Tidak berlebihan jika kita membutuhkan sebuah konsensus kenegaraan, sebuah kesepakatan antarlembaga negara untuk mengembalikan kedudukan dan semangat UUPA dan kesediaan untuk menjalankannya segera.
Oleh
IWAN NURDIN
·4 menit baca
September 2020 ini Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 atau UUPA genap berusia 60 tahun. Ini salah satu UU tertua yang masih berlaku. Sepanjang pengundangannya, beberapa interupsi kekuasaan telah membuat UU ini salah implementasi sehingga cita-citanya belum tercapai.
Interupsi pertama terjadi dengan berkuasanya Orde Baru yang mencurigai UUPA berhaluan komunis. Tak heran, salah satu program utama UUPA, yakni reforma agraria atau ”land reform plus”, meliputi redistribusi lahan kepada petani penggarap, dihentikan. Baru pada 1979, Menteri Riset Prof Soemitro Djoyohadikusumo bersama Prof Sediono Tjondronegoro dkk melakukan kajian utuh terhadap UUPA yang menyimpulkan bahwa peraturan ini beserta agenda utamanya sangat penting diberlakukan dan jauh dari stigma yang telah disangkakan.
Namun, pemerintah menjalankan UUPA secara menyimpang. Selain menghentikan reforma agraria, terdapat penyelewengan lain, seperti pelaksanaan program pendaftaran tanah, dominasi model pemberian hak guna usaha ke perusahaan, dan tiada usaha melakukan pengakuan wilayah masyarakat adat. Praktik liberalisasi dan sektoralisasi agraria tanpa payung UUPA mulai diberlakukan.
Interupsi pertama terjadi dengan berkuasanya Orde Baru yang mencurigai UUPA berhaluan komunis.
Interupsi kedua terjadi di era Reformasi. Pada awal reformasi telah diamanatkan untuk kembali ke pelaksanaan UUPA melalui TAP MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Namun, reformasi juga menghasilkan dilema hukum bagi UUPA karena hierarki perundang-undangan yang baru telah menghilangkan posisi UU pokok. Posisi UUPA yang seharusnya menjadi rujukan bagi UU yang lebih khusus dan sektoral terlikuidasi. Sektoralisasi agraria tanpa payung UUPA semakin tak terkontrol di era Reformasi. Bahkan, berujung pada semangat mengganti UUPA 1960.
Kedua interupsi ini sebenarnya adalah penanda telah terjadi perubahan haluan para penyelenggara negara dalam memandang sumber-sumber agraria. Perubahan dari sebelumnya bersifat penguasaan negara dan kemudian perangkatnya mendorong kesempatan rakyat mengelola kekayaan melalui koperasi, berubah menjadi pengelolaan berbasis swasta partikelir.
Masihkah relevan?
Apakah UUPA masih relevan? Relevansi UUPA sebenarnya merujuk pada kenyataan bahwa saat ini telah terjadi monopoli oleh swasta dalam hal penguasaan dan pengusahaan tanah, serangkaian pengabaian hak masyarakat dan kecenderungan liberalisasi agraria yang meluas. Bahkan, kondisinya lebih buruk dari enam dekade lalu. Kelembagaan agraria juga masih tumpang tindih dengan administrasi agraria yang jauh dari baik.
Meski masih relevan, kedudukan UUPA dan kelembagaan pelaksana saat ini akan menyulitkan dalam mencapai cita-cita peraturan ini. Karena itu, dalam situasi sekarang penting bagi Presiden untuk memimpin langsung program UUPA, yaitu pelaksanaan reforma agraria.
Hal itu karena reforma agraria adalah program yang secara utuh mendesain dan mendorong lahirnya pemilikan dan pengusahaan sumber-sumber agraria yang dimiliki oleh rumah tangga petani, badan usaha milik petani, desa, dan masyarakat adat yang berbentuk koperasi. Selain itu, reforma agraria adalah desain ulang tata hubungan desa-kota, pertanian-industri menuju hubungan yang saling menguatkan. Besarnya skala pekerjaan ini membutuhkan tangan langsung Presiden.
Besarnya skala pekerjaan ini membutuhkan tangan langsung Presiden.
Pekerjaan lainnya adalah mendesain kelembagaan agraria. Tumpang tindih administrasi pertanahan serta kewenangan antara KLHK, Kementerian ATR/BPN, Kemendesa PDTT dan Kemendagri, seharusnya segera diakhiri. Selain seluruh wilayah harus berada dalam satu administrasi pendaftaran, perpetaan dan pembukuan hak yang mengacu pada perencanaan tata ruang, pembagian kewenangan pusat, daerah hingga desa, harus diperjelas.
Selain sisi administrasi, perbaikan orientasi kelembagaan yang mengurus bidang-bidang pengusahaan pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan dan perikanan serta mineral dan batubara harus diselaraskan dengan cita-cita UUPA. Dari pengelompokan bidang-bidang kelembagaan tersebut terlihat bahwa ke depan dibutuhkan sebuah Kementerian Koordinator Pembangunan Agraria dan Maritim. Ini juga untuk melembagakan agar pembangunan agraria dan maritim Indonesia mempunyai karakter khusus, yakni pertumbuhan dari pinggiran dan berciri kerakyatan.
Keseluruhan penataan tersebut, meski merupakan ranah eksekutif, membutuhkan konsensus atau mufakat antara lembaga negara khususnya Presiden, MPR, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Konsensus yang didasarkan pada kesadaran bahwa sepanjang enam dekade ini telah terjadi pembelokan serius UUD 1945 Pasal 33 dan UUPA 1960. Dengan demikian, hal itu paralel dengan penataan kelembagaan eksekutif, juga diperlukan sebuah upaya untuk melakukan kaji ulang dan pencabutan terhadap pasal-pasal UU sektoral yang tidak selaras dengan cita-cita UUPA.
Pelibatan lembaga negara untuk UUPA bukanlah hal berlebihan. Sebab, jika berkaca kepada sejarah, UUPA adalah satu-satunya UU yang rancangannya dibahas oleh sebuah panitia negara yang dibentuk oleh Presiden. Tentu karena pentingnya materi dari UU ini.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika kita membutuhkan sebuah konsensus kenegaraan, sebuah kesepakatan antarlembaga negara untuk mengembalikan kedudukan dan semangat UUPA dan kesediaan untuk menjalankannya segera.
Iwan Nurdin,Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria; Pengajar di Universitas Paramadina