Global Fortune 500 dan Pertamina
Dalam Global Fortune 500 untuk 2019, Pertamina tak masuk daftar 500 perusahaan berpendapatan terbesar di dunia. Saya yakin, dengan kembali sebagai PKP, Pertamina akan bisa mengembalikan kejayaan industri migas Indonesia.
Dalam Global Fortune 500 untuk 2019, Pertamina tak masuk daftar 500 perusahaan berpendapatan terbesar di dunia.
Meski ini ”soal kecil” karena tidak punya dampak langsung yang signifikan pada perekonomian nasional, hal ini bisa dilihat sebagai indikasi bahwa masih ada yang perlu diperbaiki dalam pengelolaan industri migas kita.
Baca juga: Mengapa Pertamina Rugi?
Hal lain yang punya dampak sangat signifikan pada perekonomian adalah anjloknya investasi eksplorasi migas setelah berlakunya UU Migas Nomor 22 Tahun 2001, diikuti terus anjloknya produksi minyak mentah dari sekitar 1,3 juta barel per hari (bph), sebelum berlakunya UU Migas, menjadi hanya sekitar 700.000 bph saat ini. Padahal, sumber daya bermigrasi secara geologis masih sangat besar.
Sedikitnya masih ada sekitar 50 miliar barel minyak mentah dan sekitar 100 tcf gas yang terjebak di sekitar 120 cekungan (cekungan sedimen). Kapasitas kilang stagnan bertahun-tahun di level sekitar 1 juta bph. Semua itu bermuara pada neraca perdagangan migas yang terus defisit.
Hal ini terjadi karena perubahan sistem tata kelola industri migas nasional dari UU Pertamina No 8/1971 yang menempatkan Pertamina sebagai pemegang kuasa pertambangan (PKP) menjadi UU Migas No 22/2001 yang digunakan IMF saat krisis moneter 1998, yakni PKP beralih ke pemerintah/kementerian ESDM. Pertamina diubah menjadi PT Persero yang biasa dibentuk dengan akta notaris, tidak lagi dengan UU.
Pertamina diubah menjadi PT Persero yang biasa dibentuk dengan akta notaris, tidak lagi dengan UU.
Sistem yang simpel, tak birokratik atau berbelit-belit, serta sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 adalah prinsip yang dianut UU Pertamina No 8/1971. Kemudian, diganti dengan sistem yang birokratik dan berbelit-belit, di mana yang berkontrak dengan pelaku usaha migas adalah pemerintah dalam hubungan ”B to G”. Bahkan, UU Migas ini faktanya melanggar konstitusi.
Mahkamah Konstitusi sudah mencabut belasan pasal UU Migas dan sudah membubarkan lembaga BP Migas. Namun, yang terjadi, BP Migas kemudian hanya berubah nama menjadi SKK Migas dengan status sama dengan BP Migas sebagai lembaga pemerintah, bukan entitas bisnis hingga hari ini. Kondisi ini menyebabkan ketiadaan kepastian hukum dalam industri migas nasional. Terlebih. (DPR) sudah dua periode (2009-2014 dan 2014-2019) gagal menghasilkan UU Perubahan atas UU Migas No 22/2001.
Pertamina sebagai PKP
Kemelut yang melanda industri migas Indonesia sejak 2001 ini solusinya sangat sederhana. Kembalikan pengelolaan migas sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 di mana PKP dikembalikan ke perusahaan negara, seperti UU Pertamina No 8/1971 dan UU No 44/Prp 1960 yang menetapkan pengusahaan migas hanya dapat diselenggarakan negara dan pelaksana pengusahaannya hanya dapat dilakukan oleh perusahaan negara.
Baca juga: BUMN Harus Menjadi Solusi
Pengalaman empirik di mana kuasa pertambangan berada di tangan pemerintah telah membuktikan industri migas nasional terpuruk, produksi terus merosot selama dua dekade, Indonesia telah berubah status menjadi importir neto minyak, kepercayaan perusahaan migas dunia dan bank internasional ke Pertamina merosot karena tak ada lagi dukungan atas cadangan migas di bumi Indonesia.
Sulitnya Pertamina mencari sumber daya membangun kilang dan batalnya kerja sama Saudi Aramco dengan Pertamina tidak bisa dilepaskan dari posisi Pertamina yang tidak lagi PKP.
Baca juga: Pertamina Prioritaskan Peningkatan Kapasitas Kilang
Manfaat bagi negara dan industri migas nasional dengan menyerahkan kuasa pertambangan ke pemerintah/ESDM nyaris tak ada pemerintah karena tidak memenuhi syarat untuk melakukan kegiatan bisnis dan penambangan migas. Malah sistem dan proses investasi migas jadi berbelit-belit, birokratik, dan dijauhi investor migas.
Seharusnya perusahaan negara yang diberi kuasa dan kewenangan untuk berkontrak dengan investor sebuah swasta nasional yang bersedia mengatur risiko melalui hubungan kontrak bagi hasil ”B ke B” yang bertanggung jawab.
Para pelaku usaha migas yang berkontrak dengan Pertamina ini dijamin hak-hak ekonominya berupa pemulihan biaya dan perolehan bagi hasil yang disepakati. Kemudian, Pertamina yang menerapkan semua perizinan yang diperlukan oleh kontraktor/pelaku usaha untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi migas sehingga sistem dan proses investasi menjadi sangat simpel.
Para pelaku usaha migas yang berkontrak dengan Pertamina ini dijamin hak-hak ekonominya berupa pemulihan biaya dan perolehan bagi hasil yang disepakati.
Di bawah UU Pertamina No 8/1971 investasi eksplorasi migas naik drastis, produksi meningkat tajam, dari 200.000 bph tahun 1960-an menjadi sekitar 1,7 juta bph pada 1980-1990-an. Sektor migas menjadi sumber penerimaan devisa terbesar dan sumber terbesar penerimaan APBN.
Hanya perusahaan negara, bukan lembaga pemerintah, yang bisa melakukan usaha bisnis migas. Misalnya, penambangan migas, pembangunan kilang minyak dan penjualan BBM ke seluruh wilayah Indonesia, pembangunan pabrik LNG (Arun dan Badak) dengan nilai miliaran dollar AS tanpa menggunakan dana APBN, tetapi dengan pembiayaan konsorsium bank. Ini karena bank internasional dan perusahaan migas dunia memercayai Pertamina sebagai PKP yang bertanggung jawab atas pengembangan gas di bawah tanah.
Perusahaan yang seharusnya langsung menerima dan mengoperasikan semua blok lapangan produksi dari semua kontraktor yang sudah selesai masa kontrak, tanpa melalui perantara/proses negara yang rumit dan tanpa harus membayar bonus tanda tangan dan komitmen yang mencapai 284 miliar dollar AS dalam kasus Blok Rokan—yang masuk Pertamina mengeluarkan global bond di pasar modal Singapura.
Baca juga: Optimisme Iringi Perbaikan Produksi Minyak Siap Jual
Sesuatu yang seharusnya tidak perlu terjadi jika Pertamina memegang kuasa pertambangan, di mana Blok Rokan akan otomatis dioperasikan dan dioperasikan oleh Pertamina ketika kontraknya sudah habis.
Penyederhanaan kluster
Saya yakin, dengan kembali sebagai PKP, Pertamina akan mengembalikan kejayaan industri migas Indonesia. Di sini kedekatan kluster migas di RUU Omnibus Law dan RUU Perbaikan atas UU No 22/2001 disederhanakan serta pentingnya untuk mengembalikan kuasa pertambangan ke Pertamina.
Pemerintah sebaiknya mematuhi kebijakan, regulator, dan mendukung Pertamina dalam menjalankan kuasa serta melaksanakan kebijakan pemerintah, seperti memenuhi persyaratan bahan bakar minyak dengan kebijakan yang ditetapkan pemerintah, kebijakan BBM, dan kebijakan BBM menjadi BBM.
Kurtubi, Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies. Alumnus Colorado School of Mines dan Institut Francaise du Petrole.