Dari lima urgensi pilkada, tampaklah keputusan didominasi kepentingan kekuasaan dan ekonomi. Padahal banyak pihak, termasuk epidemiolog dan sejumlah ormas, berkeberatan bila pilkada tetap dilangsungkan.
Oleh
Dwi Indah Lestari
·2 menit baca
Kementerian Dalam Negeri menyatakan lima urgensi mengapa pilkada harus tetap diselenggarakan. Pertama, pilkada merupakan kesepakatan pemerintah, DPR, dan penyelenggara. Kedua, wujud kedewasaan berdemokrasi. Ketiga, mengurangi praktik pejabat sementara. Keempat, mencari kepala daerah pilihan rakyat, dan kelima, memacu perekonomian di saat krisis.
Dari kelima urgensi tersebut, tampaklah keputusan didominasi kepentingan kekuasaan dan ekonomi. Padahal banyak pihak, termasuk epidemiolog dan sejumlah ormas, berkeberatan bila pilkada tetap dilangsungkan.
Alasan keberatan ialah nyawa rakyat lebih penting. Kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah melewati angka 320.000 orang. Meskipun tingkat kesembuhan meningkat, jumlah kematian akibat virus ini masih tinggi.
Sementara pilkada sangat erat kaitannya dengan kampanye, dan kampanye berarti berkumpulnya massa. Selama masa kampanye, sangat mungkin terjadi arak-arakan dan berbagai acara yang melibatkan massa, yang rawan pelanggaran protokol kesehatan. Bukankah pemerintah sedang berupaya meminimalkan kerumunan? Bahkan tempat-tempat makan dilarang melayani makan di tempat.
Semua upaya tersebut merupakan dalam rangka memutus rantai penyebaran virus korona jenis baru demi kesehatan dan keselamatan rakyat. Mengapa masih memaksakan pilkada?
Semestinya seluruh energi, baik rakyat maupun pemerintah, dikerahkan untuk menuntaskan wabah. Para ahli pasti siap memberi kontribusi terbaik jika langkah pemerintah serius, bukan kebijakan yang saling bertentangan.
Kondisi ekonomi bangsa yang terpuruk akan kembali pulih apabila pandemi dapat diatasi. Pilkada bisa dilakukan dengan aman dan tenang pasca-pandemi.