Jokowi dan Jejak yang Dalam
Kehendak untuk membuka lapangan kerja, mendorong dunia usaha dan investasi, serta memangkas aturan yang berbelit memang melekat pada sosok kepemimpinan Jokowi sejak awal.
Kritik dan gerakan protes telah mengiringi lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja. Semua itu wajar saja karena kita memang berhadapan dengan sesuatu yang penting dan mendasar. Dalam soal reformasi ekonomi pada level kelembagaan, undang-undang baru ini adalah upaya ambisius dengan skala paling luas dalam tiga dekade terakhir.
Dari sudut tertentu, ia dapat disejajarkan dengan kebijakan deregulasi pada dekade 1980-an yang berlangsung bergelombang selama delapan tahun.
Kalau terobosan ini memang bisa dilaksanakan pada tahun-tahun mendatang, ia akan menempatkan Presiden Joko Widodo sebagai one of the most consequential leaders in Indonesian history, pemimpin terdepan yang mengubah realitas. Dampak semua itu akan terasa bahkan jauh setelah tokoh asal Solo ini turun dari panggung kekuasaan pada 2024 nanti.
Baca juga: Politik Hukum Omnibus Cipta Kerja
Faktor apa yang memungkinkan lahirnya undang-undang baru yang bersifat historis ini? Bagaimana kita menjelaskannya? Adakah makna lebih luas yang bisa kita simpulkan?
Dalam negara demokrasi, perubahan besar dalam aturan kelembagaan tidak mungkin terjadi tanpa dukungan kekuatan politik riil. Dalam hal ini, harus dikatakan bahwa elections have consequences. Pemilu bukan sekadar pesta atau peristiwa politik dengan dampak yang menguap di balik awan.
Dalam soal reformasi ekonomi pada level kelembagaan, undang-undang baru ini adalah upaya ambisius dengan skala paling luas dalam tiga dekade terakhir.
Partai koalisi pro-Jokowi meraup jumlah kursi yang jauh melampaui batas mayoritas sederhana. Dengan bergabungnya Prabowo Subianto dan Partai Gerindra, jumlah kekuatan ini bahkan sudah bisa disebut super majority. Hal ini membuka kemungkinan bagi inisiatif apa pun, sejauh koalisi ini solid.
Seandainya peta agak berimbang, antara koalisi pro-Jokowi dan kaum oposisi, situasinya pasti jauh berbeda. UU Cipta Kerja akan terbentur tembok dan ia mungkin akan dimentahkan sebelum sampai pada pembahasan di badan legislasi DPR. Jadi, singkatnya, terobosan ini sebenarnya adalah konsekuensi pilihan rakyat sendiri, yang tecermin dalam komposisi kursi di parlemen.
Baca juga: Tirani Mayoritas Politik dan RUU Cipta Kerja
Kesimpulan ini mungkin terlalu bersifat formalistik, tetapi itulah fakta kerasnya. Soeharto mendorong deregulasi lewat tangan besi dalam sistem otoritarian. Jokowi harus menggerakkan koalisi pendukungnya untuk melahirkan perubahan. Faktor penting ini kadang dilupakan atau mungkin tidak dipahami dengan baik.
Peran Jokowi
Faktor berikutnya yang berada di balik UU Cipta Kerja adalah faktor kepemimpinan. Dalam hal ini, kita harus melihat the man behind the gun, yaitu sosok, latar belakang, dan aspirasi terdalam Jokowi.
Memang, banyak tokoh dan politisi yang memainkan peran penting, dari ketua partai, menteri, hingga pimpinan parlemen. Akan tetapi, pada akhirnya mereka semua memainkan irama yang diorkestrasi oleh the driving force. Tanpa kehendak kuat dan persistensi dari Istana Merdeka, inisiatif dalam mendorong terobosan baru dalam skala sebesar ini tidak akan memiliki cukup energi.
Kenapa Jokowi berkeras melakukannya? Menurut saya, kehendak untuk membuka lapangan kerja, mendorong dunia usaha dan investasi, serta memangkas aturan yang berbelit memang melekat pada sosok kepemimpinan Jokowi sejak awal. Hal ini adalah cermin dari pengalaman pribadinya yang tumbuh dari keluarga sederhana dan kemudian sukses sebagai pengusaha mebel di Solo.
Elemen dasar ini kadang tertutupi oleh berbagai hal atau peristiwa yang datang dan pergi. Terkadang ia juga menjadi kabur akibat berbagai langkahnya sendiri yang ambigu dan agak membingungkan.
Tanpa kehendak kuat dan persistensi dari Istana Merdeka, inisiatif dalam mendorong terobosan baru dalam skala sebesar ini tidak akan memiliki cukup energi.
Barangkali karena itu, seorang penulis Australia, Ben Bland, berkata bahwa Jokowi adalah a man of contradictions, manusia penuh kontradiksi.
Namun, menurut saya, dalam momen-momen terbaik Jokowi, elemen dasar tersebut muncul dengan kuat, bahkan bersinar, dan menjadi sebuah motivasi tindakan yang oleh sosiolog Max Weber disebut the calling of political leaders.
Baca juga: Tujuan Tunggal Joko Widodo
Semua itu tampak dengan baik dalam puncak masa kampanye Pemilu Presiden 2019. Prabowo, waktu itu, adalah pembawa suara masa lalu, sebuah paham nasionalisme ekonomi tertutup tahun 1950-an yang diberi bungkus kekinian. Sementara sebaliknya, Jokowi terus menyuarakan optimisme, keterbukaan, perlunya investasi, serta pentingnya semangat wirausaha.
Dalam hal ini, pada Jokowi yang tampak bukanlah kontradiksi, tetapi justru konsistensi serta kesetiaan pada aspirasinya yang terdalam. Dia menjadi dirinya sendiri.
Dan, dengan semua itu, dia menjadikan panggung politik sebagai arena untuk merealisasikan apa yang sesungguhnya paling diinginkannya.
Itulah faktor yang menjelaskan mengapa Jokowi berkeras dan menjadi motor penentu lahirnya UU Cipta Kerja. Ia ingin meninggalkan jejak yang dalam dengan membuka kemungkinan baru yang transformatif, bukan hanya sekadar menjadi pemimpin yang datang dan pergi tanpa konsekuensi apa pun.
Demokrasi
Dengan semua itu, dalam situasi pandemik yang agak kelam ini, barangkali kita bisa sedikit terhibur dan berharap pada masa depan demokrasi Indonesia. Dengan segala kekurangannya, demokrasi kita ternyata tidak mengalami kebuntuan, tetapi dari waktu ke waktu tetap mampu melahirkan pembaruan yang bermanfaat bagi generasi mendatang.
Saya tidak mengatakan bahwa semua sudah sempurna. Beberapa langkah mundur, seperti pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau penggunaan aparat keamanan dan lembaga intelijen yang berlebihan, adalah lampu kuning yang harus membuat kita terus terjaga.
Baca juga: Perlu Politik Pencegahan Korupsi
Namun, langkah mundur dan kelemahan yang ada tidak boleh membuat kita skeptis serta menutup mata pada kebijakan progresif yang memang patut diapresiasi. Justru kita harus semakin mendorong Jokowi dan kaum pemimpin lainnya untuk lebih berani melakukan terobosan.
Dengan semua itu, dalam situasi pandemik yang agak kelam ini, barangkali kita bisa sedikit terhibur dan berharap pada masa depan demokrasi Indonesia.
Dalam halnya Jokowi, ia masih memiliki sisa waktu yang cukup panjang, empat tahun lagi. Kita tentu berharap, walaupun kaum pengritiknya tak makin sedikit, ia tetap menjaga semangat untuk terus mendorong kemajuan Indonesia.
It is not the critic who counts, demikian kata Teddy Roosevelt, Presiden AS di awal abad ke-20. Bukan kaum pengkritik yang penting. The credit belongs to the man who is actually in the arena. Kaum pemimpin yang berusaha berbuat baik walaupun sering dengan pendakian yang terjal: kepada merekalah penghargaan tertinggi akan kita berikan. Kepada Jokowi, mungkin itulah yang bisa kita katakan sekarang.
Rizal Mallarangeng, Pendiri Freedom Institute.