Kelompok-kelompok antivaksin masih terus bertumbuh, meski kecenderungan ini tak hanya terjadi di Indonesia. Kehadiran media sosial membuat mereka makin berkesempatan untuk memengaruhi publik.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Vaksin adalah salah satu kemenangan terbesar ilmu kedokteran modern. Namun, keberhasilan vaksinasi masih bergantung pada banyak faktor.
Kuncinya adalah penerimaan. Mark Nichter dan Mimi Nichter dalam buku klasik Anthropology and International Health: Asian Case Studies (1989) menyebutkan, penerimaan terhadap program vaksinasi dipengaruhi tiga faktor: ketersediaan, akses dan kualitas layanan kesehatan, serta kondisi sosial budaya masyarakat. Pendapat ini perlu digarisbawahi, di tengah euforia pengadaan vaksin Covid-19.
Kemarin (Kamis, 15/10/2020), Kompas memberitakan hasil perjalanan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dan Menteri BUMN Erick Thohir ke Inggris. Mereka menandatangani kerja sama dengan perusahaan farmasi AstraZeneca, untuk menjamin pasokan 100 juta vaksin. Sebelumnya, Pemerintah Indonesia sudah mengamankan 390 juta vaksin dari Sinovac dan Sinopharm, keduanya dari China, serta menjajaki kerja sama vaksin dengan Korea Selatan.
Dengan angka sebesar itu, dari sisi ketersediaan vaksin, Indonesia aman. Apalagi kita juga mengembangkan vaksin nasional di beberapa lembaga riset dan perguruan tinggi dalam negeri. Indonesia, dengan jumlah penduduk 268,6 juta jiwa (Kementerian Dalam Negeri, 2020), memang harus mandiri dalam pengadaan vaksin agar tidak bergantung pada pasar internasional dan para pemburu rente.
Di sisi lain, pengembangan vaksin nasional yang dipopulerkan sebagai vaksin Merah Putih ini akan menggairahkan kehidupan riset di Tanah Air. Dengan demikian, mimpi membangun Indonesia dengan berbasis riset dan teknologi—seperti digagas BJ Habibie dari sejak menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi—bisa diwujudkan.
Namun, masih ada pelbagai faktor yang harus serius ditangani agar upaya pengadaan vaksin ini tepat sasaran. Kenyataannya, kelompok-kelompok antivaksin terus bertumbuh, meski kecenderungan ini bukan hanya muncul di Indonesia. Kehadiran media sosial membuat mereka makin berkesempatan memengaruhi publik.
Pada umumnya, alasan penolakan terhadap vaksin berbasis konservatisme, agama, serta pemahaman yang keliru. Dari anggapan vaksin berasal dari Barat, diragukan kehalalannya, bisa mengganggu sistem saraf, hingga sanitasi—bukan vaksinasi—yang dipercaya meningkatkan kekebalan.
Tidaklah mengherankan apabila cakupan vaksinasi atau imunisasi di Indonesia rendah. Data Kementerian Kesehatan pada 2018 menunjukkan, baru 87,8 persen anak mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Salah satu dampaknya, hingga November 2017, ada 95 kabupaten atau kota di 20 provinsi melaporkan kasus difteri. Dari 622 kasus yang dilaporkan, 32 meninggal. Padahal, difteri bisa dicegah dengan imunisasi.
Oleh karena itu, sambil menunggu vaksin anti-Covid-19 tiba, pemerintah perlu bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Tanpa itu semua, ketersediaan vaksin sebanyak apa pun bisa sia-sia.