Sebenarnya tidak ada yang luar biasa dari kejadian itu. Yang disampaikan diplomat perempuan muda itu ialah bagian rutin Sidang Majelis Umum PBB dalam sesi Right of Reply (Hak Menjawab). Biasanya sore hari.
Oleh
Dian Wirengjurit
·3 menit baca
KEMENTRIAN LUAR NEGERI
Presiden Joko Widodo berbicara dalam pesan rekaman yang diputar pada sesi debat umum Sidang Majelis Umum Ke-75 Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, Selasa (22/9/2020). Pandemi Covid-19 membuat pertemuan digelar secara daring dan fisik dengan peserta terbatas. Pemimpin dunia menyampaikan pidato yang telah direkam sebelumnya dari negara masing-masing.
Beberapa tahun terakhir, termasuk 2020, setiap Sidang Majelis Umum PBB yang berlangsung mulai minggu ketiga September, di pelbagai media, termasuk media sosial, muncul kiprah diplomat perempuan muda RI.
Judulnya pun sensasional dan bombastis. Misalnya, ”Diplomat Cewek, Muda, Cantik Indonesia Menghajar Kepala-kepala Negara dari Pasifik Selatan”. Bahkan ada yang menambah kata ”Seksi”.
Dalam video, seakan sang diplomat muda menghardik kepala-kepala negara tersebut dengan bahasa Inggris yang eloquent. Viral itu menimbulkan pro dan kontra. Banyak yang memuji, tetapi ada pula yang mencela.
Sebenarnya tidak ada yang luar biasa dari kejadian itu. Yang disampaikan diplomat perempuan muda itu ialah bagian rutin Sidang Majelis Umum (SMU) PBB dalam sesi Right of Reply (RoR/Hak Menjawab). Biasanya sore hari.
Ia hanya membaca pernyataan yang sudah disiapkan, sebagai jawaban terhadap pidato kepala negara tertentu yang dinilai ”menyerang” dalam sesi General Debate, sesi sambutan para kepala negara/pemerintahan.
Dalam sesi RoR, para kepala negara sudah tidak ada di ruang sidang. Sesuai dengan protokol PBB, kepala negara biasanya datang 5-10 menit sebelum giliran berbicara dan setelah menyampaikan sambutan langsung pergi. Rasanya tidak pernah ada kepala negara yang ”nongkrong” di ruang sidang dari pagi sampai sore mendengarkan sambutan.
Dalam sesi RoR, semua negara lazim menugaskan diplomat muda/yunior di bangku delegasi; sementara ruang sidang sudah kosong, apalagi di masa pandemi.
Isunya juga sama setiap tahun. Bagi Indonesia, di masa lalu adalah Timor Timur dan kini Papua. Sementara antara India dan Pakistan mengenai Kashmir, Armenia dan Azerbaijan mengenai Nagorno-Karabakh, dan seterusnya. Diplomat muda mereka juga saling ”serang”.
Masalahnya, dulu belum ada media sosial dan diplomat perempuan belum banyak. Jadi memang semuanya normal-normal saja. Media sosial membuat kerutinan SMU-PBB kelihatan heboh atau dibuat heboh. Sayang sekali kalau media sosial dimanfaatkan untuk memelintir fakta menjadi menyesatkan dan tidak ada gunanya.
Dian Wirengjurit
Diplomat Utama, pernah bertugas di PTRI New York 1990-1994; PTRI Geneva 1997-2001 dan 2003-2007
Koreksi
Berikut saya menyampaikan dua koreksi. Pertama, dalam Tajuk Rencana ”Belajar dari Pemilu Sabah” (Kompas, 3/10/2020). Ada kalimat ”...peningkatan kasus positif Covid-19 itu sudah dilaporkan seminggu sebelum pemilu lokal digelar, setelah banyak petinggi negara dan partai dari Malaysia daratan berkunjung ke Sabah di Kalimantan”.
Setahu saya, istilah ”Malaysia daratan” itu tidak dikenal karena Malaysia bukan negara kepulauan. Mungkin yang dimaksud Semenanjung Malaysia atau Malaysia Barat.
Kedua, dalam artikel ”Kampung Tua: Masa Silam ’Negeri Singa’ di Lorong Buangkok” (Kompas, 6/10/2020) terdapat kalimat, ”...banyak obyek wisata di negara yang luasnya hanya 724 kilometer kubik itu”. Setahu saya, kubik itu satuan volume. Adapun untuk luas wilayah ialah persegi.
Budiawan
Celeban Baru, Yogyakarta
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas koreksi yang disampaikan.
Ancaman Korona
Ancaman lonjakan kasus korona pasca-demo sangat mengkhawatirkan. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyampaikan, Indonesia terancam lonjakan kasus virus korona pekan depan.
Situasi ini dinilai IDI akan membuat tenaga kesehatan semakin kewalahan menangani pasien Covid-19. Pernyataan Ketua IDI tersebut merupakan peringatan bagi kita semua untuk berhati-hati.