Peran Loyalis Ming di Asia Tenggara
Buku ini membuat catatan sejarah bangsa-bangsa di Asia Tenggara menjadi lebih lengkap dan membumi, dan berhasil menunjukkan peran sebagian para loyalis Dinasti Ming sebagai agen perubahan.
Data Buku
Judul : Loyalis Dinasti Ming di Asia Tenggara: Menurut Berbagai Sumber Asia dan Eropa
Penulis : Claudine Salmon
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Agustus 2020
Penerjemah : Jafar Suryomenggolo
Tahun cetak : Cetakan pertama, 2020
Jumlah halaman : xi + 158 hlm.
ISBN : 978 602 481 428 1
Dinasti Ming (1368-1644) memiliki posisi yang unik dalam sejarah Tiongkok. Dari segi kebangsaan, Tiongkok identik dengan bangsa Han—suku mayoritas di Tiongkok—dan Dinasti Ming adalah dinasti terakhir bangsa Han dalam sejarah kedinastian Tiongkok.
Dinasti Ming merupakan dinasti yang berjaya di antara dua dinasti penguasa Tiongkok non-Han. Pada 1368 Zhu Yuanzhang mendirikan dinasti ini setelah meruntuhkan kekuasaan dinasti Yuan yang merupakan bangsa Mongol. Pada 1644 kekuasaan Ming diambil alih bangsa Manchu, yang kemudian mendirikan dinasti Qing.
Setelah berhasil mengonsolidasikan kekuatannya, Dinasti Ming menjalin hubungan yang cukup masif dengan bangsa-bangsa lain. Pelayaran Laksamana Zheng He yang demikian melegenda merupakan bagian dari kejayaan dinasti Ming. Karena itu, tidak mengherankan bila di saat keruntuhannya banyak loyalis Dinasti Ming rela keluar dari Tiongkok daripada diperintah oleh bangsa asing (Tartar).
Dinasti Ming merupakan dinasti yang berjaya di antara dua dinasti penguasa Tiongkok non-Han.
Para loyalis itu mencoba bertahan sebagai warga Dinasti Ming atau bangsa Han, setidaknya secara budaya. Sejarah inilah, antara lain, yang dapat kita temukan dalam buku yang ditulis oleh Claudine Salmon, yang terbit pertama kali tahun 2014 dengan judul Ming Loyalist in Southeast Asia: As Percieved through Various Asian and European Records. Edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (2020) dengan judul Loyalis Dinasti Ming di Asia Tenggara: Menurut Berbagai Sumber Asia dan Eropa (2020).
Claudine Salmon adalah seorang penulis dan peneliti yang telah puluhan tahun menekuni kajian diaspora Tiongkok, khususnya kelompok etnis Tionghoa di Indonesia. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dan sejumlah penghargaan telah diterimanya atas dedikasi dan karya-karyanya tersebut.
Kaya data
Buku ini sepintas terlihat sederhana, karena hanya terdiri atas 5 halaman pendahuluan, 3 bab pembahasan, dan 3,5 halaman kesimpulan. Namun begitu membacanya, kita akan enggan melepaskannya sebelum tuntas. Terutama bagi mereka yang berminat terhadap Sinologi dan sejarah diaspora bangsa Tiongkok.
Buku ini sangat enak dibaca. Data-datanya diambil dari sumber primer lewat studi pustaka maupun studi lapangan. Referensinya amat kaya dan akurat, lampirannya amat berharga, dan indeksnya lengkap. Tiga unsur terakhir membuat pembaca ingat lagi bahwa buku ini adalah karya ilmiah, hasil penelitian yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Ketika membaca judul bab 1 dan bab 2, mungkin sesaat kita akan terhenyak, karena Salmon menggunakan kata ‘pelarian Ming’. Makna kata pelarian cenderung kontradiktif dengan kata ‘loyalis’ yang digunakan dalam judul buku.
Untunglah di bagian pendahuluan, penulis mencantumkan definisi ‘loyalis dinasti Ming’. Salmon mengacu pada rumusan Lynn A. Struve (1979), yakni “dapat mencakup siapa saja yang mengubah pola dan tujuan hidupnya guna menunjukkan identifikasi diri yang tak berubah atas dinasti yang sudah runtuh. Istilah ini tidak melulu terbatas pada mereka yang bekerja untuk kebangkitan kembali Dinasti Ming ataupun mereka yang sungguh-sungguh bermaksud menentang Dinasti Qing.”
Untunglah di bagian pendahuluan, penulis mencantumkan definisi ‘loyalis dinasti Ming’.
Sebagaimana terungkap dalam berbagai buku sejarah Tiongkok, ketika kaisar terakhir Dinasti Ming, Chong Zhen, mangkat dan pasukan Manchu menguasai Beijing, perlawanan pengikut setia dinasti ini terus berlangsung. Terutama di wilayah selatan seperti Nanjing, Fujian, dan Zhejiang. Perlawanan paling lama dipimpin oleh Zhang Chenggong, yang dikenal juga sebagai Koxinga. Dia bertahan di Taiwan hingga akhirnya ditaklukkan sepenuhnya oleh Qing pada 1683.
Dalam masa perlawanan tersebut keadaan menjadi kacau, arus pengungsi yang keluar Tiongkok terus mengalir sehingga pada 1647 pemerintah Qing mengeluarkan undang-undang tentang larangan keluar wilayah Tiongkok. Siapa yang melanggar diancam hukuman penggal leher.
Buku ini mengawali pembahasan dengan mengurai secara kronologis arus imigran Tiongkok dalam rentang waktu 1644-1680-an ke wilayah Lautan Selatan atau Asia Tenggara. Salmon membaginya dalam empat kurun waktu 10 tahunan, yaitu 1644-1650-an; 1660-an; 1670-an dan 1680-an.
Datang bergelombang
Migran masing-masing gelombang memiliki karakteristik sendiri sesuai perkembangan sosial, politik, ekonomi Tiongkok. Latar belakang pekerjaan mereka pun sangat beragam, mulai dari pejabat sipil maupun militer, cendekiawan, biksu, pedagang, pengrajin, hingga perompak. Berbeda dengan migran yang datang untuk berdagang atau yang didatangkan untuk menjadi buruh atau kuli secara individual, para loyalis Dinasti Ming umumnya berlayar bersama istri dan anak-anaknya.
Bahasan di bab 2 semakin menarik, karena menyajikan bagaimana para ‘pelarian Ming’ beradaptasi dan bertahan di tempat baru. Mereka beradaptasi dengan kemampuan yang dimiliki dan tuntutan sistem sosial, politik, dan budaya negeri-negeri yang menerima mereka. Analisis dalam bab ini berbasis pada sumber yang beragam.
Dalam konteks bahasa, terlihat jelas kerja keras Salmon untuk menghasilkan buku ini. Misalnya, dalam menjelaskan nama tempat yang penyebutannya berbeda oleh bangsa yang berbeda, seperti nama Banteay Meas atau Ha Tien. Nama tempat ini disebut berbeda dalam bahasa Sino-Viet, Siam, Khmer, dan Tionghoa (hlm. 53).
Dalam konteks bahasa, terlihat jelas kerja keras Salmon untuk menghasilkan buku ini.
Kandungan pengetahuan dalam bab 2 sangat kaya. Terbagi dalam delapan sub-bab berdasarkan wilayah tempat para loyalis Ming bermukim, yaitu empat wilayah penyangga Tiongkok—sekarang Vietnam, Kamboja, Laos, Siam—dan empat wilayah Nusantara, yakni Melaka, Aceh, Banten, dan Batavia.
Pembahasan dilakukan sangat komprehensif, bukan hanya mengungkap upaya adaptasi mereka beserta tantangan dan peluangnya. Juga interaksi yang bersifat simbiosis mutualisme antara antara loyalis Ming sebagai pendatang dan penguasa maupun penduduk lokal.
Terungkap, misalnya, sistem syahbandar ternyata sedikit-banyak memberi keuntungan kepada para pengungsi. Variasi adaptasi mereka di masing-masing wilayah membuat bahasan menjadi lengkap. Pola pembahasan seperti ini membuat unsur-unsur humanis menjadi sangat menonjol. Ini seperti tercermin dalam ungkapan “Meskipun banyak pengungsi dan loyalis Dinasti Ming tetap setia pada Dinasti Ming yang sudah jatuh, tampak jelas tidak ada hal praktis yang dapat mereka lakukan untuk itu.” (hlm. 91).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa para loyalis seringkali terbentur pada pilihan antara idealisme dan realitas. Juga bagaimana dinamika loyalis Dinasti Ming menghadapi pilihan tersebut. Inilah bagian dari sajian menarik dan berharga buku ini.
Kajian bab 2 juga mengantarkan pembaca untuk memahami mengapa sejumlah pengungsi tersebut kemudian menjadi tokoh yang dihormati di negeri penerima. Bahkan ketokohannya diakui hingga secara anumerta.
Dalam bab 3 dipaparkan dengan rinci berlandaskan temuan dalam sejumlah bangunan, naskah resmi yang ditulis oleh loyalis Dinasti Ming, prasasti, dan ingatan kolektif masyarakat, yang oleh penulis disebut sebagai ‘sejarah liar’. Di antaranya terungkap tokoh Chen Shangchuan, Mo Jiu, Mo Tianci, serta tokoh-tokoh lainnya dihormati di Vietnam dan wilayah penyangga Tiongkok. Atau tokoh Li Wenjing yang begitu membekas di Melaka—yang di dunia Melayu dikenal sebagai Pahlawan Li Kap—hingga ke pemikiran tentang Ponthiamas yang memengaruhi sejumlah pemikir Eropa pada abad ke-18.
Buku ini membuat catatan sejarah bangsa-bangsa di Asia Tenggara menjadi lebih lengkap dan membumi. Sebagai kajian budaya, karya Salmon ini berhasil mengangkat fakta dari “kebudayaan jelata”—meminjam istilah Prof. Gondomono, Sinolog, Guru Besar di UI—untuk kemudian disandingkan atau diverifikasi dengan catatan-catatan dari “kebudayaan agung”.
Buku ini membuat catatan sejarah bangsa-bangsa di Asia Tenggara menjadi lebih lengkap dan membumi.
Sebagai kajian sejarah, Loyalis Dinasti Ming di Asia Tenggara dapat disebut sebagai praktik dari metode strukturis, karena berhasil menunjukkan peran sebagian para loyalis Dinasti Ming sebagai agen perubahan. Terutama dalam interaksinya dengan berbagai struktur yang melingkupinya.
Buku ini sangat layak dibaca bukan hanya oleh diaspora Tiongkok yang ingin lebih tahu asal-usul dan peran para leluhurnya di negeri yang ditempatinya sekarang. Juga masyarakat umum yang ingin memahami kehadiran diaspora Tionghoa di lingkungan mereka.
(Tuty Enoch Muas Penulis adalah dosen Sejarah Tiongkok di Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Budaya UI)