Orang membaca tidak hanya buku, tetapi juga tanda-tanda alam. Mengenali pandemik sekarang, siklus ini jangan-jangan masih merupakan awal dari bakal berakhirnya tatanan lama pada segala bidang.
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
Apakah kalian membaca undang-undang? Undang-undang adalah teks yang dianggap penting yang, menurut saya, paling sedikit dibaca orang. Jangankan undang-undang setebal 1.000 halaman, UUD 1945 yang hanya terdiri dari 37 pasal 65 ayat, saya kira tidak dibaca banyak orang meski banyak orang merasa mengetahui isinya. Ketimbang undang-undang, banyak bacaan lain lebih menarik, taruhlah cerita roman, novel, kiat bisnis, jalan mendapatkan uang dalam sekejap, petunjuk hidup bahagia, dan lain-lain.
Di dunia banyak bacaan menarik. Saking banyaknya, kita tidak sempat membaca semuanya meski sejumlah bacaan, tanpa kita pernah membacanya, rasanya kita sudah tahu, dan dengan percaya diri memperbincangkannya. Saya kira tak perlu orang tuntas membaca Injil dari kitab Kejadian atau Genesis sampai datangnya kiamat untuk bicara mengenai Juru Selamat.
Di dunia banyak bacaan menarik.
Di ruang kerja saya banyak buku. Ada saja kenalan atau teman bertanya, apakah saya membaca semuanya. Kalau suasana hati pas baik, saya jawab: saya belum membacanya itu sebabnya saya menyimpannya. Kalau suasana hati pas kurang baik, saya jawab: saya penulis, saya menulis, tidak membaca. Ada karya Andre Gide, Tagore, Isabel Allende, Rabelais, Swami Prabhupada, dan masih banyak lagi yang seingat saya membukanya pun saya belum pernah. Mudah-mudahan nanti, sebelum saya tidur.
Semua yang saya sebut cerita fiksi, termasuk karya Prabhupada, yang meski belum pernah membacanya, saya merasa telah tahu isinya, tahu kebijakan hidup di dalamnya. Buku itu adalah Bhagavad Gita.
Teks sastra, termasuk surat-surat kuno dari Illiad sampai Mahabharata, adalah produk kerja otak, terungkap dalam pikiran. Proses pengungkapan pikiran tersebut memerlukan kerja keras, melibatkan daya kreasi, imajinasi, prophecy, selain tentu saja logika dan rasionalitas.
Dengan membaca teks sastra atau apa pun pilihan bacaan kalian yang lahir dari proses pikiran yang melibatkan kreativitas, niscaya akan mengasah nalar sehat. Kalau beruntung, kita menemukan inspirasi. Orang yang kurang membaca punya kecenderungan nalarnya nyungsep.
Menjaga nalar sehat dan ”wisdom”
Teks sastra beda dengan undang-undang. Undang-undang, sebagai sesuatu yang diandaikan sebagai tonggak kebenaran, dibikin terutama berdasar pertimbangan etis, moral, integritas, cita-cita, dan aspek-aspek yang letaknya pada kawasan nilai. Nilai bersemayamnya di hati, dalam bahasa tubuh atau body language kalau bicara nilai orang akan menunjuk ulu hati. Jika relasi antara otak dan pikiran melahirkan nalar sehat alias common sense, relasi antara otak dan hati melahirkan wisdom.
Undang-undang adalah kriteria teknis dari soal-soal yang berhubungan dengan masalah etik, moral, dan integritas tadi. Yang wajib membacanya adalah mereka yang memiliki kepentingan teknis melaksanakan undang-undang, tak terkecuali yang punya usul untuk membuatnya, pihak yang merumuskannya, mengesahkannya, melaksanakannya. Celaka dua belas kalau yang mengusulkan pembuatannya, merumuskannya, mengesahkannya, bahkan tidak membacanya.
Celaka dua belas kalau yang mengusulkan pembuatannya, merumuskannya, mengesahkannya, bahkan tidak membacanya.
Kami, rakyat, untuk memiliki integritas, wisdom, tidak harus setiap hari membaca undang-undang. Bagi saya malah aneh kalau ada manusia yang tidak memiliki urusan teknis terhadap pelaksanaan undang-undang, seperti mereka yang berprofesi sebagai penegak hukum, memiliki hobi membaca undang-undang.
Nalar sehat dan wisdom bisa didapat dari mana saja: pendidikan di rumah, sekolah, pesantren, barak militer, kantor, pergaulan, tontonan, dan tentu saja bacaan. Dari semua itulah akal budi manusia terbentuk. Tahu mana benar mana salah, mana pantas mana tidak pantas, mana palsu mana akal-akalan, mana jujur mana bohong, dan seterusnya. Memori manusia tidak terbentuk semata-mata oleh informasi, apalagi sesempit apa yang dirumuskan sebagai fakta, melainkan melalui ”meta-informasi”.
Yang terakhir itu termasuk bisikan langit. Orang membaca tidak hanya buku, tetapi juga tanda-tanda alam. Mengenali pandemik sekarang, siklus ini jangan-jangan masih merupakan awal dari bakal berakhirnya tatanan lama pada segala bidang. Melihat kekuasaan sekarang yang tampak bingung, seperti dalam pewayangan, orang bertanya wahyu atau ndaru sebenarnya masih ada pada diri penguasa atau telah meninggalkannya.