Biografi Orang Kecil
Pendekatan sejarah ‘dari dalam’ dan ‘dari bawah’, misalnya, mengajarkan kepada kita mengenai sejarah desa bukan hanya kota, tentang sejarah rakyat bukan hanya elite.
”Fiksi adalah cara yang terbaik untuk menceritakan fakta.”
—Andrea Hirata, Penulis Novel Tetralogi Laskar Pelangi.
Kehidupan manusia begitu kompleks, kaya, dan indah! Biografi adalah lukisan sekilas mengenai kompleksitas, kekayaan, dan keindahan itu.
Biografi ditulis dengan berbagai latar berbeda. Seorang pesohor dunia olahraga atau hiburan mungkin mengabadikan sosoknya dalam biografi untuk mengisahkan jatuh-bangun kariernya hingga meraih tangga sukses. Seorang pengusaha atau politisi mungkin membuat biografi agar bisa merekam suka-duka kiprahnya dalam panggung bisnis dan politik.
Setidaknya ada dua pandangan mengenai biografi. Pandangan itu menempatkan karya biografis pada dua posisi berbeda. Pertama, biografi atau autobiografi dilihat sebagai semacam ”narsisisme sejarah”.
Ini muncul dari pandangan kritis yang melihat karya biografi sebagai ajang narsisisme, yakni pementasan kecintaan berlebihan kepada diri sendiri. Keinginan untuk melihat diri sendiri dan dilihat orang lain secara berlebihan dalam panggung sejarah sehingga tidak menempatkan diri secara proporsional dalam kenyataan sejarah.
Kedua, biografi atau autobiografi dilihat sebagai ”refleksi diri”. Renungan atas apa yang telah dilakukan dalam penggalan hidup sebagai cermin untuk berkaca diri dan juga bagi orang lain, generasi masa kini dan akan datang. Sebagai biografi yang ditulis dengan satu kacamata, ia jelas terbatas. Karena hanya dari satu sudut pandang seseorang.
Akan tetapi, betapapun terbatasnya, sebagai kesaksian subyektif dari seorang pelaku sejarah, biografi bisa menjadi cermin untuk memaknai sejarah dari kacamata lain. Jadi, ia adalah sumber inspirasi untuk memaknai diri dalam penggalan narasi sejarah dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Setidaknya bagi si pelaku sejarah yang menulis biografi atau autobiografi itu.
”Biografi,” demikian sejarawan Taufik Abdullah pernah mengatakan (2002), ”adalah ’sejarah’ pada tahapnya yang paling akrab, intim, ketika denyut nadi masyarakat telah disalin pada kegelisahan, harapan, dan impian dari unsurnya yang paling hakiki, yaitu manusia dalam kesendiriannya.”
Selama ini biografi atau autobiografi yang umum ditulis di Indonesia adalah catatan kehidupan seorang dalam ruang lingkup terbatas, yakni suatu biografi dalam arti sempit, dengan cakupan masa terbatas, sering disebut sebagai memori jabatan atau kenangan tugas tertentu, dalam periode tertentu, dari penggalan kehidupan seseorang.
Dalam momen sejarah tertentu, terkadang ada juga perebutan narasi mengenai klaim-klaim kesaksian sejarah. Tak mengherankan jika muncul berbagai biografi dari tokoh yang dengan klaim-klaim tertentu, merasa paling berperan atau mungkin merasa sebagai korban sejarah. Di sini auto(-biografi) pun bisa berubah menjadi medan perang kesaksian. Tak jarang menimbulkan pro dan kontra di antara para pelaku dan pembuat biografi sebagai medan kesaksian itu.
Pertarungan narasi kesaksian sejarah itu dilakukan oleh orang-orang besar atau yang merasa dirinya besar sehingga kendali arus sejarah seolah hanya milik orang dengan nama besar. Orang yang karena pangkat atau kedudukan tinggal menunggu waktu untuk dikenang sebagai pahlawan.
Kalau orang besar melakukan tindakan besar, itu biasa. Kalau orang kecil melakukan tindakan besar, itu luar biasa! Sebab, orang besar punya peluang dan sumber daya lebih besar. Sayangnya, tak jarang orang besar hanya melakukan tindakan kecil. Alih-alih meninggalkan jejak mulia dalam jabatan. Di antaranya malah mewariskan kutukan sejarah dalam setiap peralihan generasi bangsanya.
Namun, patut dicatat, dalam dua dekade terakhir, menguat kritik dari sejarawan bahwa sejarah bukan melulu milik orang besar. Sejarah juga dilakoni dan dicatat oleh orang-orang kecil. Sejarah bukan hanya milik segelintir elite, sejarah juga milik wong cilik.
Pendekatan sejarah ’dari dalam’ dan ’dari bawah’, misalnya, mengajarkan kepada kita mengenai sejarah desa bukan hanya kota, tentang sejarah rakyat bukan hanya elite (Adam, 2001).
Kesadaran mengangkat kisah orang kecil telah mengilhami beberapa penulis. Andrea Hirata, salah satu contohnya. Laskar Pelangi, karya utamanya, adalah mini-biografi mengenai kisah kehidupan rakyat kecil, yang merajut mimpi dengan keyakinan dan ketekunan.
Seperti pernah dikatakan Andrea, ”Fiksi adalah cara yang terbaik untuk menceritakan fakta.” Sebagai biografi semifiksi yang diramu dengan unsur-unsur pengisahan dramatik, Andrea tetap berusaha berpijak pada kenyataan awal, mengenai jejak pendidikan dan persahabatannya.
Fiksi adalah cara yang terbaik untuk menceritakan fakta.
Laskar Pelangi adalah narasi biografis mengenai cita dan impian yang disinari cinta dan kepedulian kemanusiaan. Tatkala ia mampu menyentuh aspek terdalam dari nurani manusia, ia pun menyalakan harapan dan mewarnai jalannya sejarah. Inilah pesan universal yang menjadi kekuatan novel tersebut.
Ia seperti milik semua orang karena seperti mewakili suara banyak orang dan menggemakan pesan hakiki: makna kesetaraan pendidikan untuk semua. Bukankah ketimpangan pendidikan adalah problema Indonesia kontemporer?
Sebagai kisah kehidupan orang kecil, Laskar Pelangi berkisah tentang nasib siswa dan guru. Andrea mampu menghidupkan sosok guru, Muslimah, mengangkatnya dalam narasi sederhana terkadang lucu dan lugu sehingga orang menjadi peduli dengan ’orang kedua’ (selain orangtua) yang membuat anak-anak membangun mimpi dan membuka cakrawala tentang dunia.
Disadari atau tidak, setelah Laskar Pelangi yang fenomenal terbit dan difilmkan, kisah orang kecil mulai mendapatkan tempat di hati publik. Peran guru makin mendapatkan perhatian, meski belum sepenuhnya memuaskan. Tantangan ke depan, bagaimana membuat kisah orang kecil makin bermakna.
Petani, nelayan, buruh, pedagang kecil, sopir, guru, penjaga hutan, pegiat lingkungan, pemulung, anak jalanan, kaum disabilitas, dan orang-orang pinggiran, masih menanti untuk dikisahkan.
Biografi perjuangan orang kecil menjadi suara batin masyarakat dalam zaman ketika imajinasi massa sudah terbiasa dengan kemasyhuran nama-nama besar dan hal-hal yang instan.
* Idi Subandy Ibrahim, Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi (MIK) Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung; Pengajar Luar Biasa di MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya Malang; dan Pengajar Luar Biasa di Program Doktor Agama dan Media/Studi Agama-Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung.