Pandangan saya bertolak belakang dengan Bland. Sejak awal kariernya sebagai politisi, Jokowi terdorong oleh satu keinginan: memberdayakan masyarakat kecil.
Oleh
R William Liddle
·4 menit baca
Dalam sebuah buku baru, wartawan kawakan Ben Bland menjuluki Presiden Joko Widodo (Jokowi) ”Man of Contradictions” (Penguin 2020). Tujuannya banyak dan bertentangan satu sama lain. Persisnya: ”Dia manfaatkan eksperimen demokrasi kedua untuk naik dari daerah ke jabatan tertinggi di negerinya. Namun, kinerjanya mengecewakan selaku pengawas prinsip dan perilaku demokratis. Apakah dia diubah oleh kekuasaan ataukah kepribadiannya yang sejati justru terungkap oleh kekuasaan?”
Pandangan saya bertolak belakang dengan Bland. Sejak awal kariernya sebagai politisi, Jokowi terdorong oleh satu keinginan: memberdayakan masyarakat kecil. Bland sebetulnya mengerti dorongan pokok ini. Keadaan ekonomi keluarga Jokowi di Solo tahun 1960-an ”mengizinkan” ia berempati kepada puluhan juta orang Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Kedua, ia diyakinkan perihal pentingnya jasa-jasa pokok negara dalam pemberdayaan itu.
Sejak awal kariernya sebagai politisi, Jokowi terdorong oleh satu keinginan: memberdayakan masyarakat kecil.
Pertumbuhan tinggi
Tatkala ia menjadi tokoh nasional, komitmennya menjadi lebih luas. Ia mengerti betapa pemberdayaan masyarakat bergantung pada laju pertumbuhan yang tinggi. Pelajaran itu sebetulnya dimaklumi oleh semua pendahulunya pada era reformasi, kecuali sang populis, Abdurrahman Wahid. Hasilnya, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di urutan ketiga dunia, setelah China dan India.
Jokowi juga melihat mutlak pentingnya pembangunan infrastruktur selaku prasyarat menaikkan laju pertumbuhan. Penanganan masalah itu sulit dihindari karena di bawah pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), perbaikan jalan, pelabuhan, dan lapangan terbang dilalaikan.
Sekali lagi, Bland sebetulnya mengerti koneksi ini. Membicarakan kebijakan infrastruktur Jokowi, ia menulis: ”Di atas semua, kebijakan itu bersifat jawaban kepada keperluan luar biasa demi infrastruktur lebih baik agar ekonomi Indonesia bisa masuk jalur cepat.”
Dengan kata lain, Bland mengakui kebijakan itu dipilih secara sadar oleh Jokowi sebagai inti strateginya untuk memakmurkan bangsa.
Sayangnya, Bland lupa betapa setiap politisi terpaksa bergumul dengan hard choices, pilihan sulit yang menghasilkan akibat positif dan negatif. Ia menyalahkan sejumlah pilihan Jokowi tanpa mempertimbangkan kendala dan sumber daya, ekonomi dan politik, yang dihadapi sang Presiden.
Di bidang ekonomi, Jokowi disalahkan karena tidak mampu menguasai pemerintahannya sendiri: ”Para menteri lebih banyak bersaing ketimbang bekerja sama.”
Namun, sang wartawan juga tahu, pengangkatan menteri dari partai-partai merupakan kenyataan politik (bahkan sejak 1950-an) yang sulit dihindari. Sangat masuk akal kalau Presiden Jokowi mencari jalan meluluskan kebijakannya.
Jokowi juga ia anggap gagal ”menciptakan keseimbangan antara keterbukaan ekonomi dan proteksionisme” demi ”program koheren” berdasarkan ”visi terang” guna menata kembali ekonomi Indonesia.
Keberatan saya di sini dua. Pertama, kelompok proteksionis sejak awal republik kuat sekali. Kelompok visi keterbukaan juga hadir waktu itu, tetapi baru berkembang pada Orde Baru. Saat itu para teknokrat mampu membuktikan, betapa laju pertumbuhan ekonomi nasional bisa disorong kebijakan keterbukaan.
Sangat masuk akal kalau Presiden Jokowi mencari jalan meluluskan kebijakannya.
Dengan kata lain, jangan berharap bahwa seorang presiden yang perlu kebijakan praktis akan mencoba memecahkan simpul Gordius ini. Yang ia perlukan, alat khas untuk mengajukan program tanpa perlawanan besar.
Seperti dijelaskan pakar ekonomi politik Jamie Davidson (Indonesia: Twenty Years of Democracy, Cambridge 2018), wajar saja jika Jokowi memilih perusahaan negara untuk membangun infrastruktur. Selain belajar dari sukses China, Jokowi juga memanfaatkan perusahaan negara dalam kampanye Pilpres 2019 dan menguatkan kembali jabatan presiden yang dilemahkan pascareformasi.
Keberatan kedua mengenai konsep ”program koheren” dan ”visi terang.” Menurut ekonom pembangunan tersohor, Albert Hirschman, program dan visi tersebut sering diusulkan para pengamat, termasuk rekan disiplinnya. Namun, hal itu jarang tercapai, kecuali di tingkat retorika.
Hindari serangan
Yang diperlukan pendekatan lain yang menghindar dari serangan langsung. Istilah Hirschman: ”possibilisme”.
Pengejawantahannya di Indonesia adalah Muhamad Chatib Basri dalam Reform in an Imperfect World: the Case of Indonesia (Asian Pacific Economic Literature, 2017). Dalam kasus Jokowi, penekanan pada perusahaan negara juga merupakan jalan pintas meski bukan tanpa akibat samping negatif, seperti pengurangan peran pasar dan penambahan korupsi.
Akhirul kata, banyak pemain dan pengamat mengutuk pilihan politik Jokowi yang konon menggerogoti sendi-sendi demokrasi. Bland mendaftar beberapa, dari kegagalannya menyelamatkan Basuki Tjahaja Purnama pada 2017 dan berakhir dengan usaha pemerintahannya kini menghapus pilkada langsung.
Contoh lain: pencalonan cawapres Ma’ruf Amin, penugasan tentara aktif dalam urusan sipil, pelemahan KPK, kelalaian menangani ancaman Covid-19, dan pengangkatan mantan pemimpin oposisi, Prabowo Subianto, sebagai Menteri Pertahanan.
Dari semua daftar ini, hanya pelemahan KPK selaku trade-off politik, penukaran untung-rugi, yang betul-betul memprihatinkan. Sebab, tindakan itu merupakan serangan berat terhadap satu-satunya lembaga hukum yang tepercaya selama ini.
Presiden SBY yang terkenal penakut saja melindungi KPK selama dua masa jabatan. Presiden Jokowi seharusnya ia bisa menemukan jalan. Setidaknya demi tercapainya cita-cita tunggalnya memberdayakan rakyat kecil.
R William Liddle, Profesor Emeritus Ilmu Politik, Ohio State University, Penerima Anugerah Kebudayaan 2018