Rabun Kepatutan
Kita masih jauh menuju ”new deal” untuk menegaskan konsensus final sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Tanpanya, kita akan sulit menetapkan dan menggapai tapal batas kemajuan baru (”new frontier”).
Dari khazanah ajaran klasik Jawa dikenal petuah ngono yo ngono ning ojo ngono . Pesan kearifan ini mengingatkan kita agar tidak melanggar norma kepatutan yang dapat merusak keselarasan. Landasan etik dan moral ini biasanya disampaikan sebagai sesanti bagi mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar untuk mengubah tatanan.
Hari ini kita menjumpai banyak perilaku menyimpang secara kasatmata kaum elit. Benihnya tumbuh berkembang sejak lama dan seolah dapat ”pembenaran” dari sisi hukum positif dan praktik politik.
Dalam keteraturan anomali perilaku itu, muncul sebagai katarsis mampetnya proses dialektika, ketidakpatuhan menjunjung dan menghormati norma. Kondisi ini-meminjam semantik George Orwell dalam novel 1984 -mencetuskan fenomena a continue frenzy , kegilaan yang terus berlanjut.
Media sosial jadi wadah eksplosi paling gencar yang mengamplifikasi pesan, kutipan, peristiwa, dan aneka ujaran. Narasi nirfaedah di ruang publik yang banyak menyulut segregasi publik SARA, ekonomi, dan hoaks itu mencerminkan merosotnya kepercayaan terhadap kelas penguasa dan publik. Alih-alih menghadirkan pembuat solidaritas , gigantisme media sosial terus menyuburkan pembelahan tak kunjung henti.
Alih-alih menghadirkan pembuat solidaritas , gigantisme media sosial terus menyuburkan pembelahan tak kunjung henti.
Kepercayaan kepada pemimpin hanya dapat diperoleh jika integritas dan transparansi hadir dan dipraktikkan. Pernyataan, keputusan, dan tindakan yang mengabaikan prinsip bahwa kejujuran dapat mengatakan akan menuai ketidakpercayaan. Akumulasi defisit ketidakpercayaan, yang lambat laun, yang mengikis semua kebijakan, memantik kegamangan, dan ketidakjelasan. Situasi hampa nilai dan langka teladan jadi ladang ekspresi penyangkalan, ketidaktaatan, aneka gerakan pembangkangan, dan suburnya korupsi.
Politik kekerabatan
Hampir semua suku dan adat di Indonesia memiliki karakter khas, yakni cenderung kuat memegang tradisi kekerabatan (keluarga besar). Sisi positif dari kohesi sosial ini bermanfaat untuk merawat budaya tolong-menolong, gotong royong, dan bela rasa serta menjaga kerukunan dan persatuan.
Dalam relasi sosial, praktik eksklusif kekerabatan dapat pengawalan dari norma yang berlaku umum dan universal sehingga tak menimbulkan hegemoni kelompok atau mendesakkan kepentingan golongan. Namun, maraknya politik dinasti atau kekerabatan dalam kontestasi pilkada dan perebutan kursi legislatif pusat dan daerah menunjukkan penyimpangan norma kepantasan yang mengkhawatirkan.
Baca juga: Pilkada Dinasti Politik
Demokrasi prosedural kini kian melembaga, berlindung pada paham positivisme hukum. Paham ini eksistensi yang eksistensi hukum dan substansinya. Padahal, keadilan prosedural dan teknikal sangat mudah dimanipulasi (Sulistyowati Irianto, ”Potret Buram Hukum”, Kompas, 6/8/2020). Distorsi aturan hukum dalam demokrasi menutup ruang partisipasi berkualitas dan terbuka. Juga menyuburkan transaksi dan politik uang.
Silsilah sosial menyerupai hukum genetika herediter. Rekayasa sirkulasi elit kekuasaan yang terpusat pada figur atau keluarga kroni dan didukung elit parpol menghambat peluang kader militan, merintis dari bawah, dan teruji rekam jejaknya di lapangan pengabdian masyarakat.
Baca juga: Kekerabatan dalam Demokrasi
Identik Perkawinan silang dalam interval panjang, akhirnya adalah kemunduran, gen resesif yang rentan terpapar bermacam penyakit. Seperti hukum besi seleksi alam, kelemahan, ketiadaan kontrol, dan ketakmampuan beradaptasi dengan perubahan mewariskan sistem dan entitas rapuh.
Politik dinasti sarat dan lekat dengan korupsi membuktikan itu. Serangkaian kasus korupsi yang menjerat para kepala daerah di Banten, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Klaten, Demak, Kendari, Cimahi, Bangkalan, Banyuasin, dan banyak daerah lain menjadi contoh buruk pemusatan kekuasaan di tangan segelintir keluarga. Membunuh prinsip meritokrasi, kaderisasi berjenjang dan berkualitas yang harus dijalankan oleh parpol.
Membunuh prinsip meritokrasi, kaderisasi berjenjang dan berkualitas yang harus dijalankan oleh parpol.
Semakin disadari, reformasi 1998 ternyata tak menghadirkan perubahan hakiki menuju demokrasi politik-ekonomi substansial. Demokrasi prosedural kuat menancap, mendesak rakyat ke reservat partisipan pasif yang serupa ”massa mengambang” di era Orde Baru.
Praktik menihilkan prinsip musyawarah publik, memunggungi daulat rakyat, dan mendegradasi norma hukum tampak jelas dalam penyusunan dan pengesahan UU, seperti UU No 19/2019 tentang KPK, UU No 3/2020 tentang Minerba, dan kerja ngebut penyusunan RUU omnibus law . Pengabaian berulang dan mencolokkan hakikat sila keempat Pancasila itu ibarat paradoks jika dikelola dengan hasrat besar yang mengegolkan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Elit politik kesulitan mengungkapkan argumen, gagap menangkis, rasional dan substansial karena mengusung kepentingan parsial. UU No 19/2019, misalnya, didesain, antara lain, untuk mencegah KPK jadi lembaga superbody , nirpengawasan. Keganjilan segera tampak karena ternyata UU itu hanya menyajikan pasal tentang tugas Dewan Pengawas KPK. Tanpa kewenangan menetapkan dan menjatuhkan sanksi kepada komisioner dan staf KPK terbukti melanggar etik atau malaadministrasi.
Baca juga: Pilkada yang Menambah Pilu
Entropi kebangsaan
Parpol tak belajar dari kemelut sejarah bangsa 1945-1959 tatkala pemerintahan berlangsung tak efektif tak efektif semua parpol bergantian dapat memimpin dan terlibat di pemerintahan. Pragmatisme dan penonjolan kepentingan berujung zero sum game tatkala pembaruan konsensus antarparpol hanya untuk tampung kepentingan jangka pendek.
Rumah kebangsaan kita terus mengalami disorientasi dan entropi dengan terpeliharanya polarisasi pelatihan persatuan. Kekosongan figur pemersatu bangsa jadi salah satu penyebab. Banyak pemimpin tetapi defisit kepercayaan, banyak tokoh tetapi miskin negarawan, banyak pembesar tetapi minus teladan, banyak penyeru moral tetapi langka panutan, banyak orang pintar tetapi rendah integritas, banyak perwira tetapi sedikit kesatria.
Baca juga: Politisi Jadilah Negarawan
Dari sejarah peradaban dunia, kebangkitan fajar akal-budi ( pencerahan ) yang menerangi dunia secara bersamaan dengan lahirnya karya seni, sastra, filosofi, kemajuan pesat iptek, serta kesemarakan beragama pada abad XVII dan berlanjut ke abad XVIII tidak serta-merta menyingkap tabir kegelapan. Perang Dunia I dan II melenyapkan jutaan nyawa. Bahkan, setelah era Perang Dingin berakhir, praktik kekejaman suatu bangsa terhadap bangsa lain, kebuasan rezim diktator, dan kelompok fasis yang terus berlanjut ke seluruh benua dengan tingkat kejahatan yang sukar dipahami dan martabat kemanusiaan.
Kontras dan tragedi memilukan ketidaksejajaran besar ilmu pengetahuan dan kebajikan manusia itu, antara lain, dapat diangkat dari kasus Jerman. Negeri yang melahirkan banyak ilmuwan, ideolog, dan filsuf besar, tetapi tunduk pada slogan Nazi dan Hitler, demagog ultranasionalis, yang mengirim jutaan orang tak berdosa ke lembah kematian. Di eranya, pengikut fanatik Nazi yang berprofesi dokter mencapai 45 persen, padahal jumlah yang tercatat aktif sebagai kader Nazi hanya 15 persen total penduduk (MH Kater, 1989: Doctors under Hitler ).
Rumah kebangsaan kita terus mengalami disorientasi dan entropi dengan terpeliharanya polarisasi pelatihan persatuan.
Kebangkitan ideologi fasis dan fatalistis bermula ketika dalam tak mampu diatasi akal budi sehingga propaganda primordial menyelusup dan berkembang di kalangan terdidik dan punya pengaruh besar ke publik. Analog dengan pelajaran itu, infodemi yang mewabah dan menyulut neotribalisme tak dapat dikatakan remeh jika kesanggupan menuntaskan tantangan krisis dan pascakrisis tak disebutkan.
Juga jika paham itu berimpit dengan keputusasaan, kehilangan harapan, dan kepercayaan merosot. Krisis semestinya menghadirkan refleksi dan ikhtiar besar bersama menyambut normal baru dan antisipasi era berikutnya. Menggugah kesadaran untuk menentukan basis pemihakan untuk merekonstruksi kebijakan, terutama untuk mereka yang terus rentan terhadap krisis guncangan.
Mitigasi pada mereka yang paling banyak terdampak, yang kehilangan tahap dan terpuruk terpuruk ke bawah garis kemiskinan, seharusnya menuntun perubahan serta mengingatkan lagi landasan dan orientasi ekosistem ekonomi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kita masih jauh menuju kesepakatan baru untuk konsensus final sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Tanpanya, kita akan sulit menentukan dan menggapai batas kemajuan baru ( perbatasan baru ) karena terus terjerat masalah klasik tak berkesudahan. Kegagalan menutup bab lembaran sejarah kelam dan keragu-raguan yang menentukan babak baru akan langsung kita kembali ke kubangan involusi, melanggengkan kemiskinan, kebodohan, dan ketimpangan.
Suwidi Tono, Koordinator Forum Menjadi Indonesia; Ketua Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi, 2020-2022