Hoaks
Hoaks atau propaganda hitam telah mengorbankan begitu banyak nyawa orang-orang tidak bersalah.
Tuti Kilwouw tidak menyangka akhirnya meninggalkan Tobelo untuk menyelamatkan diri meski rasa cemas sudah beberapa bulan menghantuinya.
Ia berusia 11 tahun waktu itu, belajar di kelas 1 SMP. Orangtuanya perantau di Tobelo. Ibunya asal Seram Barat. Ayahnya dari Seram Timur. Tuti seorang muslimah. Pertemanannya dengan anak-anak seusia yang berbeda suku dan agama terjalin baik.
Suasana kota Tobelo, di Halmahera Utara, mencekam ketika selebaran perintah penyerangan terhadap orang Islam beredar. Setelah itu, berkembang isu bahwa 9 September 1999 adalah waktu serangan. Banyak teman sekolahnya dan keluarga mereka yang beragama Islam segera meninggalkan Tobelo menuju Ternate dan Makassar. Murid-murid beragama Kristen, termasuk etnis Tionghoa, berdatangan dari Ternate ke Tobelo.
Ayah Tuti bekerja di kantor Pengadilan Negeri Tobelo sebagai pegawai negeri sipil sehingga tidak dapat membawa keluarganya pindah tanpa surat mutasi.
Ketika kerusuhan Ambon pecah awal 1999, konflik tanah yang melibatkan orang Kao dan orang Makian di Malifut baru dimulai. Jarak Tobelo ke Malifut sekitar tiga jam bermobil. Ayah Tuti yang hendak pergi ke Tidore dicegat orang-orang Kao di perbatasan Kao-Malifut. Kartu tanda penduduknya diperiksa. Mereka tidak mempersoalkan agamanya, tetapi suku. Orang Makian dan Tidore tidak boleh lewat. Konflik Kao-Makian membuat orang-orang di Halmahera lebih panik ketimbang kerusuhan di Ambon yang cukup jauh.
Malam itu, 26 Desember 1999, rumah Tuti dan para tetangganya dibakar massa. Ia, orangtuanya, dan ribuan pengungsi lain berlindung di kompi tentara, lalu menumpang kapal ke Ternate pada 3 Januari 1999.
Setelah menemui Tuti di Ternate, saya mengunjungi Jesaja Singa di Kampung Doro, yang berjarak sekitar 40 menit dari Tobelo. Meski terserang stroke beberapa tahun lalu, ingatan Jesaja masih tajam di usia 79 tahun. Pada pagi hari bulan November 2019, saya menumpang perahu cepat dari Ternate untuk menyeberang ke Halmahera. Ia tengah duduk di beranda depan rumahnya ketika saya datang.
Pada 11 Januari 1999 Jesaja terkurung di sebuah hotel di Batu Meja, Ambon, bersama lima perempuan dari Tidore yang tengah melakukan perjalanan dinas. Ketika itu ia bekerja di kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan di Ambon.
Batu Meja wilayah yang dihuni orang Kristen. Jesaja aman, tetapi ia tidak tenang memikirkan lima tamu hotel itu. Pada malam hari ia membiarkan mereka berlima, semuanya beragama Islam, tidur di bawah kolong tempat tidurnya demi keamanan. Seminggu kemudian kapal datang. Mereka berenam dikawal aparat ke pelabuhan.
Sembilan bulan kemudian, rumah Jesaja di Ternate dibakar massa. Orang-orang Kao di Ternate menjadi sasaran kemarahan orang-orang Makian akibat kasus Malifut.
Ketika itu, selebaran gelap sudah beredar di Ternate. Selebaran tersebut bernama ”Rencana Serangan Balik Sosol Berdarah”. Sosol adalah salah satu kampung orang Kao yang hendak dialihkan menjadi kampung Makian. Pembuat selebaran telah mengubah konflik tanah menjadi konflik antar-agama.
Jesaja sempat mengenang persaudaraan erat Islam dan Kristen di Tanah Kao, ”Sembilan Islam dan dua Kristen gugur pada masa melawan kolonial Belanda. Mereka dikuburkan bersama di belakang masjid Kao. Hidup bersama, berjuang bersama, mati sekubur.”
Hidup bersama, berjuang bersama, mati sekubur.
Konflik tanah Kao-Makian diperuncing Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang pembentukan dan penataan beberapa kecamatan di Kabupaten Maluku Utara. Peraturan ini ditetapkan Presiden BJ Habibie pada 26 Mei 1999.
Peraturan itu mengantisipasi bahaya letusan gunung berapi Kie Besi di Pulau Makian dengan mengesahkan pembentukan kecamatan Makian Malifut di Halmahera untuk orang-orang Makian yang menjadi pengungsi. Tidak hanya mengesahkan pembentukan 16 kampung baru orang Makian dalam kecamatan Malifut, juga memasukkan lima kampung adat orang Kao dalam kecamatan itu dan enam kampung orang Jailolo.
Konflik tanah atau agraria terus berlangsung sampai sekarang. Peraturan-peraturan yang dibuat tanpa melibatkan masyarakat adat atau masyarakat setempat masih terjadi. Di Kalimantan, hutan adat terancam dibabat. Di Jawa Tengah, ada pertanian rakyat diambil paksa.
Korban nyawa
Selebaran gelap merupakan wujud propaganda hitam, yang berisi berita atau cerita bohong dengan tujuan politis. Belakangan populer istilah ”hoaks”. Agar lebih meyakinkan, racikannya dicampur data ataupun fakta yang diamputasi ataupun diputarbalikkan. Penyebarannya pun lebih cepat dan masif melalui aplikasi komunikasi dan media sosial.
Raymond Bonner, seorang wartawan investigasi, menuturkan bahwa hoaks atau propaganda hitam telah mengorbankan nyawa orang-orang tidak bersalah. Media rentan terlibat.
Dalam artikelnya, After 9/11, We were All Judith Miller, yang terbit pada 21 April 2015 di politico.com, ia membicarakan laporan jurnalis Judith Miller yang tidak berdasarkan sumber akurat tentang ada senjata kimia pemusnah massal di Irak menjelang perang Irak.
Dalam artikel itu Bonner juga mengkritik dirinya sendiri. Ketika Lotfi Raissi, pilot kelahiran Aljazair, ditangkap sesudah 11 September 2001 karena diduga melatih pilot pesawat bunuh diri, Bonner menulis sejumlah artikel yang menyudutkan dan mengesankannya bersalah. Pengadilan di Inggris memutuskan Raissi tidak bersalah. Ia korban keteledoran oknum penegak hukum.
Di Maluku Utara, paling sedikit 2.000 orang meninggal dunia dan puluhan ribu orang mengungsi dari akhir 1999 hingga awal 2000 akibat konflik. Rumah, sekolah, dan tempat ibadah dibakar.
Pengalaman masa itu membuat Tuti panik tiap kali melihat keramaian atau kerumunan orang. Ia teringat situasi dalam truk pengungsi, bersusah payah mengambil udara untuk bernapas dan terimpit orang-orang yang berdesakan. Ia juga tidak kuat melihat darah. Beberapa cerita pendeknya yang terilhami masa tersebut dimuat dalam antologi, Tank Merah Muda, yang terbit tahun lalu.
Linda Christanty, sastrawan dan pegiat budaya