Awalnya, diskursus publik dikotomis-antagonistik; ibaratnya, pilkada lanjut menyabung nyawa, pilkada ditunda menyelamatkan jiwa manusia. Namun, perdebatan selanjutnya semakin konstruktif.
Oleh
J Kristiadi
·4 menit baca
Kontroversi perhelatan Pilkada 2020 antara mereka yang mendesak pilkada ditunda dan kalangan yang menghendaki pilkada dilanjutkan menunjukkan kualitas bangsa Indonesia yang semakin matang dalam mengelola isu dilematis dan sensitif. Awalnya, diskursus publik dikotomis-antagonistik; ibaratnya, pilkada lanjut menyabung nyawa, pilkada ditunda menyelamatkan jiwa manusia. Namun, perdebatan selanjutnya semakin konstruktif. Masing-masing menyampaikan dalil yang berujung pada kesepakatan pilkada harus dilaksanakan, tetapi keselamatan manusia adalah nomor wahid.
Argumentasi mereka yang pro-pilkada ditunda, pertama, data membuktikan, jumlah korban diperkirakan sangat banyak karena jumlah warga yang terpapar Covid-19 semakin meningkat. Kajian Indo Barometer, misalnya, memperkirakan, jika pilkada dilanjutkan tanpa persyaratan protokol kesehatan ketat, jutaan jiwa berpotensi terpapar Covid-19. Kedua, pilkada yang berpotensi banyak merenggut jiwa diperkirakan tak sebanding dengan kualitas kepala daerah yang dihasilkan dari praktik politik yang didominasi politik uang, politik kekerabatan, politik pencitraan, dan politik oligarki.
Mereka tak sepenuhnya bisa diharapkan memiliki keterampilan manajerial, daya empati, dan peduli dengan penderitaan rakyat di masa pandemi Covid-19. Indikasi awal, saat pendaftaran pasangan calon peserta Pilkada 2020 pada 4-6 September, kandidat dan pendukungnya melakukan ”pesta” mengumbar hasrat aura kemenangan. Sama sekali tak menunjukkan semangat bela rasa bahwa perbuatannya sangat berbahaya bagi orang lain.
Ketiga, kedisiplinan masyarakat sangat rendah. Ini terbukti selama enam bulan pengendalian pandemi, pelanggaran protokol kesehatan sangat masif. Intinya, argumentasi mereka yang menghendaki pilkada ditunda sangat valid karena mengutamakan alasan kemanusiaan.
Argumentasi kalangan yang setuju pilkada dilanjutkan, khususnya pemerintah, DPR (partai politik), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pertama, pemerintah tak punya asumsi sahih untuk menyusun perencanaan penundaan pilkada karena tidak tahu kapan pandemi mereda.
Mengandalkan intuisi dan spekulasi hanya mengakibatkan kekacauan menyelenggarakan pemerintahan. Kedua, penundaan berarti juga harus mengangkat ratusan pelaksana tugas kepala daerah yang kewenangannya terbatas. Padahal, mereka harus membuat kebijakan strategis daerah untuk menangani pandemi Covid-19.
Kewenangan tanpa legitimasi kuat dikhawatirkan membuat penanganan pandemi semakin tidak efektif dan korban jiwa semakin banyak. Ketiga, pemerintah juga tidak mau dituduh mengabaikan hak konstitusional masyarakat karena menunda pilkada yang belum tahu kapan lagi pilkada itu diselenggarakan. Intinya, argumentasi pemerintah, DPR, dan KPU lebih kepada aspek konstitusi dan teknik administratif pemerintahan, tetapi juga berdimensi kemanusiaan.
Perdebatan menjadi semakin produktif karena banyak tawaran opsi. Pertama, daya jangkau Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada dan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Lanjutan di Tengah Pandemi tidak mampu mengantisipasi tingkat agresivitas Covid-19. Karena itu, pilkada lanjut perlu regulasi yang lebih komprehensif, antara lain melarang dengan tegas kampanye tatap muka. Terlebih, kampanye dengan kerumunan manusia harus diberi sanksi yang jelas dan tegas agar pelanggarnya, terutama kandidat, jera.
Kedua, pilkada diselenggarakan sesuai tingkat zonasi kegawatan ancaman Covid-19. Karena itu, perlu dilakukan pemetaan zonasi ancaman pandemi: seyogianya pilkada diselenggarakan hanya di zona hijau. Ketiga, pilkada ditunda sama sekali dengan akibat kacaunya sistem pemerintahan yang akan menimbulkan kegaduhan politik.
Opsi ini perlu mengantisipasi penumpang gelap yang akan memanfaatkan ingar-bingar politik. Jurus klasik yang selalu menjadi pakem mereka adalah menggiring perdebatan menjadi dikotomi-kontradiktif dan kemudian dibumbui sentimen primordial untuk menyulut massa agar ngamuk. Tujuannya, mendelegitimasi negara dan melalui kerusuhan akan menjadi instrumen politik bagi para perusak negara meraih tujuannya.
Namun, titik terang semakin jelas karena Presiden Joko Widodo telah menanggapi positif wanti-wanti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah serta tokoh-tokoh lain yang berpandangan senada, yakni agar pilkada ditunda (Kompas.com, 21/9/2020). Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan. KPU akan merevisi PKPU No 10/2020, melarang arak-arakan, rapat umum, dan pertemuan terbatas yang melebihi jumlah tertentu. Kampanye dilakukan secara daring. Penegakan hukum protokol kesehatan dipertegas dan penegakan dilakukan Polri.
Respons positif di kalangan parpol juga mulai bermunculan, antara lain PDI-P menginstruksikan DPD dan DPC PDI-P, para kandidat yang diusung PDI-P, agar memenuhi protokol pencegahan Covid-19. Anggota dan kader partai yang melanggar akan diberi sanksi berjenjang. DPP Partai Demokrat juga menegaskan, peringatan diberikan kepada kader yang tak menaati protokol kesehatan atau melakukan perbuatan yang menyebabkan penularan Covid-19. (Kompas, 23/9/2020).
Penegasan tersebut semoga mencerminkan kesadaran parpol agar para kandidat menunjukkan kualitasnya. Pilkada bukan arena pertarungan menyabung nyawa dan kader parpol, juga bukan malaikat pencabut nyawa yang demi kemenangan politik tega mengorbankan jiwa.
Masyarakat sangat berharap pilkada menjadi kompetisi saling berbuat baik untuk menyelamatkan rakyat, bangsa, dan negara. Perlu diingat alasan mendasar dan tujuan utama pilkada. Pertama, menghasilkan kepemimpinan lokal yang efektif dan masyarakat yang mampu mengontrol kebijakan pemerintahan lokal. Kedua, memperkuat sistem pemerintahan nasional dalam susunan negara kesatuan.