amatlah sentral.
Sejumlah sekolah di California menerapkan pedagogi literasi media berikut.
Pertama, para guru membimbing siswa dalam melatih keterampilan melihat perbedaan kecil dalam berita (nuances), sekaligus mengembangkan metode menilai akurasi klaim kebenaran berita.
Mereka juga mendemonstrasikan kepada siswa cara melihat latar belakang kelompok yang membuat suatu klaim dalam satu berita. Tujuannya agar siswa mengetahui apa motif (interest) pembuat klaim.
Mereka juga mendemonstrasikan kepada siswa cara melihat latar belakang kelompok yang membuat suatu klaim dalam satu berita.
Di sini siswa dibiasakan untuk merenungkan proses berpikir (thought process) dan tidak tergesa-gesa. Siswa diminta secara teratur merefleksikan bias mereka, keakuratan dan kredibilitas sumber, dan dampak bias mereka pada penilaian tersebut. Guru mendemonstrasikan secara langsung proses ”pikir nyaring” (thinking out loud) saat mengevaluasi informasi. Dengan begitu, siswa menyaksikan sendiri proses guru berpikir nyaring.
Proses latihan
Sebagai contoh, seorang guru bersama siswa menilai berita isu kontroversial yang menyebar luas yang isinya membela kebebasan mutlak kepemilikan senjata (sesuatu yang legal di Amerika, tetapi membelah warga tergantung preferensi politiknya).
Guru menunjukkan kepada siswa klaim apa saja dari berita yang bisa dinilai, dengan cara menelusuri kata kunci dan sumber-sumber pendukung argumen berita tersebut. Semua proses berpikir diungkapkan secara verbal.
Proses pencarian pun ditampilkan ke siswa. Dengan pendemonstrasian proses berpikir guru seperti ini, siswa menyaksikan langsung contoh perbedaan kecil (nuances) dalam sebuah berita.
Pada akhir proses, siswa mulai melihat sejumlah klaim berlebihan tanpa didukung sumber yang akurat.
Pedagogi literasi media yang dikembangkan Joseph Kahne ini memberikan efek nyata pada siswa. Mereka mampu membedakan mana berita akurat dan mana yang isinya mengandung misinformasi.
Setidaknya, siswa lebih berhati-hati dalam menilai akurasi sebuah informasi. Mereka tidak terkungkung motivated reason yang hanya membaca apa yang ingin mereka baca, dan memercayai berita sesuai dengan keyakinan politiknya.
Pedagogi literasi media melatih mereka menjadi loyalis kritis: punya pilihan politik tertentu sambil tetap obyektif ketika mengevaluasi berita.
Pedagogi literasi media yang menekankan sikap tidak tergesa-gesa dalam menilai berita, juga mengurangi kemalasan berpikir (cognitive laziness) sehingga siswa mampu menapis misinformasi.
(Tati D Wardi, Peneliti SMRC; Dosen UIN Jakarta)