Perihal pendirian satuan pendidikan, sejatinya sudah diatur dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, termasuk mengatur soal sanksi. UU Cipta Kerja sama sekali tak memuat pasal yang berisi perubahan.
Oleh
CAHYONO AGUS
·4 menit baca
Sidang paripurna DPR telah menyetujui untuk mengesahkan Undang- Undang Cipta Kerja. Rancangan undang-undang sebelumnya akan melibatkan UU tentang Sisdiknas, Guru dan Dosen, Dikti, Pendidikan Kedokteran, Kebidanan, dan Perfilman.
Insan pendidikan dari unsur Tamansiswa, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan lain-lain keberatan kluster pendidikan menjadi bagian dalam investasi usaha. Alasannya, hal itu akan menghapus pasal-pasal yang melindungi kedaulatan negara.
Kluster pendidikan
Dalam rapat Panitia Kerja Badan Legislatif DPR sebelumnya, DPR dan pemerintah sepakat mengeluarkan sektor pendidikan dari RUU Cipta Kerja. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga telah mengeluarkan siaran pers resmi tentang hal tersebut.
Namun, ternyata janji itu tidak tulus dan tidak dapat ditepati. Masih terdapat satu pasal tentang ”perizinan berusaha” dalam investasi yang bersifat komoditas perdagangan yang berorientasi keuntungan berikut sanksinya. Padahal, hal itu justru menjadi lubang jebakan utama menuju komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi.
Padahal, hal itu justru menjadi lubang jebakan utama menuju komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi.
Hal ini jelas bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan salah satu tujuan negara adalah untuk mencerdaskan bangsa. Di samping itu, juga bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, yang menjelaskan tentang hak pendidikan warga negara, kewajiban pendidikan dasar, kewajiban negara dalam membiayai pendidikan, serta mencerdaskan bangsa.
Perihal pendirian satuan pendidikan, sejatinya sudah diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), termasuk mengatur soal sanksi. UU Cipta Kerja sama sekali tak memuat pasal yang berisi perubahan, tetapi justru menegaskan sebagai bagian dari investasi usaha sebagaimana marwah undang-undang ini.
UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang mempertegas adanya otonomi dan nirlaba saja digugat dan dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Alasan penolakannya adalah tidak boleh terjadi penyeragaman bentuk lembaga pendidikan, pemerintah tidak boleh lepas tanggung jawab keuangan untuk penyelenggaraan pendidikan, serta tidak terjadi komersialisasi dan liberalisasi pendidikan.
Hal ini menjadi dasar pertimbangan dalam penyusunan UU No 12/2012 tentang Perguruan Tinggi (Dikti), yang menyebutkan bahwa otonomi pengelolaan perguruan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip nirlaba, akuntabel, transparan, penjaminan mutu, efektif, dan efisien.
UU Dikti yang menegaskan bahwa otonomi kampus yang bersifat nirlaba saja telah membuat beberapa perguruan tinggi negeri-badan hukum (PTN-BH) wajib menjadi subyek pajak badan. Konsekuensinya, perhitungan laba usaha menjadi dasar perhitungan Pajak Penghasilan dan bersifat progresif sampai 28 persen. Hak istimewa sebagai badan sosial nirlaba juga tidak dapat menikmati Pajak Bumi Bangunan, tarif sosial listrik, air, dan sebagainya.
Hak istimewa sebagai badan sosial nirlaba juga tidak dapat menikmati Pajak Bumi Bangunan, tarif sosial listrik, air, dan sebagainya.
Karena masih banyak multi-interpretasi, yang terjadi di lapangan, yang pasti adalah justru ketidakpastian tersebut. Yang justru bertentangan dengan nilai luhur dan asas utama dalam pendidikan dan kebudayaan untuk pengembangan modal sumber daya manusia. Menegaskan kembali perizinan berusaha dalam UU Cipta Kerja yang mengatur iklim investasi usaha akan cenderung memastikan pada yang tidak diharapkan, yaitu sebagai badan usaha dengan komoditas perdagangan untuk mencari laba.
Dengan demikian, pendidikan akan menjadi badan usaha komersial yang akan semakin mahal dan menjauh dari marwah utama pendidikan itu sendiri. Warga negara jadi kesulitan mendapatkan hak pendidikan yang semakin mahal dan berorientasi pada komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi.
Indonesia justru akan menjadi pasar, sementara modal asing akan mendapat keuntungan dan keluar Indonesia. Lembaga pendidikan sosial nirlaba akan banyak yang tidak mampu memenuhi persyaratan dan kalah berkompetisi sehingga banyak yang gulung tikar.
Indeks kualitas pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah menurut beberapa lembaga survei internasional. Kemampuan literasi dan numerasi sangat rendah karena hanya diajari cara menghapal dan menghitung. Padahal, pendidikan untuk menjadi manusia yang utama harus mampu mencerdaskan otak, menghaluskan budi pekerti, dan keterampilan tangan.
Restorasi sistem pendidikan nasional semesta seharusnya berakar kuat pada budaya luhur bangsa sendiri, tetapi tetap berwawasan global. Yang berani mengembangkan konsep ”Out of the Box, within the System” guna mempersiapkan peradaban baru Indonesia Emas 2045. Nilai lokal dihargai internasional, bukan justru menjadi pasar semata.
Restorasi sistem pendidikan nasional semesta seharusnya berakar kuat pada budaya luhur bangsa sendiri, tetapi tetap berwawasan global.
Padahal, hampir satu abad lalu, Ki Hadjar Dewantara telah mengembangkan pendidikan kebangsaan berbasis budaya lokal sendiri saat mendirikan Tamansiswa tahun 1922. Dengan proses akulturasi seni permainan (Frobel), pancaindra dan kemerdekaan (Montessori), wirama (Stiener), seni musik dan tari (Dalcroze), serta seni dan alam lingkungan (Tagore).
Dengan UU Cipta Kerja tetap disahkan, sebagai langkah terakhir, insan pendidikan Indonesia berencana mengajukan gugatan materiil (judicial review) ke MK. Sebelumnya, insan Tamansiswa telah berhasil memenangi gugatan terkait UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) sehingga dibatalkan MK ataupun terkait pasal-pasal dalam UU Sisdiknas.
Cahyono Agus, Ketua Umum Pimpinan Pusat Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa; Guru Besar UGM; Anggota Dewan Pendidikan DIY.